Tulisan ini saya buat bermula dari pengalaman saya yang mendapat tugas menjadi panitia PPDB di sekolah negeri daerah Temanggung. Yang mana sekolah tersebut termasuk sekolah favorit di daerah tersebut. Saya masih berstatus honorer dan baru kali pertama mendapatkan tugas kepanitiaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung menfasilitasi empat jalur pendaftaran untuk setiap sekolah yang bersetatus negeri, yakni; jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua, jalur zonasi dan jalur prestasi. Masing-masing memiliki kuotanya tersendiri, namun yang paling banyak adalah kuota zonasi.
Dari pengalaman itu, saya merasa bahwa peraturan Menteri Pendidikan saat ini sangat ambigu dengan adanya sistem zonasi. Bayangkan saja, ada calon siswa yang hendak mendaftar lewat jalur prestasi menggunakan nilai rapor tidak keterima karena jarak rumah dan sekolah yang terlalu jauh. Hal tersebut menyebabkan kehilangan skor secara otomatis. Perlu kita tahu juga bahwa skor zonasi sangat mempengarui karena memiliki nilai 100.
Hal ini membuat sang anak kecewa. Serta raut wajah orangtuanya yang tidak tega melihat kesedihan anaknya pun nampak jelas. “Anak saya ini pintar pak/bu, nilai rapor juga sangat sempurna tapi kenapa tidak di terima,” ujar salah satu orangtua dengan nada meninggi kepada panitia PPDB. Teman saya yang selaku operator pun menjawab dengan berat hati, “Mohon maaf bu, ini sudah kehendak sistem, kami dari pihak sekolah sudah tidak bisa bantu apa-apa, hanya bisa menyarankan mendaftar di sekolah yang dekat dengan rumah,” ujar teman saya selaku tim operator.
Persyaratan batasan umur dalam mendaftar sekolah bisa terbilang sangat konyol. Minimal anak SD untuk mendaftar SMP jikalau sudah berumur genap 12 tahun dan maksimal 15 tahun. Calon peserta didik yang tidak memenuhi syarat tersebut dinyatakan tidak lolos meskipun jarak rumah dekat dan memiliki prestasi dalam bidang akademik.
Akan sangat disayangkan jika terpaksa menolak anak-anak pintar yang seandainya lolos kemudian bisa mengharumkan nama sekolah tersebut. Daripada umur yang sudah terlalu tua dan pernah tidak naik kelas. Pada intinya sistem ini lebih mengutamakan orang-orang yang bermasalah sehingga tidak naik kelas, daripada yang benar-benar memiliki prestasi akademik yang bagus.
Hal tersebut sangat tidak sinkron dengan syarat mendaftar kerja yang cenderung di isi oleh kaum muda. Bayangkan saja, 15 tahun masuk SMP, masuk SMA di usia 18 tahun, masuk perguruan tinggi sudah umur 21, sekurang-kurangnya lulus perguruan tinggi adalah 4 tahun. Itupun kalau bisa selesai tepat waktu. Padahal syarat masuk kerja saja maksimal ada yang hanya sampai 25 tahun. Sayang jika sistem pendaftaran sekolah masih terbatas oleh umur. Kalau pun umurnya kurang tapi mampu mengikuti pembelajaran, kenapa tidak diterima saja?
Dalam prosesnya pun bisa-bisanya Dinas Pendidikan melaksanakan briefing melewati zoom meeting sehingga koordinasi PPDB kurang maksimal. Seharusnya jika melakukan koordinasi alangkah baiknya dengan tatap muka di dalam satu ruangan. Yang mana bila ada pertanyaan bisa ditanyakan langsung dan lebih bisa mendapatkan jawaban yang jelas. Namun ketika rapat koordinasi yang urgen lewat zoom meeting, maka akan banyak kendala. Salah satunya seperti kondisi sinyal yang kurang baik ataupun suara yang kurang terdengar jelas.
Selain itu, setiap jalur pendaftaran juga sangat terbatas oleh waktu, sebagai contoh: calon peserta didik melakukan pendaftaran melewati jalur zonasi. Namun ia juga mendaftar di SMP 2 karena dekat dengan rumahnya, di sisi lain ternyata di SMP 1 ia juga diterima karena skornya yang memenuhi syarat. Yang ia inginkan di SMP 1, namun karena ia belum mencabut di SMP 2 maka tidak bisa di SMP 1. Karena terjadi miskomunikasi, operator SD terkait memberi kabar ke peserta didik tersebut, “Tidak usah dicabut tidak apa-apa, langsung ke SMP 1 saja,” alhasil setelah datang ke SMP 1 tidak mendapatkan penerimaan karena pendaftaran di SMP 2 yang belum dicabut.
Saya sebagai panitia PPDB terheran-heran dan sangat tidak tega melihat raut muka anak tersebut. Dengan penuh perasaan kecewa, saya yakin bahwa ia ingin sekali masuk di SMP 1. Namun cita-citanya kandas begitu saja karena kurang maksimalnya koordinasi yang di selenggarakan oleh Dinas Pendidikan. Saya selaku panitia PPDB ingin sekali rasanya merubah sistem yang bobrok ini. Tidak ada zonasi dan batasan umur lagi. Sekiranya dia mampu dan memiliki nilai sempurna, kenapa tidak di loloskan saja?
Padahal dahulu sebelum ada sistem zonasi, SMP 1 memiliki kecenderungan di isi oleh anak-anak yang pintar dan nilai akademik yang sempurna. Akan tetapi dengan adanya sistem zonasi, guru harus memploting kembali lagi mana murid yang pintar dan murid yang kurang akademiknya. Hal itu sungguh sangat merepotkan dan sebenarnya tidak mau membeda-bedakan, toh kita sama-sama belajar. Namun inilah turunan dari kurikulum merdeka, membeda-bedakan antara murid yang pintar dan murid yang kurang pintar – untuk tidak menyebutnya bodoh – dengan istilah diferensiasi.