Tidak ada manusia yang streril dari konflik internal, ialah ketika satu keinginan berbenturan dengan keinginan lain; ketika satu nilai bertabrakan dengan nilai lain. Misalnya, ketika seseorang menghendaki hidup sehat dengan cukup istirahat, tetapi pada saat bersamaan ia harus bekerja keras siang-malam karena tuntunan finansial keluarga.
Jika contoh di atas cukup familiar, Jean-Paul Sartre pernah membuat dilema moral yang memantik pembahasan panjang. Ketika seorang murid di pedalaman Prancis yang harus merawat ibunya, dipanggil untuk berperang melawan Jerman. Apa yang harus ia lakukan? Membiarkan ibunya terlantar sendirian — yang kemudian mungkin akan meninggal — atau tetap merawat sang ibu tetapi berpaling dari kewajiban membela negara?
Konsep Disonansi Kognitif Leon Festinger
Terhadap benturan seperti itu, Leon Festinger menyebutnya sebagai disonansi kognitif. Yakni, ketika individu merasakan kegelisahan karena berbagai nilai yang ia pegang saling bertentangan satu sama lain; ketika fakta yang ia hadapi mengantarkan pada dilema; ketika satu keinginan bertabrakan dengan keinginan lain (Festinger, 1957). Masih menurut Festinger, konflik internal semacam itu dapat di atasi ketika seseorang memilih nilai yang ia anggap sebagai paling benar. Sehingga, paradox dapat terpecahkan. (Festinger, 1957)
Alat untuk mengkalkulasi itu, antara lain, adalah logika, misalnya, jika harus membuat pilihan sulit antara dua pekerjaan yang sama-sama menarik. Yang kemudian menjadi kendala adalah ketidak sesuaian karena terjebak aspek positif dari pekerjaan tersebut. Jika menolak salah satu, maka itu tidak sejalan dengan keputusannya. Keputusan akan mulai terasionalisasikan dengan menyakinkan diri sendiri bahwa yang tidak menjadi pilihan merupakan pekerjaan yang tidak begitu dinginkan. (Hibah, 2015)
Dalam konteks pengambilan keputusan dan pemahaman psikologis, Leon Festinger menekankan pentingnya pendekatan logis dan rasional. Konsep disonansi kognitif yang ia perkenalkan menggambarkan ketidaknyamanan psikologis saat individu memiliki keyakinan yang bertentangan. Festinger tidak hanya memberikan dasar untuk memahami cara manusia beradaptasi dan mengatasi konflik internal, tetapi juga menyiratkan bahwa pengambilan keputusan yang logis.
Sementara itu, dalam tulisan ini juga akan membahas bahwa pertentangan dengan diri sendiri dapat menjadi panggilan untuk refleksi dan pertumbuhan pribadi. Dalam mengelola konflik internal, dengan menyoroti pentingnya eksplorasi nilai-nilai yang mendasari keputusan dan tindakan. Proses ini memungkinkan individu untuk lebih memahami diri mereka sendiri dan menciptakan keseimbangan yang lebih baik dalam pemikiran dan perilaku mereka.
Dalam situasi bimbang tersebut, pengambilan keputusan antara mengikuti hati atau berpikir logis, hal ini disarankan untuk mengidentifikasi akar masalah sebagai langkah awal. Dengan mempertimbangkan plus dan minus secara mendalam, individu dapat memastikan bahwa keputusan yang di ambil berdasarkan pada pemikiran yang matang dan pertimbangan yang baik.
Dengan demikian, mengatasi dilema tersebut melibatkan pemahaman diri yang mendalam dan pertimbangan yang cermat sebelum mengambil keputusan. Pemahaman akan konsekuensi dari setiap keputusan menjadi kunci. Karena, setiap langkah yang menjadi pilihan harus turut beserta dengan kesiapan untuk menerima dan melaksanakan konsekuensi tersebut. Oleh karena itu, proses berpikir dalam pengambilan keputusan memiliki peran dalam menentukan pilihan terbaik.
Konflik Internal Diri yang Membentuk Sikap Toleransi
Pandangan Islam menambah dimensi lain terkait dengan mengelola konflik internal dan eksternal. Dalam konteks ini, toleransi memiliki arti sebagai kemampuan untuk menahan diri dari reaksi negatif terhadap perbedaan. Toleransi menjadi kunci dalam mencegah konflik antarindividu, di mana setiap individu memiliki pandangan dan nilai yang mungkin bertentangan satu sama lain.
Dengan adanya toleransi, potensi konflik dapat terminimalisir, dan dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Jadi, mengintegrasikan pemahaman diri yang mendalam dengan pertimbangan cermat sebelum mengambil keputusan, serta menerapkan nilai toleransi dalam interaksi dengan sesama manusia, merupakan langkah-langkah yang saling melengkapi.
Kombinasi ini tidak hanya memungkinkan individu untuk mengatasi konflik internal. Tetapi juga, membantu mencegah konflik eksternal, menciptakan dasar bagi pemilihan keputusan yang bijak dan membangun hubungan yang lebih baik dalam masyarakat.
Dalam rangka mengatasi pertentangan dengan diri sendiri, artikel ini menguraikan kompleksitas konflik internal yang seringkali muncul dalam kehidupan manusia. Mulai dari pertentangan nilai hingga dilema pengambilan keputusan, seseorang dihadapkan pada konflik internal yang memerlukan refleksi dan pertumbuhan pribadi.
Leon Festinger dan konsep disonansi kognitif turut dihadirkan sebagai kerangka untuk memahami bagaimana manusia beradaptasi dan mengatasi konflik internal melalui pendekatan logis dan rasional. Pentingnya mencapai keseimbangan antara berbagai keinginan, seperti kesuksesan dan kehidupan pribadi yang sehat, menjadi fokus dalam mengelola konflik internal.
Ketidakmampuan mencapai work-life balance dapat menciptakan ketegangan emosional yang kompleks. Dalam konteks hubungan interpersonal, pertentangan dengan orang lain juga menjadi tantangan, terutama ketika keinginan atau harapan saling bertentangan.
Sehingga menciptakan pandangan yang holistik dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam sebagai tambahan dimensi dalam mengelola konflik, dengan menekankan pentingnya toleransi terhadap perbedaan. Integrasi antara pemahaman diri, pertimbangan cermat sebelum pengambilan keputusan, dan nilai toleransi diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.
Dengan demikian, individu hendaklah untuk tidak hanya mengatasi konflik internal tetapi juga mencegah konflik eksternal, memberikan dasar bagi pemilihan keputusan yang bijak, dan membangun hubungan yang lebih baik dalam masyarakat.
Penulis: Siti Khoirun Nisa (Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya)