Oleh: Afif Amrullah
Lima belas tahun silam, tepatnya: 29 Agustus 2005, Indonesia dilanda duka mendalam atas wafatnya sosok negarawaan, aktivis, pemikir Islam yang amat bersahaja: Nurcholish Madjid—selanjutnya disebut ‘Cak Nur’. Nama Nurcholish Madjid ini diperoleh Cak Nur semasa ia berusia enam tahun, sebelumnya ia bernama Abdul Malik. Namun lantaran Abdul Malik kerap didera sakit—menurut tradisi Jawa anak yang sering sakit dianggap kaboten jeneng keberatan nama—makaAbdul Malik perlu berganti nama.
Lahir dalam kultur Islam tradisionalis: Nahdlatul Ulama pada17 Maret 1939 di Mojoanyar, Bareng, Jombang, menjadikan pemahaman dan perhatian Cak Nur terhadap Islam sangat mendalam. Meski secara kultural, keluarga Cak Nur baik dari pihak ayah: Abdul Madjid dan ibunya: Fathanah tergolong kalangan NU yang terpandang tetapi, dalam afiliasi politik mereka justru cenderung ke modernis saat itu, Masyumi.
Pendidikan Cak Nur saat itu pun berbeda dari kebanyakan anak NU di lingkungannya. Ia menempuh jenjang sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Rakyat Mojoanyar. Selesainya dari sana, ia melanjutkan ke pesantren Darul Ulum Rejoso, namun tidak sampai tamat. Lantas Cak Nur pun pindah ke pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo. Setelah lulus dari Gontor, Cak Nur diterima pada program Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
Aktivis Gerakan HMI
Sembari kuliah ia pun aktif di organisasi kemahasiswaan: HMI—inilah titi mangsa di mana CakNur memulai karir intelektualnya. Seusainya dari IAIN, Cak Nurpun mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago hingga ia memperoleh gelar Doctor Filsafat Islam dengan disertasi seputar filsafat dan kalām teologi Ibn Taimiyah.
Bermula dari artikelnya yang berjudul: “Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi” di majalah Pandji Masyarakat tanggal 29 Maret 1968, nama Cak Nur mulai dikenal publik.
Setahun berselang: Maret 1969, Cak Nur kembali menulis risalah: “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang merupakan endapan pikiran sepanjang lawatannya ke Amerika Serikat dan Timur Tengah.
Baca Juga: Pilkada Serentak di Tengah Pandemi: Melanggar Norma Agama?
NDP ini, tidak lain, merupakan versi paripurna dari tulisan Cak Nur sebelumnya: “Dasar-Dasar Islamisme” yang digunakan sebagai materi pelatihan di HMI. Tetapi, karenasaatitupenguasaOrdeBarutidaksukadengankata “perjuangan”makanama NDP pun akhirnya diubah menjadi “Nilai Identitas Kader” (NIK). Berkat karya-karyanya pada masa ini, Cak Nurpun dijuluki sebagai Natsir muda.
****
Tak lama setelahnya, dalam acara Halal bi Halal antar organisasi: Persami, HMI, PII, dan GPI tanggal 3 Januari 1970, Cak Nur menuangkan idenya dalam makalah berjudul: “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Cak Nur pun memaparkan beberapa persoalan yang tengah dihadapi oleh umat Islam Indonesia, di antaranya.
Timbulnya gejala stagnansi pemikiran keagamaan; Hilangnya—apa yang ia sebut—psychological striking force daya dorong psikologis dalam berjuang; Umat Islam terjebak pada kebingungan memilah antara nilai yang transcendental dan nilai temporal, bahkan hierarki nilai-nilai itu kerap diperlakukan secara terbalik: nilai-nilai transcendental dipahami sebagai temporal, dan sebaliknya.
Gagasan Pembaruan Cak Nur
Untuk itu, Cak Nur menawarkan gagasan pembaruan sekalipun harus mengorbankan ide integrasi umat—di mana wacana ini tengah diperjuangkan oleh kalangan senior Masyumi. Untuk mewujudkannya, dapat dimulai dengan menginkorporasikan konsep modernisasi yang berjalan seiring dengan sekularisasi ke dalam Islam.
Semula ide Cak Nur ini hanya beredar sekitar orang-orang terdekat saja. Namun, ceritanya berbeda setelah Harian Indonesia Raya memuatnya pada Minggu 4 Januari 1970. Makalah itu akhirnya menjadi konsumsi publik, isinya jadi bahan perbincangan dan diskusi yang memicu perdebatan panjang. Dari situ Cak Nur menuai berbagai kritik baik dari kelompok yang paling kiri hingga yang paling kanan.
Menanggapi hal itu, Cak Nur tetap bergeming pada pendapatnya. Ia bahkan melangkah lebih jauh, Cak Nur mendefinisikan ulang berbagai istilah penting dalam Islam—meski menurut beberapa kalangan istilah itu telah dianggap mapan.
Misalnya, ia mengembalikan kata Islam kepada makna generiknya: al-islām yakni sikap tunduk dan pasrah hanya kepada Tuhan, Islam pun menjadi bukan lagi nama agama tertentu. Dari situ maka pluralism dan titik temu antar agama-agama menjadi terbuka.
Selain itu, Cak Nur juga menjelaskan bahwa sekularisasi yang ia maksudya kni sebatas membedakan antara yang sacral dan profan, bukan memisahkan. Maka konsep sekularisasi itu menjadi senada dengan konsep Tauhīd monoteisme dalam Islam. Konsep monoteisme ini, menurutnya, dapat dimasuki melalui ateisme—dalam menjelaskan hal ini Cak Nur merujuk pada konsep al-nafyuwa al-itsbāt negasi-afirmasi dalam kalimat syahadat persaksian.
****
Jadi, pangkal persoalan utama manusia bukanlah ateisme, melainkan justru kecenderungan pada politeisme atau banyak tuhan, menuhankan sesuatu yang bukan tuhan—misalnya menuhankan harta dan sebagainya—yang dalam Islam disebut syirik alias menyekutukan Tuhan.
Dengan berlaku syirik seseorang akan memosisikan martabat dirinya di bawah objek yang disyirikkan. Ini sangat dilarang dalam Islam, perbuatan ini termasuk dosa yang tak terampuni. Adapun modernisasi, menurutnya,bukanlah modernisme yang identik dengan Barat, melainkan lebih kepada konsep universal yang dapat dipakai oleh bangsa manapun, tak terkecuali Indonesia. Jika dilihat secara umum, ide pembaruan Cak Nur tersebut bermuara pada tiga tema pokok: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan.
Baca Juga: Bung Karno, Piagam Jakarta (Pancasila) dan Muhammadiyah
Saat ini, di tengah maraknya sikap intoleran yang diiringi aksi-aksi kekerasan atas nama agama, ide-ide Cak Nur di atas kiranya perlu senantiasa kita rawat dan lestarikan agar kita terhindar dari cara beragama yang kaku dan sikap monopoli kebenaran sekehendak kita sendiri.
Sepatah kutipan—yang mungkin tampak berlebihan—kiranya tepat untuk menutup risalah sederhana ini: “Pemikiran Islam di Indonesia dewasa ini tidaklah lebih dari catatan kaki atas pemikiran Nurcholish Madjid” (B. M.-RachmandalamA. Gaus, Api Islam NurcholishMadjid, halaman 334).
Penulis adalah Guru Mata Pelajaran Bahasa Arab di SMA Muhammadiyah Kotabumi Lampung Utara
Sumber Ilustrasi: nurcholishmadjid.org