Belakangan ini virus corona yang melanda negara China banyak memakan korban. Sehingga, virus itu dianggap salah satu motif dari kematian masyarakat. Namun, ada virus yang lebih berbahaya dan bisa dibilang radikal di negara Indonesia. Yaitu, virus khilafah sebagai sebuah virus mematikan pemahaman agama kita yang moderat menjadi lebih radikal dan ekstrem.
Virus corona mungkin korbannya hanya masyarakat yang ada di China, tetapi kalau virus khilafah yang selama ini marajalela sudah mensistematisasi dalam setiap organisasi Islam di berbagai dunia, terutama di Indonesia, Di antaranya, yang terpapar virus khilafah mulai dari HTI, FPI, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansarut Daulah, Al-Qaeda, ISIS dan organisasi Islam radikal lainnya.
baca juga: Sunnah Nabi di Saat Wabah
Khilafatisme merupakan sistem pemerintahan Islam yang pernah dipraktekkan di era kenabian. Dalam konteks ini, dari masa ke masa terkait perubahan dalam sistem pemerintahan memang tidak baku, tetapi pasti ada tranformasi nilai. Berbeda dengan khilafah yang kian ingin diterapkan di negara Pancasila.
Di Indonesia, khilafah justru dianggap sebuah virus, tetapi bukan sistem dalam tatanan pemerintahan. Karena itu, berbahaya dan mengancam kepastian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Bahkan, proses terimpornya virus khilafah yang datang dari timur tengah tersebut seolah-olah tidak ada itikad baik untuk meneguhkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam rahmatan lil ‘alamin, itu hadir untuk melakukan moderasi beragama yang bisa meningkatkan perkembangan keislaman, dan keindonesiaan. Kedua simbol tersebut sebagai sebuah proyeksi dan strategi baru (Islam moderat) di era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam upaya menangkal virus ideologis (khilafah) yang melekat dengan radikalisme dan ekstremisme.
Membongkar Virus Khilafah
Khilafatisme yang digaungkan oleh kelompok Islam yang terpapar virus radikalisme-ekstremisme. Tentu, hal ini bisa jadi lahan basah bagi mereka yang tidak bisa bertanggung jawab atas terbelahnya bangsa Indonesia. Andai saja, kalau kita terjemahkan secara politis, kelompok yang pro khilafah jelas-jelas hanya mengusung proyek atau isu dagangan.
Industrialisasi virus khilafah kian merambah ke masjid-masjid, dan kampus-kampus negeri. Temuan ini sungguh menghawatirkan kita semua sebagai muslim yang tidak meinginkan adanya oknum penyebaran paham radikal, dan paham ekstrem. Sebab, khilafah Islamiyah hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik dengan cara menggunakan simbol-simbol identitas (agama).
Kamaruddin Khan misalnya, sebagaimana dikutip Ainur Rafiq dalam bukunya Membongkar Proyek Khilafah, dan dikutip lagi oleh Mujiburrahman, dkk (Khilafah Islamiyah: Catatan Kritis dari Aspek Teologis hingga Pendapat Para Ulama; 2) dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa konsep negara sama sekali tidak ada dalam al-Quran. Meskipun term khalifah kerap dijumpai di dalamnya, namun tak sekalipun digunakan dalam pengertian politik.
Kepentingan politik kelompok Islam radikal memperlihatkan bahwa khilafah Islamiyah merupakan alat untuk berdemokrasi di Indonesia. Padahal, mereka-mereka itu kontra Pancasila dan demokrasi. Dalam konteks inilah, muncul perbedaan, jika virus corona itu merusak kesehatan umat. Sedangkan, virus khilafah merusak cara pandang keagamaan yang moderat menjadi lebih ekstrem dan radikal.
baca juga: Ki Bagus: Kecewa, namun Tetap Setia
Potensialnya, menjadi ancaman terhadap ideologi dan merusak tatanan pemerintahan yang didasarkan kepada demokrasi dan Pancasila. Islam sendiri memiliki keterkaitan dengan sistem dan dasar tersebut. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang didasarkan atas prinsip rahmatan lil ‘alamin.
Agama dan Pesan Perdamaian
Islam sebagai agama yang membawa pesan-pesan damai memang sudah dipraktekkan di era Nabi Muhammad SAW, bahkan sejak masuknya Islam ke Indonesia tidak lain adalah untuk mengkonseptualisasikan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang bisa bernarasi perdamaian. Akan tetapi, bukan untuk kekerasan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ [21] ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.s. Al-Anbiya’ [21]: 107).
Sejarah mencatat dalam ayat ini bahwa negara yang didasarkan kepada Islam rahmatan lil ‘alamin memiliki kecintaan, kesetiaan, kemakmuran dan kedamaian bagi suatu negeri yang adil, serta bisa membuat masyarakat hidup rukun, tentram, damai, dan mampu menjaga keselamatan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Keselamatan secara redaksional tentu dari ancaman maupun bahaya laten virus khilafatisme yang cenderung radikal-esktrem. Ketika sebagian kelompok Islam radikal itu melawan negara dengan isu agama itu sungguh tidak mencintai perdamaian sebagaimana Islam itu berbicara hal tersebut sampai seesensial mungkin.
Peran Civil Society dan Negara
Tampaknya, ada upaya penghancuran terhadap sistem dan ideologi negara akibat efek virus yang sifatnya ideologis (khilafatisme). Polanya, ingin menarik sejarah peradaban Islam modern ke masa-masa di mana Islam pada masa Nabi Muhammad selalu diperjuangkan hingga terjadi api peperangan di antara umat manusia.
Dan sudah menjadi peran masyarakat (civil society) dan negara untuk memulihkan kesehatan Pancasila yang sudah lama terganggu virus-virus ideologis (khilafatisme). Selama ini, yang menjadi korban virus tersebut adalah masyarakat yang kian bertambah berpikir keras (radikal-ekstrem). Sehingga, tidak memiliki komitmen terhadap keislaman dan keindonesiaan.
Selain itu, masyarakat dan negara harus lebih cerdas dalam menanggulangi virus-virus yang lebih radikal tersebut. Salah satunya dengan memiliki wawasan keilmuan dan keagamaan yang luas, setidaknya tindakan preventif ini menutup ruang geraknya agar tidak merajalela. Paling tidak, ada peran sinergis antara negara dengan masyarakat untuk deklarasi dan membubarkan ormas Islam yang mendukung khilafah. Selengkapnya baca disini