Pada era modern ini, manusia sering kali terjebak dalam kesibukan dan persoalan duniawi yang tak ada habisnya. Dalam pencarian kesuksesan dan harta benda, banyak dari kita yang lupa akan keberadaan Tuhan. Dalam menjalani rutinitas yang padat, tekanan dan beban pikiran kerap menumpuk menyebabkan stres dan kecemasan yang berkepanjangan. Ironisnya, dalam usaha mengejar hal-hal yang bersifat sementara di dunia, kita sering mengesampingkan hak-hak kita sebagai hamba terhadap tuhan.
Hal ini menciptakan jarak spiritual yang semakin lebar, di mana kita lebih mementingkan hal-hal yang tidak dapat dibawa mati, sementara hubungan dengan Allah sebagai sumber ketenangan dan kedamaian sering kali terabaikan. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa ingat kepada tuhan yang Maha Esa, karena selain dapat mendatangkan berkah, hal itu juga dapat membuat energi positif terhadap sikologi kita.
Eksistensi zikir sebagai praktik spiritual yang memiliki peranan yang sangat signifikan dalam menenangkan jiwa dan meraih kedamaian batin. Dalam Al-Qur’an dan hadis, zikir diidentifikasi sebagai sarana untuk mengatasi berbagai bentuk kegelisahan dan kecemasan yang sering menghampiri kehidupan sehari-hari. Dengan mengulang nama-nama Allah dan kalimat-kalimat pujian-Nya, individu dapat menciptakan suasana yang damai dan menenangkan, sehingga membantu meredakan stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Dalam surah ar-Ra’d ayat 28 menekankan pentingnya zikir dalam mencapai ketenangan jiwa. Pada ayat tersebut menyatakan bahwa “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram“. Para mufasir menjelaskan bahwa zikir bukan hanya sekadar pengulangan lisan, tetapi juga melibatkan pemikiran dan perasaan yang mendalam, menciptakan kedamaian batin dan mengatasi kegelisahan . Implementasi zikir dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi solusi efektif untuk masalah kesehatan mental di era modern, seperti stres dan depresi. Penulis akan membahas tentang kekuatan zikir sebagai penenang jiwa, yang merupakan refleksi dari surah ar-Ra’d ayat 28.
Zikir sebagai sarana mencapai ketenangan jiwa
Kata zikir dari segi bahasa berasal dari kata Arab “dzakara” (ذَكَرَ) yang berarti “mengingat” atau “menyebut”. Dalam konteks ini, zikir merujuk pada aktivitas mengingat Allah melalui lisan dan hati yang mencakup pujian dan doa. Lafadz zikir merupakan bentuk masdar dari kata kerja tersebut, menunjukkan tindakan yang berulang dalam mengingat Allah.
Zikir tidak hanya berfungsi sebagai pengingat spiritual, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ketenangan jiwa. Al-Qur’an menyebut kata zikir sebanyak 292 kali dalam 264 ayat dengan berbagai konteks yang berbeda. Tujuan zikir adalah untuk memperkuat hati, meningkatkan iman, dan memperdalam ketakwaan kepada Allah sesuai dengan ajaran al-Qur’an.
Praktik zikir menunjukkan korelasi yang positif dengan ketenangan jiwa. Oleh karena itu, zikir bukan hanya sekadar ritual ibadah, melainkan juga merupakan terapi jiwa yang efektif untuk mencapai keseimbangan emosional dan spiritual dalam kehidupan. Melalui pengulangan nama Allah, zikir membantu individu meredakan stres dan kecemasan, serta meningkatkan kesejahteraan mental.
Intensitas zikir berkaitan erat dengan ketenangan jiwa, di mana semakin sering seseorang berzikir, semakin besar pula rasa tenang yang dirasakan. Manusia yang senantiasa berdzikir akan merasakan ketenangan pada jiwa dan melakukan apapun terasa mudah ,karena merasa rileks dalam menghadapinya. Selain itu, urgensi dari dzikir ini, membuat manusia tidak melupakan esensi tuhan yang Maha Esa.
Terdapat kisah-kisah tentang praktik zikir yang menginspirasi banyak orang serta menunjukkan bahwa kekuatan spiritual dapat mengubah keadaan. Salah satu kisah terkenal adalah tentang seorang tabi’in yang akan menjalani amputasi kakinya. Sebelum proses amputasi dilakukan, ia lebih memilih untuk berdzikir daripada menggunakan obat penghilang rasa sakit.
Dengan khusyuk berdzikir pada saat akan di operasi, ia merasakan ketenangan dan tidak merasakan sakit sekalipun. Kisah kedua yang menceritakan kisah tentang Ali yang tertusuk panah, karena rasa sakit ketika mau dicabut. Ali memohon kepada sang tabib untuk melakukan shalat dan ketika ia shalat sang tabib mencabutnya. Ali tidak merasakan sakit sama sekali karena ia khusuk hanyut bercinta dengan tuhan. Dari kedua kisah tersebut menekankan bahwa zikir bukan hanya sekadar aktivitas ritual, tetapi juga merupakan sumber ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi ujian hidup.
Adapun di Indonesia, mayoritas masyarakat umumnya masih banyak yang menjalankan praktik zikir. Kebanyakan masyarakat menganut tarekat-tarekat Islam yang di dalamnya berisikan praktik zikir serta berbagai amalan-amalan. Eksistensinya juga sebagai sarana mencapai ridho yang Maha Esa dan sebagai obat untuk mecapai ketenangan batin.
Mereka meyakini amalan yang disukai Allah adalah sesuatu yang amalan yang dikerjakan dengan kreativitas hambanya. Seringkali mereka menunjukan praktik zikir yang diresapi dapat mendatangkan ketenangan batin. Ada yang sampai menggelengkan kepala, memejam mata, bahkan sampai meneteskan air mata. Hal itu merupakan kekuatan dari zikir yang dapat menarik energi positif untuk mental dan sikologi. Interpretasi makna ar-Ra’d ayat 28 menyatakan bahwa pentingnya ingat kepada Allah, karena dapat menciptakan ketenangan batin.
Dalam kajian tasawuf, seseorang yang telah sampai pada makrifatullah akan senantiasa berdizikir dalam setiap nafasnya. Sebab, hal tersebut membuat diri kita dekat dengan tuhan dan jiwa merasakan ketenangan. Terdapat nasihat yang bunyinya “Allah telah menciptakan segalanya untuk manusia dan ketika manusia dapat meninggalkan segalanya hanya karena Allah semata itulah wujud mahhabah yang sebenarnya”.
Sesibuk apapun kita jangan sampai lupa terhadap Allah sebagaimana Dia tidak melupakan kita. Demikian tulisan ini dibuat dengan sudut pandang moderat tidak bermaksud menyinggung pihak manapun. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Oleh : Rahardian Ahmad Nur Mochtar (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)