Sejak tahun 2018, TikTok menjadi platform yang booming bagi seluruh komponen masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Dikutip dari Databoks, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna platform TikTok terbesar kedua di dunia hingga bulan januari 2023, dengan 109,90 juta pengguna.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan, menjadi alasan utama boomingnya platform TikTok. Bayangkan saja, pengguna tidak perlu memiliki akun jika hanya ingin melihat konten di TikTok. Bahkan, content creator dapat membuat, mengedit, dan mengupload konten hanya dengan platform tersebut tanpa menggunakan perangkat maupun platform lain. TikTok juga menyediakan berbagai filter dan background musik yang menarik bagi content creator.
Tak heran jika membuat konten TikTok saat ini menjadi habit bagi sebagian orang. Dengan kemudahannya, medsos ini dianggap mampu menyuarakan kreativitas masyarakat digital yang didominasi Generation Z, dimana usia tersebut adalah usia puncak kreativitas. Ditambah dengan gejolak pandemi Covid-19, membuat masyarakat bingung dengan aktivitasnya.
Mengutip dari Kompas.com, Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan, sebanyak 25,6 Juta orang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Selain itu, sistem pembelajaran sekolahpun di ubah menjadi sistem pembelajaran daring. Hal ini tentu saja membuat masyarakat stress, apalagi kegiatan di luar rumah sangat dibatasi. Masyarakat membutuhkan sesuatu untuk mengatasi stresnya.
Banyak dari mereka yang men-download dan menggunakan TikTok untuk menghilangkan stresnya saat pandemi Covid-19. Data yang di hasilkan Survey KIC-Kominfo mengatakan, pada tahun 2020 yang merupakan tahun awal pandemi, presentase pengguna TikTok hanya 17%. Sedangkan di tahun 2022, presentase tersebut meningkat menjadi 40%.
Perbedaan pola pikir membuat jenis konten di TikTok menjadi beragam. Di jari agamawan milenial, TikTok akan menjadi media dakwah keagamaan. Di jari pengusaha, Tiktok akan menjadi lahan bisnis yang menggiurkan, di tambah hadirnya fitur TikTok Shop yang merupakan e-commerce dari platform tersebut. Selain itu, masih banyak lagi jenis konten yang di hasilkan content creator.
Di balik megahnya platform TikTok dengan jumlah pengguna yang besar, tentu saja perjalannya akan di hantui berbagai kekhawatiran. Salah satunya yakni kekhawatiran tentang kerentanan penyebaran informasi hoaks. Ini tentu saja akan sangat merusak jika pengguna merupakan seseorang yang kurang cakap dalam memilah informasi.
Selain itu, ada juga kekhawatiran tentang pencampuran budaya western atau yang biasa di kenal dengan westernisasi yang cepat menyebar melalui TikTok. Hal ini di khawatirkan dapat melunturkan jiwa nasionalis dan masyarakat cenderung bergaya hidup kebarat-baratan. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga sangat enggan dengan masuknya liberalisme dan sekularisme barat.
Tahun 2021, muncul trend “Pargoy” di TikTok. Trend yang merupakan singkatan dari “Partai goyang” ini adalah sebuah kegiatan berjoget yang di iringi musik yang bernuansa Electronic Dance Music (EDM) sambil di rekam, kemudian di edit dan di unggah di platform TikTok. Kegiatan ini ramai di ikuti oleh Generation Z di Indonesia, sebab gerakan yang asik dan menyenangkan akan membuat stres mereka hilang untuk sementara waktu.
Namun, pada tanggal 19 November 2022 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember, Jawa Timur justru mengeluarkan fatwa tentang haramnya pargoy. Hal itu terlampir dalam surat dengan nomor 02/MUI-Jbr/XI/2022. Fatwa tersebut di sebabkan karena trend pargoy di anggap tidak mencerminkan budaya muslim, terlebih mayoritas content creator pargoy adalah seorang perempuan sehingga di khawatirkan akan mengundang syahwat lawan jenis.
Lebih jauh, trend ini juga di anggap merusak generasi muda karena di anggap tidak sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Indonesia. Kegiatan seperti ini adalah budaya masyarakat barat, sehingga jika di adopsi ke dalam budaya masyarakat Indonesia, akan bertolak belakang dengan nilai-nilai adat istiadat yang luhur.
Jika di lihat, trend ini hampir mirip dengan kegiatan clubbing atau yang biasa di kenal dengan “dugem”, yakni kegiatan mengunjungi dan berkumpul di diskotik. Kegiatan yang dilakukan saat dugem juga berjoget dengan diiringi musik EDM dan lampu kerap-kerlip. Di Indonesia, kegiatan inipun harus dilakukan secara tertutup dan terbatas. Hal ini tak lain lantaran di anggap tidak sesuai dengan adat istiadat masyarakat di Indonesia.
Selain itu, TikTok juga berdampak pada kondisi sosial. Hal ini di amini oleh penelitian yang di lakukan oleh Meilla Dwi Nurmala, Stevany Afrizal, dan Tubagus Umar Syarif Hadi Wibowo dalam artikelnya yang berjudul “Dampak Penggunaan Aplikasi TikTok Terhadap Perubahan Perilaku Sosial Mahasiswa”. Sekalipun objek penelitian tersebut adalah Mahasiswa, namun tidak menutup kemungkinan hal yang sama terjadi di masyarakat luas.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan beberapa dampak negatif akibat penggunaan TikTok yang kurang bijaksana, salah satunya adalah kurangnya bergaul. Hal ini di sebabkan karena munculnya sifat individual bagi pengguna karena TikTok telah menyediakan kebutuhannya. Pengguna dapat melakukan interaksi sosial secara tidak langsung melalui platform tersebut.
Selain itu, TikTok juga menyebabkan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakat cenderung berbelanja tanpa memperhatikan skala prioritas terkait kebutuhannya. Hal ini juga di dukung dengan tersedianya fitur TikTok Shop. Di kutip dari website STISPOL Wira Bhakti, budaya konsumtif merupakan budaya luar yang di adopsi di Indonesia.
Penulis : Fachrul Dedy Firmansyah (Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel)
Editor : Izzul Khaq