Harun Nasution merupakan salah satu tokoh intelektual Islam era kontemporer. Interpretasi makna Nasution sangat berbeda dengan penjelasan kontemporer lain dan klasik. Dalam pemikirannya, ia berusaha untuk menunjukkan tema umum dari sejumlah besar poin. Tema yang paling mencolok ialah soal rasionalitas. Ia berkontribusi pada problematika akal dalam skema teologi.
Hipotesis yang dikemukakan Harun Nasution menerangkan bahwa dalam islam kedudukan akal sangat diperhatikan. Akal memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan manusia. Akal melambangkan sebuah kekuatan. Dengan akal, manusia dapat memiliki kesiapan guna menaklukan makhluk lain di sekitarnya.
Semakin menjulang tinggi akal manusia maka akan bertambah tinggi kesiapan manusia dalam melawan makhluk lain. Begitu juga sebaliknya berkurangnya kekuatan akal manusia maka akan semakin lemah serta rendah dalam kesiapan menghadapi kekuatan makhluk lain.
Menurut Naution, rasionalis memiliki sebuah pendirian yang mana apresiasi akan dianggap bermakna jika suatu penafsiran dapat dikonfirmasikan melalui akal. Untuk memperoleh kebenaran dasar yang tidak dapat disangkal tentu memerlukan prosedur gagasan rasional (abstrak). Hal ini menjelaskan bahwa keabsahan dapat dipahami dengan tidak bergantung pada metode empiris. Selain sebagai sumber utama pengetahuan dan kebudayaan, pada dasarnya akal juga berkontribusi dalam perkembangan history keagamaan.
Akal merupakan suatu pola deduktif yang dapat dimengerti secara rasional. Itu tidak secara langsung berhubungan dengan pengetahuan indrawi, melainkan dengan kriteria seperti konsistensi logis. Hal ini juga menjadi salah satu bukti klaim bahwa akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan banyak diaplikasikan.
Bagi Harun Nasutian, rasionalitas yang dibawa Mu’tazilah sangat berpengaruh dan sangat penting pada perkembangan fikrah Islam di Indonesia atau modenisasi Islam di Indonesia. Ia mengatakan bahwa rasionalisasi teologi Islam merupakan faktor fundamental dalam skedul modernisasi yang lebih pesat dalam masyarakat Islam.
Kehadiran kalam rasionalitas Mu’tazilah menjadikan wacana teologi di Indonesia berkembang pesat. Di antara kalangan teologi Islam di Indonesia, hanya rasional Mu’tazilah yang menyebut mazhab Islam sebagai prioritas nalar spekulatif. Yang mana nalar spekulatif itu merupakan alat guna menyelesaikan problematika agama. Hal tersebut sangat mempengaruhi pembaharuan teologi Islam di Indonesia era kontemporer.
Dengan mengaplikasikan teologi rasional Mu’tazilah, ajaran Islam mampu menjadi solusi dalam persoalan sosial yang ada di Indonesia. Sistem ini merupakan atensi primer guna mengelaborasi teologi praktis yang dapat menerjemahkan Islam ke dalam konteks realitas sosial dan politik.
Di era kontemporer dan kemajuan IPTEK ini, sifat yang lebih rasional dari ajaran Mu’tazilah memiliki peranan penting. Jadi perlu digarisbawahi bahwa yang diperlukan kaum Islam di Indonesia dalam pembaharuan teologi adalah pemikiran yang dibawa Mu’tazilah yakni Rasional. Bukan lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah-nya, melainkan teologi rasional yang dinamis. Sebuah ajaran teologi yang percaya terhadap kekuatan akal manusia, percaya terhadap ilmu pengetahuan dan percaya terhadap hukum alam.
Seperti halnya umat Islam masa lampau yang maju dikarenakan menggunakan paham Rasional, dan seperti orang eropa yang sekarang maju sebab menggunakan paham Rasional, diharapkan teologi rasional Mu’tazilah juga bisa dipahami oleh orang Islam di Indonesia.
Penjelasan di atas sekaligus menjelaskan bahwa teologi rasional merupakan kekuatan akal yang dapat membawa kepada kemajuan. Hal ini berbeda dengan Teologi Tradisional yang mana tradisi ini membuat kita tidak maju, sebab terikat pada tradisi-tradisi dan adat istiadat pikiran lama.
Harun Nasution berkesimpulan bahwa jika umat Islam Indonesia ingin maju dalam menghadapi perkembangan-perkembangan IPTEK harus mengganti kemoderenan Teologi Tradisional dengan Teologi Rasional (kalam Asy’ari dengan kalam Mu’tazilah) dalam memahami Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Jika kita umat Islam di Indonesia menggunakan teologi rasional, maka kita dapat dengan mudah menghadapi problematika yang kita hadapi dalam mengikuti laju perkembangan zaman. Sebaliknya, jika kita masih menggunakan teologi tradisional yang fatalistik, irasional, predeterminisme maka kita akan kacau menuju kesengsaran dan statis sehingga umat Islam dianggap menghambat pembaharuan.
Editor: Anisa K.