Realitas umat islam di Indonesia dalam kacamata para cendikiawan muslim begitu beragam interpretasinya. Tak ayal, Gus Ulil mencurahkan kembali keluh kesahnya di twitter kemarin berkenaan soal islamofobia. Rasa-rasanya tidak masuk dalam alur logika manapun, jika ajaran-ajaran yang sarat penuh kasih sayang, penuh perdamaian itu dianggap dan dijangkiti sesuatu yang penuh kekerasan, teror, bahkan pembunuhan massal.
Kesalahpahaman Kita Atas Islamofobia
Tokoh liberal yang sekarang tradisional itu mengawali ajakan mengamati beberapa waktu terakhir ini, bahwa istilah Islamofobia (ketakutan pada Islam) dimaknai secara kurang tepat oleh sebagian kalangan. Tentu saja “tidak tepat” di sini menurut pendapatnya, jika teman-teman tidak setuju, dipersilahkan.
Tampaknya, ada gejala “Islamofobia” dimaknai sebagai segala pendapat atau posisi pemikiran yang berseberangan dalam isu-isu keagamaan (baca: Islam). Ini gejala pertama. Gejala yang kedua tampaknya, tuduhan Islamofobia ini lebih banyak dipakai oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Pemaknaan Islamophobia seperti itu, menurutnya, kurang tepat. Umat Islam sejak dulu beragam, dan memiliki posisi pemikiran dan politik yang berbeda-beda. Tidak selayaknya, pihak yang satu menuduh yang lain (keduanya sama-sama umat Islam) sebagai “Islamofob” hanya karena perbedaan ide.
Jika seseorang mengkritik keras ide khilafah misalnya, ia tidak bisa disebut “Islamofob”. Begitu hingga seseorang yang berpendapat bahwa wayang tidak sesuai dengan Islam, dia bukan Islamofob. Sebaliknya, pihak yang menyerang balik pendapat yang mengharamkan wayang juga bukan Islamofob.
Pemerintah Indonesia di bawah Jokowi memiliki posisi politik yang jelas dalam isu-isu keislaman, yaitu mendukung posisi Islam yang moderat, dan karena itu mengampanyekan gagasan “moderasi Islam”. Kebijakan pemerintah jelas membatasi ruang gerak bagi ide-ide Islam “kanan”.
Posisi pemerintah seperti itu jelas bukan menandakan adanya Islamofobia. Bagaimana pemerintah Jokowi bisa disebut Islamofob dan “anti-Islam” orang presiden, wakil presiden, dan para menterinya mayoritas beragama Islam. Istilah Islamophobia di sini dipakai secara tidak tepat.
Apa Itu Islamofobia?
Apakah di Indonesia ada Islamofobia? Menurutnya ada, tapi itu berkembang hanya terbatas di kalangan kelompok yang amat kecil di luar Islam. Tapi itu kecil sekali. Gus ulil mengetahui bahwa sebagian besar kalangan non-Muslim di Indonesia sangat menghargai Islam yang moderat.
Banyak kalangan non-Muslim yang menghargai, bahkan mengagumi tokoh-tokoh Islam seperti Gus Dur, Buya Syafi’i Maarif, Gus Mus, Kiai Said Aqil, dan lain-lainnya
Dengan kata lain, di Indonesia saat ini kita tidak bisa membesar-besarkan isu Islamofobia. Jika ada kalangan yang tidak suka pada kelompok Islam konservatif atau garis keras, itu bukan Islam Islamofobia.
Lalu, apa definisi Islamofobia? Gus Ulil berpendapat bahwa Islamofobia maknanya terdapat dua: pertama, menganggap bahwa semua umat Islam adalah sama, yaitu jahat dan teroris; Kedua, pandangan yang serba “esensialistik” dan menyederhanakan tentang umat Islam. Misalnya setiap muslimah yang memakai cadar adalah teroris. Harus dibedakan antara tidak setuju dengan cadar di satu pihak, dan mengidentikkan cadar dengan terorisme.
Tidak setuju, bahkan mengkritik cadar atau jilbab, bukanlah Islamofobia. Yang bisa disebut Islamophobia adalah menggeneralisir bahwa semua muslimah yang bercadar adalah jahat dan teroris. Ini pandangan yang keliru, menurutnya.
Jika teman-teman mau contoh Islamofobia yang “blatant” atau terang-terangan adalah buku-buku yang ditulis oleh Robert Spencer di Amerika. Orang-orang seperti Spencer ini, tidak ada yang disebut “Islam moderat”. Bagi dia hanya ada satu Islam, Islam sebagai “religion of evil”, agama kejahatan.
Bagi orang-orang seperti Spencer, Islam moderat itu hanya “basa-basi” diplomatik untuk menutupi “ajaran-ajaran jahat” dalam Islam.
Inilah contoh yang terang-terangan dari Islamofobia. Kaum Islamofob seperti Spencer ini tidak berhenti pada menulis buku saja, tetapi “mendakwahkan” Islamofobia.
Diakhir cuitannya beliau mengajukan pertanyaan mengapa muncul Islamofobia ? ini juga pertanyaan yang menarik. Mungkin akan menjadi tema keluh kesahnya yang terpisah dari twit Gus Ulil di akun twitternya selanjutnya.
Kesimpulan
Mari kita memikirkan sejenak berkenaan bahwa Islam rahmatan lil alamin itu perlu dipraktekkan dalam kehidupan, meneladani akhlak yang dicerminkan oleh Rasulullah Saw di tengah perbedaan dan beragamnya para sahabat. Sudah selayaknya kita belajar dari sejarah supaya lebih bijak dan dewasa menghadapi Islamophobia dalam tubuh umat Islam sendiri.