Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) adalah bentuk idealisasi dan institusionalisasi dari spirit bela negara dan bela persyarikatan. KOKAM sebagai bentuk paramiliter yang secara integral menjadi bagian Muhammadiyah, kelahirannya bertepatan dengan 1 oktober yang juga setiap tahun diperingati sebagai hari kesaktian pancasila.
Berangkat dari perjalanan sejarah KOKAM, cikal bakal, spirit dan hari kelahirannya baik secara implisit maupun eksplisit hadir untuk mempertahankan dan membela pancasila. Pancasila salah satu dari empat pilar kebangsaan. Pilar lainnya yaitu: UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tuggal Ika. Pancasila sebagai pilar sekaligus sebagai ideologi dan dasar negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada pilar lainnya.
Dalam pandangan KH. Ahmad Badawi, tugas KOKAM sebagai “Jihad fi Sabilillah”. Sebagaimana dalam buku Peraturan dan Pedoman KOKAM hasil revisi dan terbitan terbaru. Salah satu tugas pokok KOKAM adalah “Membina dan mengembangkan segenap potensi kadernya yang memiliki minat, bakat dan kemampuan dalam bidang belanegara”. (Halaman 55).
Trilogi Pelayanan KOKAM
Di antara tugas pokok KOKAM dan terkait tulisan ini, saya fokuskan dalam bidang belanegara. Dalam bidang belanegara, tentunya KOKAM bukan hanya memassifkan gerakan trilogi pelayanan KOKAM yang meliputi: urusan kemanusiaan, kebencanaan dan ekologi.
Meskipun trilogi pelayanan secara implisit menjadi bagian daripada belanegara itu sendiri. Namun ada hal yang sangat krusial dan urgensinya sangat tinggi untuk menjadi formulasi sikap, pemikiran dan sangat diharapkan menjadi bagian daripada paradigm baru KOKAM.
Baca Juga: Imam Al-Ghazali: Dari Intelektualisme Hingga Spiritualisme
Atmosfer Indonesia hari ini sedang mendung, anak bangsa sedang tidak bisa menatap langit cerah yang akan menjadi pemantik spirit melangkah menuju masa depan. Kapal kebangsaan telah hilang kendali. Bintang sebagai salah satu petunjuk alam tertutup awan mendung dalam mengarungi samudra kehidupan. Badaipun ikut mengiringi perjalanan. Untuk sampai pada pantai harapan membangun trilogi cita-cita dan tujuan nasional, nampaknya penuh pesimisme.
Empat Pilar Bangsa Retak
Empat pilar bangsa sebagai pondasi untuk mengokohkan bangunan kebangsaan, sedang retak. Pancasila kembali dibenturkan dengan agama. Amanat UUD 1945 masih ada oknum elit bangsa yang mengingkari dan mengkhianatinya. NKRI masih dinodai dengan spirit separatisme. Kebhinekaan diwarnai dengan sikap intoleransi, sikap takfiri dan truth claim.
Bahkan Haedar Nashir –– sebagaimana dalam naskah orasi ilmiah pengukuhan guru besarnya –– mengatakan bahwa “Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat “radikal” dan “radikalisme”. “Isu tentang masjid, kampus, BUMN, Majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional”.
Minimal dari percikan narasi dan sekaligus deskripsi atmosfer kebangsaan Indonesia tersebut di atas, menyentak kesadaran KOKAM untuk memformulasikan tambahan paradigma barunya selain trilogi pelayanan. Dengan harapan KOKAM menjadi garda terdepan, candradimuka untuk mengokohkan nalar kebangsaan agar anak bangsa sampai di pantai harapan.
Anak Bangsa mampu membangun dan sekaligus merasakan konstruksi pencapaian trilogi cita – cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Butuh Nalar Kebangsaan
Berdasarkan KKBI, salah satu defenisi nalar adalah pertimbangan baik buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir dan kekuatan pikir. Dalam pandangan saya, nalar kebangsaan adalah sebagai modal mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nalar kebangsaan adalah sebagai salah bentuk pembacaaan peta sosiologis Indonesia dan di dalamnya teraktualisasi sikap, perilaku dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai dari pilar bangsa serta nilai-nilai luhur lainnya. Untuk menemukan konteks yang tepat dan relevan dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan.
