Kalimahsawa.id – Haedar Nashir mengatakan wabah corona ini meruntuhkan alam pikiran masyarakat tentang dunia ini dan tentang banyak hal yang selama ini diagungkan sebagai sebuah kedigdayaan. Globalisasi dan revolusi 4.0 nyaris tidak berdaya menghadapi virus ini. Padahal, selama ini masyarakat selalu membanggakan hal itu.
Menurutnya, umat Islam diuji, baik dalam pandangan keagamaan maupun sikap keberagamaan. Mayoritas umat Islam mencoba berijtihad untuk melawan virus ini dengan dalil-dalil ushul fiqh, namun justru sebagian umat Islam yang lain tetap bersikeras untuk beribadah di masjid. Bahkan sebagian orang berkata tidak perlu takut terhadap corona, cukup takut kepada Allah.
baca juga: Runtuhnya Hegemoni
Hal ini ia sampaikan dalam Webinar Nasional dengan tema “Merajut Ukhuwah di Tengah Wabah”, yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Malang pada Kamis (11/6).
Ia menyebut dalam konteks runtuhnya hegemoni, masyarakat perlu rendah hati. Karena ada banyak haa yang tak terjangkau oleh akal di muka bumi ini. Tauhid masyarakat juga belum inklusif dan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Rasionalitas diatas dasar ilmu juga harus diperkuat.
Ukhuwah Islamiyah
“Di saat musibah seperti ini, kita harus jatuh bangun untuk merekatkan alam pikiran masyarakat. Karena ketika terjadi perbedaan pendapat pada masa pandemi, resikonya jauh lebih besar daripada ketika tidak dalam suasana pandemi. Ukhuwah mudah kita ucapkan tetapi tidak mudah kita praktikkan”, ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menyebut Islam kaya dengan khazanah keilmuan tentang ukhuwah. Namun umat Islam baru benar-benar diuji ketika sedang dalam masa krisis. Dalam Alquran selalu ada oposisi biner ketika membicarakan ukhuwah. Ada perintah untuk bersatu, sekaligus ada larangan untuk berpecah-belah.
“Poin ini menandakan bahwa di level normatif kita cukup kaya, tetapi soal sosiologis historis kita perlu belajar bagaimana ukhuwah yang autentik, yang tulus dari hati kita. Kami dengan sesama ormas Islam yang lahir di generasi awal, untuk sampai matang seperti sekarang, harus melalui proses yang tidak mudah. Dan tidak apa-apa. Sunnatullah kita ada perbedaan. Rumpun bambu yang alamiah antar pohon saja bergesek. Tetapi masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang belajar, untuk tidak mengulangi konflik-konflik yang keras, yang membuat kita jatuh”, tegasnya.
Tiga Faktor Perpecahan
Menurut Haedar, umat Islam tidak bisa menjaga ukhuwah karena bebera hal. Ada tiga faktor perpecahan. Pertama, ghanimah. Tidak hanya antar ormas, bahkan antar saudara bisa berebut waris. Umat Islam harus belajar dari perang Uhud. Di Uhud mereka kalah karena ghanimah.
“Begitu mudah kita berbicara tentang ukhuwah. Tetapi ketika masuk pada masalah ghanimah seperti kue kekuasaan, orang akan lupa siapa saudaranya. Ghanimah sering membuat kita lalai. Maka, pandai-pandailah ketika punya ghanimah atau sedang berebut ghanimah”, lanjutnya.
Kedua, perbedaan paham keagamaan yang bertemali dengan politik keagamaan. Misalnya ada kelompok yang begitu ekstrim, kemudian memaksakan pandangannya. Begitu juga kelompok dominan yang melahirkan politik keagamaan yang ananiyah hizbiyah. Atau yang minoritas tetapi memiliki militansi tinggi. Di tengah keragaman kita harus menekan ananiyah hizbiyah agar bisa berdialog.
Ia menyebut prinsip dialog adalah syuro. Syuro dalam bahasa Arab berarti seperti mengambil madu dari sarang lebah. Bagaimana seseorang mendapatkan madu tanpa mendapatkan sengatan lebah. Banyak orang yang tidak sabar dalam berdialog, karena yang ada adalah saling berebut kemenangan.
Ketiga, faktor-faktor luar. Ini akan selalu ada. Akan selalu ada kelompok yang tidak menyenangkan bagi rezim, kemudian diinjak oleh rezim. Ada juga kelompok yang jinak, kemudian diangkat dan mendapatkan kue yang banyak. Konspirasi politik global itu ada, dan inilah yang membuat negara-negara muslim menjadi porak poranda.
“Negara-negara Islam saja susah bersatu sehingga Palestina berkepanjangan dan mungkin abadi. Politik belah bambu menjadi proses perjalanan setiap bangsa ketika ada momen yang tidak suka diinjak dan yang suka dilambungkan”, jelasnya.
baca juga: Dunia Ekstrim Indonesia
Ia menyebut ukhuwah islamiyah diuji ketika umat Islam menghadapi isu-isu besar. Ia mengatakan bahwa umat sedang memiliki agenda misalnya RUU Omnibus Law dan RUU Haluan Ideologi Pancasila. Ia berharap ormas Islam memiliki satu pandangan dalam hal-hal pokok. “Kita tidak memiliki kepentingan primordial, tetapi kepentingannya adalah kepentingan bangsa”, lanjutnya.
Sebagai penutup, ia mengatakan:
Hal yang paling dalam dari ukhuwah adalah keikhlasan dan sikap autentik. Dengan ikhlas, kita tidak pernah merasa kehilangan apapun, termasuk kekuasaan dan kekayaan.
reporter: Yusuf R Y