“Kalau saya sedang membuat makalah, atau paper, saya akan bekerja semaksimal mungkin dan terbaik. Dimanapun forum itu, serta siapapun pesertanya. Karena di dalam forum itulah, marwah akademik diperhitungkan dan dipertaruhkan, lebih-lebih membuat buku. Ini menjadi sangat berbeda dengan karya sastra.” (MT.Arifin)
Belum usai bangsa indonesia dan Muhammadiyah berduka dengan wafatnya Pak Malik Fajar, kini kita kehilangan peneliti Keris dan Nyi Roro Kidul, Pak MT Arifin. Ia lebih dikenal sebagai pengamat politik dan militer. Usianya memang sudah senja. Namun wajahnya seperti tak pernah tua. Ia telah sakit dan mengalami cuci darah hampir lima tahun menurut pengakuan keluarganya. Namun saat berjumpa dengan mahasiswa di aneka forum diskusi dan seminar, ia lebih tampak bergairah dan bersemangat dan tidak nampak seperti orang sakit. Pak MT bukanlah orang yang susah untuk diundang di aneka pelatihan yang dibuat mahasiswa atau siapaun. Meski begitu, ia tidak meremehkan mahasiswa. Justru saat bertemu mahasiswa itulah, ia sering membuat makalah serius. Ia mengakui menulis makalah sering semalam suntuk.
Namanya memang tidak setenar Amin Rais, meski sering terlibat dalam satu forum dan satu organisasi. Pak MT bertemu dengan Amin Rais di Muhammadiyah dan juga organisasi mahasiswa muhammadiyah IMM. Dari organisasi inilah, saya mengenali Pak MT Arifin. Semenjak itulah saya beserta para aktifis lintas organisasi sering berguru kepada beliau ke rumahnya. Di rumah inilah, lahir Kelompok Studi Mangkubumen yang tidak pernah sepi setiap hari.
Banyak orang mencatat dan menjuluki Pak MT sebagai budayawan dan pengamat keris. Namun bagi saya pribadi sebagai muridnya, Pak MT adalah seorang ilmuwan. Pak MT dikenal suka mengoleksi keris dan juga buku. Kerja mengoleksi keris ini ia dapatkan dari membeli keris sampai dengan ia dapatkan lewat bantuan dari alam gaib. Sehingga pernah saat saya berkunjung ke rumahnya, saya ditunjukkan keris Sultan Agung. Ia menunjukkan bahwa keris yang amat sangat ringan itu, dibuat dengan kualitas bahan terbaik, serta berbeda dengan yang disangka orang klenik.
Pak MT Arifin pernah menulisnya dalam makalahnya, bahwa keris dibuat dari batu meteor yang jatuh ke bumi. Dari situlah, maka batu langit itu, mengandung meteorit yang dalam tata pembuatan keris merupakan batu dari alam malaikat. Ini tidak hanya dilakukan dari kajian buku-buku dan penelitian, namun Pak MT terlibat dan intens dalam meneliti dunia perkerisan.
Bukunya Keris Jawa (2006) menjadi rujukan penting ensiklopedis perkerisan. Berkat penelitiannya itulah, ia juga kerap diundang dalam forum budayawan se-asia tenggara terutama saat membincangkan masalah perkerisan. Ia juga menelitia tentang Ratu Kidul atau yang dikenal sebagai Nyi Roro Kidul oleh orang Jawa.
Pak MT ingin agar orang meneliti, menyelidiki, serta tidak asal menuduh klenik maupun bid’ah. Pak MT tekun membuat catatan penelitiannya di setiap harinya saat mengkaji dan meneliti Ratu Kidul. Apa yang dilakukan oleh Pak MT ini mengingatkan saya akan kerja keilmuan orang-orang Eropa di masa itu. Catatan harian dan catatan penelitian yang rapi akan memudahkan seseorang dalam kerja penelitiannya.
Pemikir dan Intelektual Muhammadiyah
Pak MT Arifin mengakui, ia berguru kepada buya dalam kerja penelitian dan studi akademiknya. Di IKIP Yogyakarta (UNY saat ini), ia mengangkat penelitian yang kelak akan menjadi kajian penting tentang pendidikan di Muhammadiyah. Ia menulis buku Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah (1987). Buku ini menyoroti lebih jauh tentang bagaimana pendidikan di lingkungan Muhammadiyah serta konsep pembaruan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan.
Ketimbang aktivis seperti Amin Rais, Pak MT Arifin lebih nampak sebagai peneliti dan intelektual di Muhammadiyah kala itu. Ia tekun menekuri buku-buku asli baik dari pemikir barat, sampai dengan pemikir dari Jawa. Salah satu buku yang ditunjukkan kepada saya adalah buku tiga bahasa ;Bahasa belanda, bahasa indonesia dan bahasa jawa kuno. Buku Sunan Bondan.
Pak MT Arifin berusaha mengkaji pokok apa yang dia teliti sampai tingkat A-1. Keakuratan dan tanggungjawab keilmuannya bisa dibuktikan. Sebagai seorang intelektual, guru tidak pernah menolak karena urusan uang atau honor. Guru selalu menyempatkan untuk menghadiri undangan siapapun yang mengundang. Ia teramat dekat dengan mahasiswa dan siapapun yang datang ke rumah beliau.
Keseriusannya dalam berbagai forum ilmiah, membuat publik terkesima serta puas mengundangnya. Karena benar-benar ia membuat gagasan yang serius untuk disampaikan ke publik sebagai tanggungjawabnya sebagai ilmuwan ia tunaikan. Makalahnya tak hanya ketat, tapi juga padat dan penuh gagasan baru.
Sering ia menasehati kami muridnya. “Kerja akademik memang melelahkan. Karena kerja keilmuan dijalani dengan laku, namun kerja ini suatu waktu akan ada yang menuntunnya. Yaitu Yang Maha Kuasa.”
Ia sering mengkritik anak muda yang terlalu memuja barat. Orang Indonesia, intelelektual indonesia, bila serius dengan bidang kajian yang ia geluti, tentu tak akan kalah dengan para indonesianis dari luar. Hal itu ia buktikan sendiri saat ia mengkaji dan meneliti Muhammadiyah. Ia pun tidak merasa minder atau rendah diri saat dipanelkan dengan Mitsuo Nakamura yang meneliti Muhammadiyah dari Jepang.
Saat bertandang ke rumah dukanya, saya cuma membayangkan buku-buku yang banyak itu, pastilah sudah diupayakan untuk menerbitkan buku karya beliau lagi. Dulu waktu pertemuan dengan editor penerbit Kompas, Pak MT pernah membawakan lima sampai sepuluh draft naskah yang cukup tebal. Setelah menyerahkan naskah itu, Pak MT pun bilang kepada saya; “Sekarang, buku-buku kerja serius jarang diterbitkan, maklum, orang semua sekarang menyukai yang populer, yang permukaan, yang instan.” Saya pun menyepakati apa yang dirasakan oleh Pak MT Arifin.
Dunia keilmuan kerja intelektual memang tidak mudah. Namun kerja itu telah dilakukan oleh MT Arifin. Ia meninggal dengan beragam julukan yang secara tidak langsung beroleh dari kiprahnya menekuni dan menggeluti buku dan ilmu. Saya jadi ingat kata-katanya : “Kita itu bisa menjadi apa-apa, namun ingatlah juga bahwa kita sejatinya bukan siapa-siapa.”
Selamat jalan guru, karyamu abadi
*)tulisan ini pernah dimuat di koran Solopos pada 15 September 2020