Oleh: Nirwansyah
Judul diambil dari salah satu sub buku “Natsir: Politik Santun Di antara Dua Rezim”. Diskursus tentang Islam sebagai dasar negara mungkin sudah menjadi perdebatan yang sudah usang bak lagu lama yang diputar ulang kembali. Keinginan untuk mendirikan negara berdasarkan Islam akan senantiasa muncul walaupun hanya arus-arus kecil.
Namun, hal demikian tak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab, arus-arus kecil tersebut apabila dibiarkan akan menjadi ombak besar yang akan melululantahkan fondasi bangsa yang telah dibangun oleh para Founding Fathers kita berdasarkan sebuah konsensus.
Masih adanya segelintir pengusung primordialisme yang masih kokoh memegang prinsip Syariah orinted dan bisa dikatakan terlalu memaksa untuk memformulasikan Islam sebagai dasar negara di Indonesia.
Seolah-olah dengan merek serba Islam tersebut semua hal akan menjadi beres. Kaum-kaum terdidikpun tak lepas dari infiltrasi tersebut. Upaya yang dilakukanpun banyak melalui jalur inkonstitusional.
Nampaknya kelompok-kelompok tersebut masih belum jera dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Usaha untuk menjadikan Indonesia berdasarkan Islam sudah pernah dilakukan pada dekade 50-an.
Aspirasi tersebut dilakukan dalam Majelis Konstituante, di mana majelis tersebut merupakan lembaga demokrasi. Jadi orang bebas menggunakan hak demokrasi-nya.
Sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim, mungkin akan muncul pertanyaan kenapa Indonesia tidak berdasarkan Islam? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, semoga uraian ini bisa melepaskan dahaga bagi yang masih bertanya akan hal tersebut.
Pemilu Pertama
Salah satu agenda terpenting kabinet-kabinet pascakemerdekaan ialah penyelenggaraan pemilihan umum untuk parlemen dan Majelis Konstituante. Pemilu yang diidam-idamkan ini akhirnya terselenggara untuk pertama kalinya pada masa kabinet Burhanudin Harahap (1955). Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya pemilu ini memiliki dua tujuan dan dilaksanakan pada waktu yang relatif berbeda.
Tujuan pertama ialah memenuhi amanat pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yaitu menjelmakan kedaulatan rakyat yang akan menjadi dasar kekuasaan penguasa. Konsekuensi logis dari Pemilihan Umum adalah terbentuknya parlementer (57) dan pemerintahan baru.
Sedangkan tujuan kedua ialah membentuk Konstituante (Pasal 135) untuk “bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Terbentuknya Majelis Konstituante memberikan wadah untuk berdiskursus secara konstitusional dan tugas utamanya ialah untuk merumuskan dasar negara secara permanen. Namun, isu negara berdasarkan Islam mencuat kembali yang sebelumnya telah muncul pada sidang-sidang BPUPKI. Dalam sidang Majelis Konstituante terjadi perdebatan panas dan sengit antara kaum “Islamis dan nasionalis”.
Adu Dalil dalam Majelis Konstituante
Perdebatan tentang dasar negara tak berjalan mulus seperti perdebatan masalah-masalah lain. Dalam konstituante diskursus yang terjadi antara kaum Islamis dan nasionalis menjadi panas dan sengit. Jauh dari kata kompromi dan malah bersifat antagonistik.
Menurut Adnan Buyung Nasution, “perdebatan-perdebatannya bersifat ideologis, mutlak-mutlakan dan antagonistik, sehingga partai-partai terutama kelompok Islam dan kelompok nasionalis tidak saling mendekati satu sama lain melainkan bahkan makin jauh terpecah”.
Kelompok Islamisme banyak mengemukakan dalil yang menggambarkan superioritas Islam. Setidaknya ada beberapa hal yang menunjukkan superioritas tersebut. Pertama, watak holistik Islam, Kedua, keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan Ketiga, kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Natsir dalam salah satu pidatonya, ia mengatkan bahwa Pancasila itu bercorak sekularisme (la diniyyah), karena itu ia sekuler dan tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya. Natsir juga mengemukakan kenapa negara harus berdasarkan Islam (Konstituante RI, 1958).
Ia berdalil bahwa Bagi kami, Pancasila sebagai dasar filsafat negara itu tidak jelas dan tidak menyatakan apa-apa kepada jiwa masyarakat Muslim yang sudah memiliki ideologi yang pasti, jelas dan lengkap.
***
Sesuatu yang terpancar dalam lubuk hati rakyat Indonesia sebagai ilham yang hidup dan sumber kekuatan, yakni Islam. Bagi kaum Muslim, mengganti Islam dengan Pancasila sama saja artinya dengan lompat dari bumi yang kokoh ini ke ruang hampa ke dalam suatu kekosongan.
Pernyataan tersebut juga mendapatkan balasan yang tak kalah antagonisnya dari pendukung Pancasila. Dalam buku Islam dan Negara karya Bahtiar Effendy, Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa Pancasila bukan dasar negara yang sekuler.
Kenyataan bahwa Pancasila mengandung sila seperti “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bahwa negara terdiri dari badan-badan yang mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan agama (yakni Departemen Agama) merupakan indikasi kuat bahwa Indonesia tidak didasarkan kepada ideologi sekular.
Balasan lainnya datang dari Arnold Mononutu (PNI, Kristen) ia mengatakan “Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaarding, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa.
Kita Tidak Boleh Menutup Mata
Sebuah keniscayaan bahwa Indonesia merupakan negara yang heterogen dari aspek sosial-keagamaan. Pancasila dianggap mampu menjadi lokus persatuan terhadap perbedaan yang ada dalam bangsa ini meskipun tak luput dari ketidaksempurnaan. Perdebatan yang berlangsung panas dalam konstituante tak kunjung menemukan hasil.
Hingga rapatnya yang terakhir pada 2 Juni 1959, Majelis konstituante dibubarkan melalui sebuah dekrit yang dikeluarkan oleh Sukarno dan kembali pada UUD 1945 serta menjadi gerbang menuju demokrasi Terpimpin. Hal ini juga menutup kemungkinan untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia secara konstitusional.
Dengan keadaan demikian, hal yang dapat dilakukan sekarang dalam memperjuangkan Islam di Indonesia ialah perjuangan substansial.
Seperti yang dikatakan Muhammad Hatta “perjuangan umat dalam menegakkan Islam haruslah berpedoman pada Filosofi ilmu garam, bukan ilmu gincu”. Maknanya di sini ialah, pada garam, filosofinya “terasa tapi tak terlihat”, sedangkan sifat gincu, “terlihat tapi tak terasa”
Dalam perjalanan bangsa hingga saat ini, kita tidak boleh acuh dan menutup mata terkait permasalahan bangsa. Karena menyitir ucapan salah satu tokoh bangsa, Buya Syafii Maarif, beliau mengatakan “Kita tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final”.
Penulis adalah Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai Anggota Aktif Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat.