Oleh: Baharuddin
Demokrasi di Indonesia menjadi tema perbincangan yang cukup hangat beberapa waktu terakhir. Apalagi Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) pada 17 April 2019 lalu.
Di sisi lain bagi masyarakat Indonesia, kesuksesan Pemilu 2019 merupakan prestasi tersendiri dalam membangun sistem demokrasi. Indonesia termasuk satu di antara banyak negara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem dalam menjalankan roda pemerintahannya. Karena dianggap paling relevan dengan kondisi masyarakat yang beragam.
Penerapan sistem demokrasi di tengah penduduk mayoritas beragama Islam seperti Indonesia menjadi hal unik. Di tengah fenomena skeptisme pemikiran yang menganggap bahwa antara Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang bertentangan.
Sebagaimana menurut Abdul Mu`ti (2020), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ia menganggap bahwa Islam Indonesia menjadi komoditas Islam yang paling seksi.
***
Bahkan sering menjadi objek penelitian baik dalam konteks strategis, politis maupun relasi negara lain. Di awal reformasi misalnya, ada kekhawatiran dari para peneliti tentang kaitan Islam dengan demokrasi, HAM, dan gender.
Tapi karena terbukti Islam Indonesia tidak bermasalah, kekhawatiran kemudian bergeser menuju yang terkait dengan tema-tema populis lainnya. Anggap saja misalnya terorisme, radikalisme dan sejenisnya.
Baca Juga: Dari “Sabyan Gambus” Hingga Toleransi dan Perdamaian
Mu`ti kemudian menguatkan argumennya dengan menjadikan negara Timur Tengah sebagai contoh. Negara di Timur Tengah yang notebene mayoritas beragama Islam belum mampu menciptakan stabilitas bagi negaranya. Mereka justru berdarah-darah dalam menerapkan sistem pemerintahan demokrasi.
Bagi Mu`ti umat Islam di Indonesia jelas memiliki formulasi khusus dalam memediasi antara Islam dan demokrasi. Toleran, kerukunan dan moderasi adalah beberapa variabel yang mampu mensinergikan antara Islam dan demokrasi.
Oleh para founding father, nilai-nilai demokrasi telah dipandang sejalan dengan ajaran Islam khususnya yang bersinggungan dengan aspek syura (musyawarah). Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999) yang dikutip oleh Hajriyanto Y. Thohari (2019), berkat prinsip syura (musyawarah) yang begitu fundamental dalam Islamlah (Qs Asy-Syuura [42]: 38), maka penerimaan umat Islam akan demokrasi modern sangat alami.
Yusuf Qardhawi seorang ulama yang sangat berpengaruh, dalam Fatawa Mu’ashirah (1988) juga menegaskan bahwa “Esensi demokrasi berdekatan dengan ruh syura Islamiyah.” Bahkan, secara dramatis, Qardhawi menyebut demokrasi sebagai barang hilangnya umat Islam.
Muhammadiyah dan Demokrasi
Usia Muhammadiyah kini telah memasuki abad kedua. Lebih seabad lamanya Muhammadiyah telah hadir merawat Nusantara. Kiprah Muhammadiyah di negara demokrasi ini memang tidak diragukan lagi.
Peran dan kontribusi tersebut tidak hanya sebatas pada pelayanan sosial melalui jalur pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penyantunan terhadap kaum miskin. Namun juga berkontribusi dalam bidang politik.
Kontribusi politik para tokoh Muhammadiyah tersebut setidaknya dapat dilacak melalui peran Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan pandangan kebangsaan Pancasila. Tidak hanya Ki Bagus, ada nama Jenderal Soedirman, Kasman Singodimejo. Dan sederet tokoh lain yang tercatat dalam lembaran sejarah menyumbangkan ide dan aksi untuk kegiatan politik kebangsaan.
Muhammadiyah sebagai bagian dari tim perumus dasar Negara Indonesia memiliki pandangan khusus terkait demokrasi. Bagi Muhammadiyah, demokrasi merupakan sistem politik yang dikategorikan dalam wilayah muamalah duniawiyah. Dan itu merupakan salah satu kategori dalam rumusan agama yang dipahami oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah berpedoman kepada tuntunan Rasulullah Muhammad Shallallahu `Alaihi Wasallam yang mengatakan bahwa “Kamu lebih memahami dalam urusan duniamu”. Sehingga dengan demikian dalam konteks tersebut menurut Muhammadiyah dari aspek ushul fiqih pesan tersebut mengisyaratkan diperbolehkannya berdemokrasi.
Atas pemikiran tersebut, Muhammadiyah menganggap sistem ini merupakan suatu bentuk sistem politik yang dijalankan sesuai asas permusyawaratan. Bagi Muhammadiyah muamalah duniawiyah seperti demokrasi bukan suatu bentuk sistem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena secara historis agama Islam pada zaman dahulu juga mengajarkan bermusyawarah dalam menentukan pemimpin.
Keunikan dan konsistensi atas pandangan dan sikap Muhammadiyah terhadap sistem ini menjadi daya tarik bagi Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada. Yang kemudian melahirkan buku yang berjudul Dua Menyemai Damai: Peran dan Konstribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi.
Baca Juga: Rasisme dan Xenophobia: Yang Tidak Disadari dari Virus Corona
Buku yang ditulis oleh Muhammad Najib Azca, Hairus Salim, Moh. Zaki Arrobi, Budi Asyhari, dan Ali Usman ini memberikan gambaran tentang capaian Islam Indonesia. Yang direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam membangun dan mengukuhkan perdamaian dan demokrasi.
Menurut penilaian Muhammad Najib Azca, selaku Direktur PSKP UGM, Muhammadiyah dan NU menjadi pilar Islam berperadaban yang memegang peranan penting dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. Organisasi ini memiliki kekuatan struktural dari pusat sampai ke ranting. Selain juga sayap kultural yang kaya dan bertebaran di seluruh penjuru.
Azca menyebut Islam Indonesia sebagai smiling face of Islam in the world. Indonesia juga menjadi negara Muslim demokratis terbesar di dunia. Penulis lain, Muhammad Zaki Arrobi bahkan menjelaskan tentang beberapa peranan Muhammadiyah sebagai juru damai.
Muhammadiyah aktif mendorong reformasi damai dan mengawal transisi sistem politik berkeadaban. Suksesi tersebut sudah dibahas di internal organisasi sejak Tanwir 1993 di Surabaya.
Penulis merupakan Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Enrekang
Sumber Ilustrasi: salam.ui.ac.id