Kalimah Sawa’-Kita itu adalah sama. Sama-sama ingin menjadi orang mulia. Sama-sama ingin hidup damai dan sejahtera. Sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Kita juga sama-sama hidup di wilayah yang sama yaitu di tanah air Indonesia. Kita juga adalah saudara. Entah saudara sekandung, ataupun saudara seiman. Kalaupun kita bukan saudara sekandung atau saudara seiman, maka setidaknya kita adalah saudara seperjuangan atau bahkan saudara sebangsa dan setanah air. Kita benar-benar sama. Di mana kesamaan itu seharusnya diperjuangkan bersama-sama dengan melakukan kerjasama yang sebaik-baiknya.
Namun, meskipun begitu kita juga ada bagian-bagian yang berbeda. Berbeda dalam hal pandangan, berbeda kemampuan, berbeda dalam hal berpendapat, atau terkadang kita juga berbeda dalam menyikapi sesuatu yang padahal itu adalah hal yang sama. Tetapi Berbeda itu boleh-boleh saja. Yang terkadang menjadi masalah adalah saat perbedaan-perbedaan itu memicu ketegangan, kerusuhan dan perpecahan atau yang lebih parah adalah tindakan anarkis yang berujung luka atau sampai hilangnya nyawa. Mengedepankan persatuan lebih penting daripada menonjolkan perbedaan, apalagi hanya untuk kepentingan “pencitraan”.
Peradaban di bangun bukan karena adanya perbedaan dan persamaan. Karena keduanya adalah fitrah yang menjadi dasar sunatullah di alam ini. Manusia saja tercipta dengan dua jenis yang berbeda, ada laki-laki dan perempuan. Tetapi meskipuan mereka berbeda, mereka disatukan oleh sebuah “rasa” yang membuat mereka tanpa sadar melupakan apa perbedaan-perbedaan di antara mereka. Entah beda pandangan, beda usia, beda kebutuhan dan perbedaan-perbedaan yang lainnya. “Rasa” itu benar-benar menyatukan fitrah perbedaan itu. Rasa yang meleburkan mereka dalam kerelaan dan mampu membuat rasa pahit menjadi manis.
Apakah rasa itu? Rasa itu adalah perasaan saling menghormati dalam hal yang berbeda, dan kemauan saling bekerjasama dalam hal-hal yang sama. Entah orang mau mengatakan dengan sebutan apa, tetapi yang jelas rasa itu nampak dalam setiap benak individu. Perasaan menghargai antar sesama itulah yang harus dihadirkan untuk menyikapi sebuah realitas keanekaragaman. Karena bukankah kita tercipta dari bapak ibu yang berbeda? Kita juga hidup di lingkungan budaya, agama, sosial yang berbeda? Apalagi kita terlahir di dunia ini dengan bentuk fisik dan psikis yang berbeda pula? Keragaman dan perbedaan adalah sebuah keniscayaan.
Kekerasan Bukanlah Kebijaksanaan
Lalu kenapa kita tidak mampu menyikapi perbedaan itu dengan bijaksana? Oleh karena itu, maka kita perlu lebih semangat untuk bisa mengedepankan titik kesamaan di antara kita. Karena meskipun kita berbeda, akan tetapi kita lebih banyak dalam hal persamaannya. Mari berjalan menuju sebuah titik pertemuan itu. Berjalan menuju sebuah “Kalimah Sawa”. Sebuah titik di mana dengan yang berbeda harus mampu disikapi dengan baik yakni “rasa saling menghormati” dan dengan yang sama mari kita hadirkan “rasa untuk mau bekerjasama”. Hadirkan kebersamaan dengan lebih banyak porsinya, tanpa menghina kekurangan dan merendahkan sebuah perbedaan.
Banyak kasus dan contoh terjadi di negeri ini, hanya karena masalah “perbedaan sepele” tidak jarang mampu menyulut amarah. Atau bahkan berujung pada konfik hingga berujung pada sebuah kasus pembunuhan dengan jumlah kerugian nyawa yang tidak sedikit. Apalagi pemicunya hanya sentimen etnis atau suku, di mana sebagai contoh yang terbaru seperti kerusuhan di Wamena kemarin. Sentimen sara berujung pada aksi brutal dan kekerasan, hingga aksi pembantaianpun terjadi. Lalu apakah yang demikian itu dapat dibenarkan? Bahkan hati nurani siapapun seharusnya berkata sungguh sangat miris kejadian itu.
Adanya konflik, persinggungan atau pertentangan adalah suatu kewajaran dalam sebuah masyarakat yang plural. Adanya perbedaan pendapat adalah hal yang pasti di dalam masyarakat multikultural, atau bahkan masyarakat multireligius sekalipun. Perbedaan pendapat itu bukan karena semua pendapat harus diterima, tetapi karena tidak adanya rasa agar menghormati pendapat dengan baik. Dialog, komunikasi yang baik, dan musyawarah adalah sarana paling tepat untuk mencari titik temu di tengah-tengah permasalahan perbedaan pendapat atau bahkan pertentangan itu. Bukan justru disikapi dengan aksi kekerasan, represif, atau bahkan sampai berujung adanya pembantaian.
Tindakan yang lebih mengedepankan emosi bukanlah ciri-ciri masyarakat berpengetahuan atau masyarakat ilmiah. Masyarakat ilmiah terbiasa membaca rumusan masalah, yang ditandai dengan adanya kesenjangan antara teori dengan realitas di lapangan. Itu adalah konflik, itu merupakan masalah. Masyarakat ilmiah berorientasi pada solusi dialogis dengan mengedepankan ilmu, bukan mengedepankan aksi brutal-emosional yang hanya lebih banyak menimbulkan kerugian, entah kerugian moril maupun materiil. Sekali lagi “kebijaksanaan bukanlah terletak pada aksi kekerasan, tetapi pada aksi dialog ilmiah dengan mengedepankan tata nilai dan tata kebenaran” yang seharusnya tidak hanya akal yang dapat menerima, tetapi hati nurani yang siapapun dapat menerimanya.
Hasil ijtihad (baca: kesungguhan) menuju kesependapatan dalam perbedaan itulah yang harus disepakati, karena atas dasar kebenaran ilmu dan nilai, bukan atas amarah yang berujung kekerasan. Sehingga prasyarat ijtihad itu harus adanya budaya ilmu dan keterbukaan terhadap pengetahuan. “Kalimah Sawa” adalah suatu titik untuk mampu bersikap sebaik-baiknya dengan mereka yang berbeda maupun dengan mereka yang sama. Di mana dengan yang berbeda mari kita saling menghormati dan dengan yang sama mari kita bisa saling bekerjasama.[]
“Hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda bukanlah hidup untuk mencari siapa yang menang, tetapi berlomba-lomba untuk siapa yang paling sebanyak-banyaknya berkontribusi dalam menyikapi perbedaan dengan sebaik-baiknya”
By: REDAKSI KALIMAH SAWA’