Rabu, Januari 20, 2021
Kalimahsawa.ID
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
Kalimahsawa.ID
No Result
View All Result

Pemuda dan Hilangnya Identitas Nasional

RedaksiKS by RedaksiKS
Januari 29, 2020
in Narasi
0
Pemuda dan Hilangnya Identitas Nasional
99
SHARES
580
VIEWS

Oleh: Mu’arif

Di era globalisasi sekarang ini, identitas kebangsaan dan eksistensi budayaIndonesia sedang menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Kebudayaan lokalsedang menghadapi tantangan berat berupa sistem kapitalisme dan ideologi hedonisme.

TulisanTerkait

Al-Juwaini, Imam Besar Makkah dan Madinah

Pernah Ditusuk hingga Positif Covid, Begini Fakta Tentang Syekh Ali Jaber sebelum Wafat

Melawan Vaksin: Politik Kekuasaan dan Uang

Sistem kapitalisme dan pola hidup hedonis merupakan produk sejarah bangsa Barat yang berhasil mendominasi dunia dengan memanfaatkan jaringan media, pasar bebas, dan kekuatan modal.

Dampak globalisasi sudah merambah ke semua lini kehidupan. Media massa menawarkan “budaya tanding”—meminjam istilah Emha Ainun Najib—yang kian menggerus budaya bangsa. Pola pikir dan gaya hidup hedonis terus dipupuk lewat tayangan iklan dan berbagai macam siaran di TV.

Gaya hidup hedonis dan individualisme terus menguat. Kebahagiaan manusia semakin semu. Barang-barang mewah yang sudah pasti mahal harganya menjadi pusat kepuasan batin. Tingkat kepedulian seseorang terhadap orang lain kian menurun.

Sistem pasar menghendaki persaingan individu secara ketat. Lewat peran media massa, segala sesuatunya mesti diseragamkan. Dari sinilah fenomena budaya pop kian massif. Tingkah laku orang jadi aneh-aneh karena meniru-niru budaya asing.

Dalam hal ini, globalisasi juga telah menciptakan individualisme semu karena antara ruang private dan public sudah bercampur-aduk. Seorang top figure seperti artis, model, atau tokoh tertentu, akan diungkap seluk-beluk kehidupannya, bahkan sampai pada hal-hal yang sesungguhnya termasuk dalam kategori privacy.

***

Dampak paling nyata dalam proses globalisasi ialah kehadiran “budaya tanding” yang terus mendesak identitas nasional dan budayaIndonesia sampai ke dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.

Budaya lokal kian tergusur sementara budaya tanding terus marak. Apakah globalisasi yang terus mengepung bakal melenyapkan identitas nasional dan budaya lokal yang sudah menjadi kekayaan bangsa kita?

Tantangan pemuda saat ini adalah menghadapi ideologi dan budaya asing yang secara tidak sadar terus mengepung masyarakat Indonesia. Akibatnya, wawasan kebangsaan semakin mengambang dan rasa nasionalisme kian luntur. Sumpah pemuda hanya sekedar menjadi peristiwa sejarah yang terus dibaca oleh kaum muda sebagai kewajiban.

Kaum muda saat ini tidak sedang menghadapi penjajahan secara fisik. Generasi penerus bangsa tidak sedang berjuang mewujudkan kemerdekaan. Anak-anak Indonesia tidak sedang bertempur di medan juang.

Mereka hanya menikmati buah kemerdekaan dan pembangunan. Sambil duduk-duduk santai tanpa harus bekerja keras, mereka menikmati tayangan televisi yang menawarkan berbagai macam produk impor mewah.

Sambil duduk malas mereka tinggal memainkan remote control mencari program-program baru di televisi. Secara tidak sadar, pola pikir dan gaya hidup hedonis telah membentuk karakter kaum muda.

Atas dasar inilah, wawasan kebangsaan dan konsepsi nasionalisme harus terus direvitalisasi seiring perubahan zaman. Kehidupan suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh vitalitasnya. Seberapa tangguh identitas nasional bisa bertahan tergantung pada stamina kebudayaan—meminjam istilah WS. Rendra (2001)—yang kita miliki.

Hilangnya Identitas Nasional

Gejala-gejala yang termasuk dalam kategori penurunan stamina kebudayaan yang berarti hilangnya identitas nasional meliputi: pertama, disharmoni peran dan posisi manusia dengan alam. Manusia cenderung menempatkan diri di alam ini sebagai entitas tersendiri. Ia memposisikan diri sebagai subyek sementara alam semesta sebagai obyek.

Akibatnya, manusia yang menempatkan diri sebagai subyek cenderung mengeksploitasi obyek (alam) secara serakah. Kita bisa menyaksikan bagaimana kasus eksploitasi kekayaan alam di Indonesia yang telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan.

