Tulisan ini mencoba menelaah dampak ketika suatu ideologi dipersonifikasi oleh negara melalui alat kekuasaannya. Padahal sejatinya ideologi suatu negara telah final. Namun ketika ia di otak-atik sesuai selera kekuasaan, maka boleh jadi saat itulah ideologi telah manjadi alat politik untuk melanggengkan tindakan-tindakan kekuasaan.
Bagaimana dengan Ideologi Pancasila? Pancasila sejak awal ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila kemudian berlanjut dengan dibentuknya badan pembinaan ideologi Pancasila BPIP pada tahun 2018 hingga munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila. Apakah ini menunjukkan ada semacam satu tahapan atau rangkaian paradigma baru yang hendak diciptakan untuk menjadikan Pancasila sebagai personifikasi negara?
Pertanyaan Kritis Terhadap Pemerintah
Rangkaian ini seolah memberi kesan yang mendalam dan melahirkan pertanyaan kritis. Apa sebetulnya yang hendak ingin dicapai dan dilakukan di era pemerintahan hari ini? Mengapa dalam RUU HIP ada klausul pasal yang pada pokoknya Presiden diberi kekuasaan baru sebagai pembina haluan Ideologi Pancasila? Dan sejak kapan suatu Ideologi Negara diserahkan langsung kekuasaanya pada institusi negara yang dalam hal ini adalah presiden? Dan mengapa pula hari lahir ideologi negara ditentukan oleh Presiden? Apakah ini menunjukkan bahwa ideologi Pancasila kembali digiring menjadi alat politik kekuasaan rezim?
Beberapa fakta hukum jika ditelaah lebih dalam menunjukkan adanya fenomena ideologi Pancasila telah dilegitimasi ulang oleh rezim kekuasaan. Bahwa penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila telah disahkan melalui Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Demikian pula pembentukan BPIP juga dibentuk melalui Perpres No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP.
Munculnya RUU HIP yang juga telah mendapat persetujuan bersama DPR dan Pemerintah untuk masuk dalam prolegnas dan dibahas kilat dimasa pandemi. Di tambah lagi dimunculkannya klausul Haluan Ideologi Pancasila dalam Pasal 5 UU, No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mengharuskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila juga lahir di masa pemerintahan saat ini.
****
Pada saat yang sama ruang-ruang pengambilan kebijakan diperhadapkan pada konfigurasi politik yang homogen. Dimana satu partai memungkinkan menduduki jabatan strategis pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif. Namun yang menjadi persolan adalah apakah pada posisi partai yang sama demikian itu bisa terbebas dari conflict of interest dalam pengambilan kebijakan negara.
Jangan sampai mempengaruhi netralitas kebijakan jika pemegang kekuasaan yang dikendalikan single party bisa saja dikhawatirkan kebijakan negara akan otoriter, dan berpotensi Pancasila sebagai milik falsafah hidup seluruh rakyat Indonesia akan dikarangkeng menjadi ideologi politik tertentu sesuai dengan kehendak yang berkuasa.
Belajar dari NAZI & China
Karena ia bisa direduksi, disusupi pemikiran subjektif dari partai yang berkuasa dan saat itulah ideologi negara akan berada dalam genggaman kekuasaan absolut rezim berkuasa. Ia akan dijadikan alat politik ideologis kekuasaan. Perjalanan dinamika ketatanegaraan seperti ini akan menimbulkan otoritas kebenaran yang bersifat tunggal yang minus dialektika kebangsaan.
Lintasan sejarah dunia membuktikan hanya rezim yang otoriterlah yang mejadikan ideologi sebagai alat kekuasaan dari kepemimpinanan negara yang monopolistik satu partai berkuasa. Sebut saja misalnya otoriterianisme rezim Nazi di Jerman yang merujuk pada sebuah ideologi totalitarian Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman).
Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei atau NSDAP dibawah kepemimpinan Adolt Hitler (1934-1945) menyebabkan jutaan warga Uni Soviet terbunuh. Tidak kurang 25 juta orang termasuk di antaranya 1,1 juta kaum Yahudi. Ada Mao Zedong atau Mao Tse-Tung (1893-1976) dikenal sebagai Ketua Mao. Seorang komunis revolusioner China dan Pendiri Republik Rakyat China yang berkuasa 70 Tahun, hingga saat ini 1 Oktober 2019. Dibawah rezim inilah muslim Uighur sebagai salah satu suku utama pemeluk Islam tersiksa karena mengalami berbagai kekejaman rezim.
****
Jika jabatan seperti Presiden, ketua DPR, ketua Panja RUU, Menteri Hukum dan HAM yang semuanya diisi oleh 1 partai dalam empat rangkai jabatan, maka mereka akan sangat menentukan pembentukan UU. Apalagi Kementerian Hukum dan HAM yang bisa dikatakan dapurnya kebijakan hukum pemerintah, disinilah digodok setiap rancangan peraturan yang akan dikeluarkan pemerintah baik perpres hingga peraturan pemerintah. Bahkan kementerian ini pulalah yang menentukan nasib hidup matinya organisasi masyarakat.
Kita bisa berkaca pada kasus HTI dan izin perpanjangan yakni Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Ormas Front Pembela Islam yang hingga kini belum diperpanjang, dan telah berakhir tanggal 20 Juni 2019. Ketika Thahjo Kumolo sebagai kader penguasa menjabat menjadi Menteri Dalam Negeri ia mengingatkan agar setiap ormas harus berkomitmen terhadap nilai Pancasila (detiknews, 16 Juli 2019). Bisa dibanyangkan jika nilai-nilai pancasila langsung ditafsirkan oleh jabatan Menteri dan menyebakan hak berserikat dan berdemokrasi tersandra oleh pemahaman pancasilais pejabat.
