Dalam normatif Islam, berbicara harta benda hakikatnya merupakan hak milik Allah Swt. Sementara hak tersebut telah dilimpahkan kepada manusia, maka manusia memiliki wewenang dalam mengelola dan mengembangkannya. Pemilik harta bersangkutan hendaknya memanfaatkannya sesuai dengan hukum-hukum syara’. Menariknya, dalam normatif Islam kepemilikan harta tidaklah bersifat mutlak, melainkan terdapat hak milik umum di samping hak miliki individu.
Konsekuensi pemilik harta dengan demikian, sejatinya tidak boleh menindas hak orang lain melalui hak yang dimilikinya. Sebab pada harta yang dimiliki terdapat hak orang lain yang harus dipenuhi. Lebih jauh, jika merujuk kajian normatifnya, sebagaimana dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 19, “Pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.”
Sesungguhnya tanpa melihat ragam tafsir mengenai ayat tersebut, dapatlah dipahami bahwa melalui harta benda yang dimiliki terdapat hak bagi orang miskin. Ayat tersebut memerinci yang dimaksud hak bagi orang miskin terdapat dua kategori. Pertama, di mana orang miskin meminta haknya. Kedua, mereka yang tidak meminta haknya.
Hamka dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan perihal ayat tersebut. Bagi Hamka, orang yang berani meminta (as-sa’il) sebab ia memandang bahwa dia berhak menerima zakat tersebut. Sementara orang yang tidak berani meminta (al-mahrum) bagi Hamka lantaran menjaga harga dirinya, meskipun yang bersangkutan amat membutuhkannya. Maka bagi Hamka, kategori kedua inilah yang penting untuk diperhatikan orang yang telah wajib mengeluarkan zakat. Di samping karena sifat ‘iffah (menjaga harga diri) di mana kesanggupan mereka dalam menahan sengsara.
Istilah as-sa’il dan al-mahrum tidak saja dapat kita jumpai pada QS. Adz-Dzariyat ayat 19 saja, melainkan dapat juga di jumpai pada QS. Al-Ma’arij ayat 24-25, “yang di dalam hartanya ada bagian tertentu; untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta,”.
Dampak Pandemi Belum Kunjung Usai
Kenyataan tentang orang yang meminta (as-sa’il) sebagian harta terhadap empunya harta barangkali menjadi kenyataan lumrah. Namun, bagi kategori yang kedua, di mana mereka tidak meminta demi menjaga harga dirinya (al-mahrum) hal ini relatif luar biasa.
Sebab dewasa ini, tidak saja orang miskin yang meminta haknya, namun dengan berkembangnya teknologi, sebagian kalangan berkecukupan secara ekonomi pun ‘meminta’ yang jelas bukan haknya dengan menipu dan berkedok sebagai pengemis online di jagat media sosial memanfaatkan simpati khalayak. Menurut Qatadah dan Az-Zuhri dalam menafsirkan al-mahrum dengan orang susah yang menjaga diri dengan tidak meminta-minta sehingga orang tidak mengetahui keadaannya yang sulit.
Meskipun pembatasan mobilitas akibat adanya pandemi sudah berangsur tidak ketat, dampak pandemi masih terasa kuat memengaruhi berbagai sektor. Masyarakat harus terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Dampak pandemi amat terasa memengaruhi berbagai sektor kehidupan dari mulai sosial, pariwisata hingga ekonomi khususnya.
Tidak sedikit masyarakat yang hingga hari ini terdampak pemotongan gaji hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampak pandemi begitu terasa terhadap buruh, freelance, hingga pengusaha yang tak kuasa menahan pendapatan yang kian menurun pada jangka waktu yang tak tentu.
Pada saat yang sama, dampak pandemi ternyata meningkatkan kriminalitas di kota-kota besar lantaran untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Belum lagi mereka yang terdapak secara psikis hingga mengalami depresi hingga memutuskan untuk bunuh diri.
Pentingnya Mempererat Solidaritas Sosial
Menurut Moh Solehatul Mustofa, seorang sosiolog, bahwa di antara upaya untuk mengatasi dampak pandemi adalah perlunya solidaritas sosial untuk membantu masyarakat ekonomi lemah. Kemudian ia menjelaskan setidaknya terdapat empat lapisan bantuan dengan sistem solidaritas, yakni bantuan dari kerabat, tetangga, teman, dan dari organisasi massa.
Keempat lapisan tersebut jelas meniscayakan adanya kepedulian, cinta dan kasih antara sesama dengan saling memperhatikan satu sama lain. Hal tersebut sejatinya selaras dengan teks normatif dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 83, “…dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu, bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.”
Bagi Hamka mengenai ayat tersebut, dalam tafsir Al-Azhar di jelaskan bahwa dengan saling berbuat baik kepada sesama, perbuatan tersebut. Niscaya akan membersihkan hati sanubari dari penyakit bakhil, membersihkan jiwa dari di perbudak harta, dan membersihkan hubungan di antara yang kaya dan miskin, sehingga timbul kasih sayang yang mampu atas yang miskin dan timbul pula kasih sayang dan cinta dari yang miskin kepada yang mampu.
Sikap peduli dan cinta kasih tersebut juga akan menghapus rasa benci dari si kaya dan hilang rasa dendam dari si miskin. Solidaritas sosial sendiri merupakan wujud kepedulian sesama kelompok atau individu yang menunjukkan pada suatu hubungan antara individu dan kelompok berdasarkan kesamaan moral, kolektif, kepercayaan yang di anut dan di perkuat pengalaman emosional.
Sikap ini menjadi penting dalam rangka mengatasi dampak pandemi yang belum berakhir, juga menegaskan bahwa harta benda yang di miliki bukanlah kepemilikan mutlak. Melainkan memiliki muatan sosial kepada mereka yang membutuhkan. Terutama pentingnya sikap peduli dan saling memperhatikan kepada mereka yang termasuk kategori al-mahrum yang menjaga iffah-nya. Wallahu A’lam Bishawab.
Editor : Izzul Khaq