Oleh: Gigih Imanadi Darma
Duka tak henti-hentinya menyelimuti Muhammadiyah. Setelah Prof. Bahtiar Effendy, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. M.Ag. Persyarikatan yang telah berusia seabad lebih ini, kehilangan aktivis senior cum intelektual, Agus Edy Santoso. Di Muhammadiyah Agus Lennon diamanahi sebagai Wakil Ketua Bidang Kelembagaan dan HRD Lazismu pusat.
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang juga pernah mengenyam kuliah di Fakultas Ushuludin, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga itu pergi menghadap Rabbnya, pada Jum’at malam, pukul sembilan lewat, 10 Januari 2020.
Di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Kepergiannya turut dihantar oleh gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Itu artinya Agus Lenon sudah lebih dari 40 hari meninggalkan dan menyisakan kenangan bagi kita semua.
Laki-laki yang terus menerus sibuk sepanjang hidupnya itu, meninggal dalam usia menujutua, 60 tahun kurang enam bulan. Oleh teman-temannya, beliau akrab disapa Agus Lenon. Bermula saat mahasiswa, ia kerap kali memakai kacamata bulat, yang juga sama dipakai oleh idolanyamusisi kenamaan sekaligus pemimpin gruop band The Beatles, asal kota Liverpool, John Lennon.
Agus Lenon : Aktivisme saat Mahasiswa dan Cerita dari Kawan
Barangkali Agus Lenon, tidak banyak dikenal oleh kader muda Muhammadiyah, namanya tak sementereng, Muhajir Effendy, Abduk Muf’ti, dan kader-kader Muhammadiyah lainnya yang malang melintang di layar kaca. Tetapi sebagai pegiat kebencanaan dan kemanusiaan, siapa yang tak mengenal Bro Agus.
Begitu sapaan yang sering ia lontarkan pada siapa saja. Bro. Pribadi yang riang, tangkas, humoris. Berapi-api saat diskusi juga punya empati nomor satu terhadap sesama. Karakter yang sangat khas aktivis lapangan.
Di kalangan aktivis 80-an nama Agus Lenon begitu tersohor, era itu dimana kekuasaan Soeharto begitu represif, kabar hilang dan diculiknya aktivis menjadi berita biasa di telinga para aktivis. Dirinya yang ikut menentang Soeharto termasuk dalam list daftar hilang inteligen.
Pernah satu waktu ia di datangi oleh 3 orang intel berambut cepak. Mereka sudah lama mengintai sebuah rumah di daerah Pancoran. Rumah itu punyanya Ahmadi Thaha, seorang aktivis nyambi Jurnalis di Tempo, teman Agus Lenon, dan disitulah ia kerap bermalam.
Saat Agus keluar dari rumah, ia dicegat intel-intel itu, dan ditanyai, “apakah saudara kenal dengan Edy Agus Santoso, ia bersembunyi di rumah itu.” tunjuk salah satu intel ke arah rumah Ahmadi Thaha. Agus dengan enteng menjawab, “ tidak kenal pak, saya tidak tau dengan yang namanya Agus itu.” Lalu intel-intel itu pergi dan menyebar di gang sekitar rumah Ahmadi.
Semenjak menjadi mahasiswa, Agus aktif terlibat di pelbagai organisasi, jika kita melacak genealogi nya, maka akan kita temukan fakta menarik, bahwa ia dulunya pernah membidangi Departemen Penerangan di PB HMI masa bakti 1983-1985, setelah sebelumnya membentuk kelompok diskusi, yang diberi nama Lingkar Studi Nusantara.
Baca Juga: Ketika Tuhan Turun ke Bumi
Kegemarannya akan pengetahuan, kemudian membawanya untuk membentuk kelompok diskusi alternatif lain, bersama Djohan Effendi, kawannya yang belakangan kita tau sebagai tokoh Ahmadiyah, mereka dirikan Kelompok Studi Proklamasi.
Semasa kuliah, ia seperti tukang pos ; menghantarkan buku-buku ke teman-temannya, menyambangi mereka dari kos ke kos, dari satu forum diskusi ke diskusi berikutnya. Kalau ada temannya yang pandai, boleh dibilang Agus lah yang pertama-tama mendistribusikan pengetahuan kepada mereka.