Belajar dari Masyumi
Demikian pula pada masa pemerintahan Soekarno, Partai Masyumi menjadi korban tafsiran sepihak rezim pemerintahan sehingga harus bubar pada awal tahun 1960. Keputusan Presiden No.200/1960 memutuskan bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, Pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar.
Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden. Kalau tidak partai Masyumi akan diumumkan sebagai “partai terlarang”. Bahkan, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 128 tahun 1960 yang menyatakan bahwa partai yang diakui pemerintah hanya PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, PSII, Parkindo, IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.
Pada saat itu Masyumi sangat kritis kepada rezim Sukarno mereka mempersoalkan pembentukan APBN, pembubaran konstituante. Pembubaran parlemen hasil pemilu 1955 dan mengangkat sendiri anggota parlemen penggantinya dengan memberikan nama DPR Gotong Royong (republika, 21 Juli 2017). Betapa gambaran ini menunjukkan suatu rezim kekuasaan bisa otoriter, melanggar prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum tanpa melalui putusan institusi peradilan.
Pancasila dari Perspektif Hukum
Jika kita menelaah fenomena ini dari optik hukum maka ada beberapa pertanyaan hukum yang bisa muncul, sebagai isu hukum yang menarik untuk didalami lebih lanjut. Pertama, apakah tepat tafsiran nilai-nilai pancasila itu menjadi kewenangan mutlak pemerintah yang berkuasa?
Boleh jadi isu seperti ini akan menjadi akar masalah akan terus menjadi beban sejarah, pancasila seola-olah dibajak pemaknaannya dan digunakan sebagai instrumen kehendak suatu rezim kekuasaan. Pada saat yang sama menjadi anomali dan paradoksial. Orang yang menyebut dirinya Pancasila dan NKRI justru bebas menyudutkan ajaran agama tertentu. Termasuk kesan pembiaran penggunaan simbol palu arit yang banyak bersebaran di media sosial justru tidak tersentu hukum.
Jika situasi paradoks seperti ini tidak dituntaskan maka bisa saja menimbulkan keresahan. Dan ketimpangan berbangsa dan memicu gerakan-gerakan radikalisme baru. Apalagi ditengah pertikaian dikalangan anak bangsa. Lebih-lebih saat ini tengah ramai berbagai problem sosial, ekonomi, politik, dan agama seperti penolakan TKI asal cina, paham komunisme, dan RUU HIP.
****
Dari sudut ketatanegaraan, ketika suatu ideologi atau dasar negara yang sudah menjadi landasan falsafah bangsa atau filosofi of grouslag. Justru bisa diotak-atik kembali oleh suatu rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Tentu akan membuka ruang subjektifitas dan potensi masuknya kepentingan politik ideologi. Hal ini dapat digunakan untuk memonopoli tafsiran untuk memanipulasi suatu ideologi. Padahal sejatinya Pancasila adalah living law atau hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dan ia telah menjadi sebagai tuntunan dan jiwa bangsa (volkgesit) secara keseluruhan telah menyatukan semua komponen bangsa di Indonesia.
Menyematkan pembinaan ideologi pancasila pada rezim kekuasaan eksekutif pemerintahan tentu akan berpotensi mempersempit Pancasila sebagai nilai-nilai yang tidak lagi universal. Apalagi sejak perumusan pancasila dan UUD 1945. Bahwa dalam lintasan sejarah hingga pasca reformasi tidak pernah terbesit dalam pikiran para pendiri bangsa untuk merekomendasikan perlunya suatu badan untuk membina pancasila. Termasuk membentuk RUU HIP.
Ideologi Pancasila sebagai Filosofi Bangsa
Karena sejak awal hal tersebut tidak diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR saat ini. Pada akhirnya negara bisa menjelma menjadi personifikasi dari resim politik yang berkuasa. Maka dalam kondisi seperti ini keselamatan ideologi pancasila bisa menjadi ancaman.
baca juga: Pancasila, Saatnya Membahas Masalah yang Lebih Substantif
Maka yang terpenting saat ini bagaimana tetap menjadikan pancasila sebagai norma filosofi bangsa yang autentik. Tidak perlu diderivasi sebagai haluan ideologi dalam suatu undang-undang. Akan tetapi nilai-nilai pancasila yang bersifat abstrak tersebut bisa dikembangkan dan terus didiskusikan sebagai khazanah kebangsaan untuk menjawab tantangan bangsa. Nilai-nilai universalnya telah banyak dijabarkan menjadi prinsip-prinsip hukum dasar negara dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945.
Seperti sila pertama dijabarkan dalam pasal 29 dalam menjamin kemerdekaan beragama dan beribadah. Demikian pula dijabarkan dalam pasal 31 ayat 3 tentang penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dan akhlak mulia. Sebagai visi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
****
Penjabaran sila ke lima dalam dalam pasal 33 dan 34 tetang prinsip penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Ini merupakan pengaktualisasian sila ke 5 Pancasila.
Sehingga yang diperlukan saat ini adalah konsistensi menjabarkan prinsip-prinsip dalam hukum dasar yang sudah diatur dalam konstitusi tersebut. Kemudian dikembangkan ke dalam peraturan perundang-undangan di berbagai bidang. Agar nilai-nilai pancasila menjadi satu tarikan napas UUD NRI Tahun 1945 dengan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila. Wallahuallam bissawab.
Editor: Yusuf R Y