Konflik antar warga sudah sering kali terjadi di Indonesia. Jika kita telusuri konflik bersifat inheren, artinya konflik akan terus ada di setiap ruang dan waktu dalam masyarakat. Penyebab konflik pun beraneka ragam seperti perbedaan kepentingan sosial, gesekan antar golongan, kesalahan persepsi, dan banyak penyebab lainnya. Perbedaan dalam masyarakat tidak dapat kita hindari. Namun, dalam hal ini kita bisa berupaya menekan angka konflik yang akan terjadi dengan beberapa cara. Adapun untuk bencana sosial yang telah terjadi terdapat langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk membenahinya.
Konflik Sosial dan Mitigasinya
Secara singkat ada tiga tahapan yang harus kita lewati dalam manajemen konflik, yang pertama adalah peace making, yaitu upaya peredaman konflik dengan melibatkan aparat keamanan, yang kedua adalah peace keeping yakni mengumpulkan pembesar-pembesar dan pimpinan kelompok untuk berkumpul dan berunding untuk melakukan genjatan senjata.
Setelah itu langkah terakhir adalah peace building (Bina Damai), yaitu kegiatan terprogram yang khusus demi terbentuknya keharmonisan antar pihak yang berkonflik. Mekanisme dari bina damai biasanya terbangun dalam waktu yang cukup lama (Suprapto, 2020 : 82-83).
Namun dalam kenyataannya langkah ketiga jarang dilakukan karna dinilai cukup sulit dan memerlukan perhatian yang intens dalam prosesnya. Ketika nota genjatan senjata telah tertandatangani dan kondisi terasa sudah aman, langkah ketiga biasanya tidak dilakukan sama sekali. Sebab itu sering kali konflik kembali terjadi karena dalam internal masyarakat belum tercipta keharmonisan.
Angkringan : Solusi Bencana Sosial
Jika kita telusuri, sebenarnya ada beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam hal ini saya mengambil angkringan sebagai salah satu contoh upaya meredam dan mencegah konflik dalam masyarakat.
Menurut hasil pengamatan dari teman-teman saya yang berada di luar pulau Jawa dan juga berdasarkan data-data valid yang didapatkan dari beberapa jurnal, dapat penulis simpulkan bahwa angkringan adalah produk budaya yang ada di Jawa.
Sistem penjualan angkringan sangat sulit untuk kita temukan di daerah luar Jawa. Angkringan sebagai kearifan lokal di Jawa, merupakan salah satu dari banyaknya alternatif yang dapat kita jadikan solusi atas berbagai konflik yang terjadi di masyarakat.
Karena angkringan merupakan salah satu dari banyaknya kearifan lokal yang ada di Jawa. Angkringan berasal dari bahasa Jawa “angkring” yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Namun angkringan saat ini sudah mengalami perubahan bentuk dari maknanya.
Walaupun masih ada beberapa angkringan yang berbentuk seperti itu namun substansi dari angkringan masih sama yaitu sebagai tempat berkumpul, nongkrong, dan juga makan. Di angkringan tersedia makanan-makanan ringan seperti gorengan, sate puyuh, sate usus, es teh, telur asin, keripik dan makanan ringan lainnya.
Suasana dan kondisi yang nyaman di angkringan dapat menjadi salah satu poin plus yang menjadikan angkringan cocok sebagai tempat berkumpul. Selain itu tempat yang strategis seperti di samping perkantoran, di dekat kampus, dan tempat-tempat lain yang menjadi pusat berlalu-lalang banyak orang juga menjadi sebab angkringan tidak pernah sepi peminat. (Azizah, 2015 : 63)
Ankgringan Tempat Paling Egaliter
Dalam sistem pelayanan di angkringan penjual menyediakan tempat untuk pembeli agar bisa makan di tempat. Walaupun tempat yang terbatas memaksa pembeli untuk duduk saling berdekatan bahkan saling berhadapan satu sama lain. Hal ini memicu adanya komunikasi antar warga yang pada akhirnya membentuk keharmonisan di lingkungan masyarakat.
Selain itu, dalam angkringan, kita akan menemukan sistem egaliter di mana seluruh elemen masyarakat dapat berkumpul di satu tempat, entah itu PNS, tukang bangunan, penjual baju, dan ragam pekerjaan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena kondisi serta makanan yang tersedia di angkringan termasuk dalam kategori murah meriah.
Tentu ini menjadi daya tarik masyarakat sekitar untuk makan dan berkumpul di sana. Sistem egaliter seperti ini akan menghilangkan sekat antar masyarakat yang memudahkan terjalinnya komunikasi interaktif.
Alasan lain angkringan dapat dijadikan solusi atas bencana sosial seperti konflik, yaitu angkringan merupakan wadah meluapkan masalah-masalah yang telah kita alami. Di sana kita dapat dengan leluasa berkomunikasi dengan bebas tanpa memandang strata sosial, perbedaan agama dan perbedaan lainnya.
Ini menjadi salah satu solusi agar terciptanya rasa saling pengertian dan memahami kondisi dari anggota masyarakat lainnya. Jika hal ini terus menerus kita lakukan maka kesenjangan sosial, konflik sosial, tendensi kelompok, perang antar warga dapat dengan mudah untuk kita cegah.
Walaupun terlihat tidak berdampak sama sekali, nyatanya dalam masyarakat Jawa sangat jarang kita temukan gesekan akibat berbagai macam perbedaan lebih-lebih sampai menimbulkan konflik sosial berupa perang dan kontak fisik lainnya. Pada akhirnya angkringan sudah menjadi perisai dalam menjaga keharmonisan dalam ranah kecil masyarakat. Kearifan lokal ini harus senantiasa kita jaga di tengah berbagai dinamika yang terjadi dalam internal masyarakat Indonesia. Membeli dan meramaikan angkringan secara otomatis telah ikut menjaga kearifan lokal itu sendiri.
Pengembangan tempat-tempat dengan sistem angkringan saya kira dapat menjadi solusi dalam menyikapi kelompok masyarakat yang sering kali terlibat dalam konflik. Poin yang harus kita garisbawahi adalah masyarakat dapat bertemu secara langsung dan bercengkerama dengan tujuan terjadi kontak sosial dalam masyarakat.
Editor: Rahmat Rusma