Denny JA, bercerita tentang pengalamannya di ajak oleh Agus berkunjung ke tokoh kiri, lalu mengkopi buku-buku Tan Malaka, kemudian membagikannya cuma-cuma kepada teman-temannya. Pernah juga Denny diajak silaturahmi ke para aktivis yang terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok, mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai fundamentalis, tetapi oleh Agus malah diberi hadiah buku-buku Ali Syariati. Saat ditanyai, Agus bilang, “ biar mereka lebih revolusioner juga visioner”
Kisah-kisah diatas memberikan kita gambaran, betapa Agus pandai berjejaring. Ia tergolong intens bersinggungan dengan kelompok yang beragam, bahkan saling bertentangan, macam-macam pemikiran, dari yang paling kiri progresif sampai kanan fundamentalis.
Hal itulah yang menjadikan Agus sangat luwes dalam mengelola perbedaan. Ia punya banyak teman, sahabat, atau sekedar kenalan yang berbeda haluan politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit Agus bahwa beda prefensi politik itu biasa. Ia punya kalimat bagus untuk menggambarkan itu, “Teman di atas Politik!” Sebuah sikap, yang tumbuh dari pengalaman hidup yang panjang .
Menjadi Muhammadiyah di akhir Hidup
Politik mungkin adalah sumber dari segala kekacauan, tetapi ia melampaui itu dengan cara bersikap acuh, Agus berhasil menjadi yang indah dari dan dalam yang kacau.
Selepas berakhirnya Orde Baru, Agus konsisten di jalan aktvis dibanding dengan kawan seangkatan nya yang notabene menjadi politisi, Agus Lenon lebih memilih jalan sunyi. Ia pemain belakang layar, ditengah ribut-ribut politik dirinya justru khidmat di jalan kemanusiaan. Jika menjadi aktivis adalah jalan pedang, maka Agus adalah pendekar pilih tanding.
Ia bergerak di Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM), kawan karibnya Syaefudin Simon menjadi saksi betapa iklhas dan cinta Agus pada kemanusian tak lekang oleh zaman,
“ Dia malang melintang membina petani kecil di desa-desa terpencil di Jawa Tengah, NTB, Papua, dan lain-lain. Dia juga membimbing nelayan kecil untuk membesarkan lobster di Pantai Selatan Jawa dan membela wong cilik yang tergusur oleh deru pembangunan.”
Sepertinya ia memang dilahirkan untuk menjadi penggerak sosial, alasannya sederhana karena Agus cinta akan kerja-kerja kemanusian.Begitulah memang, yang lekas jadi pudar, tapi cinta membuatnya terang.
Baca Juga: Musuh Pancasila Menurut Hamka
Jalan yang ditempuh Agus mungkin gelap dan sunyi, tetapi lewat jalan itu, ia merasakan kenikmatan yang indah dalam hidup yang amat begitu singkat ini. Tanpa orang-orang baik, jelas kita tidak bisa menghasilkan apa-apa. Nafas Agus boleh jadi berhenti, tapi derap tapak kakinya untuk rakyat kecil akan tetap menjadi bunyi kebaikan.
Semasa hidupnya, meski lebih dikenal sebagai aktivis ‘kiri’ dan banyak bergaul dengan orang-orang liberal. Justru secara terang-terangan Agus Lenon mengidolai sosok AR. Fachrudin, bagi Agus pak AR adalah representasi yang pas dari semangat hidupnya.
Karib nya Syaefudin Simon, mengungkapkan bahwa Agus Lennon dalam satu obrolan panjang dan serius, saat ditanyai siapa yang menjadi panutannya, ia berujar “ Pak AR adalah pribadi yang ku kagumi. Sederhana, peduli orang miskin, tidak gila jabatan, dan membangun persaudaraan antar umat.”
Agus Lennon telah menjadi bagian Muhammadiyah, di fase hidupnya yang terakhir, satu-satunya organisasi yang beliau pilih dan tekuni adalah Muhammdiyah. Ia tercatat aktif di lembaga filantropi, Lazismu. Sejalan dengan visi hidupnya; menolong yang susah, memanusiakan manusia. Tak peduli dari tanah mana ia berasal, agama apapun yang ia anut.
Kalau boleh meminjam istilah, maka Agus Lennon sebetulnya hendak bilang “Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku.”Sebab kau mencintai manusia dan kemanusian. Semailah cinta di rumahmu yang abadi. Nun di Firdaus sana.
Selamat jalan Agus Edy ‘Lenon’ Santoso. Catatan pendek yang hanya Seribu kata lebih ini, tidak pernah terasa cukup untuk mengenang manusia baik seperti mu. Dari sini, dari jendela kamar yang diciumi hujan, aku kirimkan hadiah terbaik di hari ke-40 mu di surga sana.
Penulis merupakan mahasiswa aktif jurusan Komunikasi dan Penyiaran UMY
Sumber Ilustrasi: suaramuhammadiyah.id