Kedua, hilangnya kesadaran untuk menghayati dan mencerna pengalaman hidup. Ini berarti bahwa manusia-manusia di zaman modern enggan belajar dari pengalaman. Ketika bangsa Indonesia berkali-kali mendapat musibah bencana alam setiap tahunnya, tetapi mengapa tidak mampu belajar dari pengalaman? Inilah tanda-tanda stamina kebudayaan sedang menurun atau identitas nasional tengah kabur.

Ketiga, individualisme dan absolutisme. Stamina kebudayaan kian menurun manakala kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dalam sebuah masyarakat sudah menjelma menjadi individualisme dan absolutisme. Manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri, tidak butuh orang lain.

Kehendaknya seakan-akan harus diwujudkan, tanpa peduli orang lain. Secara otomatis, individualisme dan absolutisme bertentangan dengan kehidupan demokratis. Stamina kebudayaan kian menurun manakala sebuah masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai demokratis.

Keempat, gagap realitas. Manusia hidup di alam semesta menghadapi realitas yang terus berubah. Kehidupannya dinamis. Begitu juga dengan realitas kebudayaan yang terus berkembang. Tetapi, di zaman sekarang ini, bangsa Indonesia dibuat bingung, tak punya sikap tegas, pilihan mengambang dan idealisme terombang-ambing, oleh “budaya tanding” yang datang dari luar.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi (TI), menawarkan budaya baru yang secara prinsipil bertentangan dengan daya hidup. Kemampuan mengcounter budaya tanding yang tidak sejalan dengan budaya bangsa kian lemah. Ini merupakan gejala gagap realitas yang sama artinya stamina kebudayaan sedang menurun.

***

Kelima, pemikiran dan sikap semakin statis. Akar kebudayaan manusia berawal dari ide. Proses dialog interaktif manusia menghadapi realitas kehidupannya secara dinamis melahirkan ide-ide. Dari ide-ide melahirkan norma-norma, tradisi-tradisi, atau bentuk-bentuk budaya yang beragam.

Sedangkan realitas kebudayaan tidak menempati ruang steril, melainkan berada dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, kebudayaan harus dinamis. Indikasi bahwa stamina kebudayaan kian menurun manakala daya mobilitas, tumbuh, dan berkembang, menjelma menjadi statis.

Dalam konteks ini, spirit perjuangan kaum muda sudah hilang dan sumpah pemuda tinggal menjadi peristiwa sejarah yang secara perlahan-lahan akan dilupakan.

Keenam, terputusnya generasi. Kebudayaan lahir lewat proses historis yang panjang lewat proses regenerasi. Jika tidak, maka kebudayaan bakal sirna dan dilupakan oleh sejarah. Generasi muda merupakan pewaris utama kebudayaan para pendahulu.

Jika tidak terdapat proses regenerasi lewat institusi pembelajaran (pendidikan) yang dinamis, maka suatu kebudayaan bakal tenggelam atau dilupakan dalam sejarah.

Sebagai aktor-aktor dalam panggung sejarah, bangsa Indonesia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensi masing-masing. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, manusia-manusia Indonesia juga dibekali akal untuk menopang daya hidup. Daya hidup dan anugrah akal harus harmonis agar peran sebagai aktor dalam panggung sejarah dapat terus berjalan secara dinamis.

Tags: KemajuanNasionalismePemuda
Previous Post

Pengalaman Mondok di Pesantren Muhammadiyah

Next Post

Guru Artifisial: Cukupkah Memenuhi Peran Guru?

RedaksiKS

RedaksiKS

Kalimahsawa.id hadir atas kesadaran bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan bahwa keragaman tak harus menjadi keseragaman. Dalam konteks keindonesiaan, Negara Pancasila merupakan titik temu pemikiran antara keislaman, kemoderenan dan keindonesiaan secara harmonis.

Next Post
Guru Artifisial: Cukupkah Memenuhi Peran Guru?

Guru Artifisial: Cukupkah Memenuhi Peran Guru?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Islam adalah agama yang universal. Artinya segala sesuatu yang diatur dalam syariat Islam itu bukan hanya di tujukan untuk orang-orang muslim

    Tanya Jawab Agama: Islam Rahmatan lil ‘Alamin

    651 shares
    Share 260 Tweet 163
  • Gerakan Pembaruan Sultan Mahmud II

    306 shares
    Share 122 Tweet 77
  • Kerumitan Dunia

    255 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Piagam Madinah (صحيفة المدينة)

    188 shares
    Share 75 Tweet 47
  • Adab Salam Terhadap Pemeluk Agama Lain

    147 shares
    Share 59 Tweet 37
Filsafat Al juwaini

Al-Juwaini, Imam Besar Makkah dan Madinah

Januari 19, 2021
Filsafat adalah barang yang ditakuti. Ini yang masih terus menggejala di kalangan kaum Muslim hingga dewasa ini. filsafat adalah awal kebangkitan peradaban

Muhammad Iqbal: Filsafat dan Agama itu Selaras!

Januari 17, 2021
toleransi aswaja

Paham Aswaja: Mengakhiri Intoleran hingga ke Akarnya

Januari 16, 2021
  • Tentang Kalimahsawa.id
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist