Hamka Bercerita
Padahal, niat hati sebelumnya, saya bermaksud mencari literatur ayat mengenai pentingnya konservasi alam dan lingkungan. Penulis temukanlah salah satunya pada Surah al-A’raf ayat 56. Betapa beruntung! Saat mencari bagaimana pemahaman ulama tafsir, dalam hal ini penulis cari melalui Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Buya dalam penjelasannya menyelipkan kisah inspiratif, bahkan memuat tafsir progresif.
Mari pembahasan ini mulai dari ayat, “Dan janganlah kamu merusak di bumi sesudah selesainya dan serulah Dia dengan keadaan takut dan sangat harap. Sesungguhnya rahmat Allah adalah dekat kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Selanjutnya, kisah yang dikutip oleh Buya Hamka menjadi penting dalam tulisan ini. Terlebih kaitan dengan akhir-akhir ini, publik menjadi heboh dengan fenomena pemukulan seorang anak pejabat pajak kepada seorang sipil, putra dari salah satu pengurus GP Ansor.
Pada suatu hari Sayyidina Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah, berjalan di pasar dalam Kota Madinah. Tiba-tiba terlihat ada seorang tua yang sudah payah berjalan beringsut-ingsut dan badannya bertongkat-tongkat. Dia meminta derma, atas belas kasihan orang. Kemudian, beliau panggil orang tua renta itu. Ternyata seorang Yahudi. Maka, bertanyalah beliau, “Wahai orang tua! Mengapa sudah sampai begini nasibmu?”
Orang tua itu menjawab bahwa dia telah tinggal sebatang kara di dunia, anak-anak tidak ada lagi yang akan membantu, sedangkan dia mesti membayar jizyah tiap tahun. Untuk membayar jizyah itulah dia meminta-minta.
Terharu hati beliau mendengar perkataan orang tua itu. Lalu, sang khalifah perintahkan kepada pegawai yang mengiringi beliau, “Hapuskan nama orang tua ini dari daftar orang yang wajib membayar jizyah dan sebaliknya keluarkan dari Baitul Maal belanja hidupnya sampai dia meninggal!”
Orang tua itu berlinang air mata mendengar keputusan demikian dan Sayyidina Umar pun berlinang air mata, sambil berkata, “Tenaganya telah di habiskannya untuk kita pada waktu mudanya, mengapa dia tidak akan merasai pembelaan kita di waktu tuanya?” selesai.
Kerusakan Bumi dan Sikap Sewenang-wenang
Pertanyaannya, apa kaitan antara ayat kerusakan lingkungan dan persoalan pajak sebagaimana kisah di atas? Di sinilah menariknya. Bahwa sikap merusak alam, bagi Hamka, tidak saja dengan cara menebang hutan atau membuang sampah pada alir sungai. Sikap merusak bagi Hamka termasuk di dalamnya sikap arogan dan sewenang-wenang.
Adapun selanjutnya, Hamka memberi pesan, daripada berbuat kerusakan, lebih baik berbuat ihsan (kebajikan). Sementara contoh sikap ihsan yang di tunjukkan Hamka adalah melalui kisah inspiratif di atas. Kisah di atas, merupakan kisah yang relatif asing bagi saya, namun memiliki banyak hikmah dari berbagai sudut pandang.
Pertama, seorang tua di atas meminta derma dari khalayak untuk membayar jizyah (pajak). Rasanya begitu relevan dan kritik terhadap masa kini. Apakah yang dilakukan seorang tua tersebut sebagai bukti trust (kepercayaan) kepada pemimpin? Dalam keadaan terjepit saya kira orang akan memilih meminta derma untuk kebutuhan konsumtif ketimbang membayar pajak.
Kedua, setelah mendapat sikap ihsan dari sang khalifah, seorang tua tersebut tidak seperti akhir kisah yang pada umumnya ingin didengar. Seorang tua tersebut tidak bersyahadat memeluk Islam. Namun jaminan sang khalifah juga termasuk di dalamnya jaminan untuk tetap memeluk agama sebagai keyakinannya. Itu juga membuktikan keadilan Umar bin Khaththab tidak pandang bulu suku ataupun agama.
Ketiga, zakat sebagai penjamin masyarakat tertua. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Dauru al-Zakat: fi ‘Ilaaj al-Musykilaat al-Iqtishaadiyah menceritakan secara historis bahwa zakat merupakan lembaga pertama yang kita kenal sejarah yang mampu menjamin kehidupan bermasyarakat.
Jaminan dalam kehidupan bermasyarakat (asuransi) di Barat belum dikenal sebelumnya, dan baru digambarkan oleh kapitalisme pada tahun 1941 (di mana ditandatanganinya perjanjian Atlanta antara Inggris dan Amerika dalam kewajiban untuk merealisasikan jaminan kehidupan bermasyarakat bagi setiap individu.
Sementara jaminan kehidupan bermasyarakat di dunia Islam pada saat itu sudah diterapkan sebagai aturan kehidupan bermasyarakat. Bahkan, sejak munculnya ajaran Islam, zakat sudah menjadi rukun ketiga dari kelima rukun Islam, serta tentunya menjadi landasan dasar ajaran Islam.
Arogansi Kekuasaan Ketimbang Membela Mustadh’afin
Apa yang ditampilkan di berbagai media mengenai Mario Dandy dalam kasus penganiayaan terhadap David, menunjukkan satu kasus yang terungkap dari kasus lain yang belum terekspos mengenai kearoganan kekuasaan. Ketika khalayak lain mengambil sudut pandang pentingnya pendidikan keluarga. Menurut saya, ini juga bentuk suatu arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Buya menjelaskan mengenai tafsir dari kata sikap merusak dalam Surah al’A’raf ayat 56, “Puncak segala kacau, kusut, dan kerusakan adalah takabur, zalim, dan sewenang-wenang.”
Sementara itu, peran pajak dari masa Nabi saw. hingga sahabat tidak terbatas dalam pengentasan kemiskinan, tetapi bertujuan mengatasi permasalahan-permasalahan kemasyarakatan lain. Zakat menjadi pondasi pertama dalam membangun jaminan kemasyarakatan ataupun takaful (tolong-menolong) dalam kehidupan yang berlaku dalam masyarakat Islam.
Konsepsi alokasi pajak dalam Islam tidak menunggu kedatangan orang-orang lemah, para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan belas kasihan atau bantuan masyarakat, melainkan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menawarkan bantuan dan mencari orang yang membutuhkannya guna menutupi kebutuhan mereka. Dan hal tersebut kita lakukan secara berkesinambungan. Bukan hanya sekali pemberian.
Dengan demikian, apa yang kita tunjukkan akhir-akhir ini tentu bukanlah suatu hal yang kita inginkan. Anak dari pemangku kebijakan pajak yang semestinya memberikan teladan malah menunjukkan sikap rusak, kebringasan dan kesewenang-wenangan dari hasil jerih pajak rakyat.
Rasanya, dengan membaca tafsir Hamka, secara umum dalam seluruh ayat, saya merasa dekat dengan nasihat-nasihatnya, terlebih kritik-kritiknya meskipun kita itujukan pada masa beliau hidup, namun tetap terasa relevan hingga hari ini. Terlebih setelah membaca tafsiran Buya tentang kerusakan.
Sikap ihsan, sebagai antitesa dari sikap merusak, bagi Hamka, “Ihsan berarti selalu baik dan memperbaiki, selalu berbuat kebajikan, membuat yang lebih elok dan lebih baik, untuk diri dan untuk orang lain…cinta akan kebenaran, berjuang untuk keadilan, belas kasihan kepada yang lemah.” Wallahu A’lam Bishawab.
Editor : Akbar S