Nalar kebangsaan mengelobari, menginterasi, menginterkoneksikan antara pilar-pilar bangsa dengan nilai-nilai luhur. Dan etos peradaban yang hidup dalam spektrum kehidupan yang sama khususnya di Indonesia. Contoh nyatanya adalah apa yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah yang telah membangun relasi, elaborasi, integratif-interkonektif antara pancasila, negara, etos Islam berkemajuan maka lahirlah Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.
Dan ini bukan hanya menjadi narasi-teoritis semata atau diskursus yang hanya indah di dunia wacana. Tetapi ini menjadi paradigma sebagai mercusuar mengarungi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Pelatihan dan Pembinaan
KOKAM yang dalam setiap pelaksanaan pelatihan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia personil, selain materi ke-Muhammadiyah-an senantiasa diberikan materi umum penting lainnya yaitu : Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Gagasan lengkap dan resmi terkait ini bisa ditemukan dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke – 47 di Makassar (Halaman 58-73).
Baca Juga: “Romantisme Sejarah” di Tengah Isu Wabah Corona
Dalam pandangan saya, nalar kebangsaan ini harus dipahami secara ideologis apalagi pancasila itu sendiri sebagai ideologi dan dasar negara. Endorsement Yudi Latif –– penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila –– dalam buku Nun Tafsir Gerakan Al-Qalam (Azaki Khoirudin, 2014) menjelaskan bahwa setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur, keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan, berisi tuntunan –tuntunan normatif-perspektif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, mengandung semacam paradigm pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga,ideologi mengandung dimensi tindakan yang mengandung level operasional dari keyakinan dan pengetahuan dalam realitas konkret.
Konsep Bela Negara Ala KOKAM
KOKAM yang sejak awal berdirinya memiliki spirit belanegara dan bela persyarikatan dengan memperhatikan konteks Indonesia hari ini, maka penting untuk mengedepankan Nalar kebangsaan dengan pembacaan secara ideologis sebagaimana diuraikan oleh Yudi Latif. Pancasila –yang dalam perspektif saya– sebagai bagian dari nalar kebangsaaan selain dipahami sebagai ideologi bangsa maka penting anak bangsa harus mampu memahaminya secara ideologis.
Sejatinya pancasila, dan yang lainnya –dalam nalar kebangsaan itu– harus mampu menjadi seperangkat keyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diyakini dan menjadi tuntunan hidup. Dalam sejarah perumusan pancasila, sila ketuhanan awalnya berada pada posisi penutup namun akhirnya diposisikan pada posisi pembuka.
Hal ini menegaskan bahwa moralitas adalah menjadi fundamen dari yang lainnya. Jika moralitas senantiasa menjadi tuntunan dan pedoman hidup, maka yakin saja korupsi dan berbagai faktor yang menyebabkan langit Indonesia tidak “cerah” tidak akan pernah terjadi.
Pancasila dan Nalar Kebangsaan
Pancasila dan nalar kebangsaan lainnya harus mampu menjadi paradigma pengetahuan yang berfungsi sebagai kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ini tidak kalah pentingnya apalagi di tengah kehidupan yang jika meminjam perspektif Yasraf Amir Piliang, kita sulit lagi membedakan yang mana benar-salah, jujur-bohong, realitas-pencitraan, ikhlas-riya, negarawan-pecundang. Atau kita hanya merasakan kesadaran semu.
Pancasila dan pilar lainnya harus mengandung level operasional mampu mewujudkan keadilan sosial. Seorang KOKAM bukan hanya menjadikan pancasila sebagai rukun wajib pada saat upacara bendera atau wajib dibaca pada saat apel akbar KOKAM. Tetapi pancasila dan nalar kebangsaan lainnya mampu menjadi paradigma dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan.
Baca Juga: Pancasila, Hadiah dari Muhammadiyah untuk Umat dan Bangsa
KOKAM menjadi suri teladan dalam memamahai dan mengimplementasikan, pancasila nalar kebangsaan. Dan menjadikan KOKAM sebagai candradimuka pancasila adalah Jihad fi Sabilillah.
Penulis Pernah Menjabat Sebagai Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Bantaeng.