Oleh: Rifqi Bagus Priyono[1]
Anggapan benar, baik, dan indah dewasa ini dinilai relatif oleh setiap individu, hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan konsep dalam Alquran yang di dalamnya telah termaktub secara gamblang prihal yang baik, benar, dan indah. Dalam (Q.S Al-Anbiya: 107), disebutkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam rahmatan lil alamin, tanpa terkecuali.
Jihad serampangan, persekusi, rasisme dan tindak tunaetika dewasa ini tidak sedikit yang menggunakan legitimasi agama, terlebih Islam. Berangkat dari fenomena tersebut, setiap muslim tentunya mempunyai peran guna meretas apa-apa yang tidak relefan dan timpang, kemudian menganyamnya mengantarkan memasuki ranah aksiologi etika, logika, dan estetika Islam rahmatan lil alamin.
Dalam sejarah filsafat Islam, berbagai pemikir telah berupaya merumuskan konsep etika, termasuk di dalamnya ulama hukum, para teolog, mistikus, filosof maupun teosof. Hal ini dikarenakan etika atau akhlak dalam Islam merupakan inti dari ajaran Islam. Konsep Islam rahmatan lil alamin ialah, sintesis dari hasil dialektisseluruh konsep yang ada dalam agama Islam dengan realita maupun dengan dirinya sendiri.
***
Salah satu filosof kenamaan yang banyak berkecimpung dalam pembahasan tentang etika atau akhlak ialah Ibnu Miskawaih. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Ray dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 shafar tahun 412 H.
Perhatiannya pada pengetahuan begitu besar, disiplin ilmunya meliputi ilmu kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Kendati demikian, Ia lebih terkenal sebagai filsuf akhlak, ketimbang sebagai filsuf ketuhanan atau yang lainya. Hal ini tidak lepas dari keadaan zamannya yang gelap penuh kebatilan.
Ibnu Miskawaikh memulai pemikirannya tentang etika dimulai dengan ilmu jiwa“An-Nafs”.Menurutnya, menyelami jiwa ialah keutamaan tersendiri, ilmu jiwa ialah pondasi paling dasar bagi ilmu-ilmu lain “Ahwal An-Nafs”. Pernyataan ini didasari bahwa dengan mengetahui hakikat jiwa.
Ia adalah ujung tombak guna mengetahui hakikat yang benar dan batil dalam ranah keyakinan, antara kebaikan dan keburukan, antara keindahan dan ketidak indahan. Jiwa menurutnya adalah jauhar yang tidak dapatterindra, ia tidak berubah dan hancur sebagaimana jism, jiwa senantiasa selalu rindu dengan pengetahuan tentang pencipta semesta.
***
Ibnu Miskawikh membagi kekuatan (potensi) jiwa pada tiga tingkatan, diantaranya: pertama, kekuatan berfikir (Al–Quwwah An–Natiqah),yaitu kekuatan untuk berfikir dan mempertimbangkan hakikat sesuatu. Kekuatan ini dinamakan dengan Al Mulkah, tempatnya berada di otak. Kedua, (Al–Quwwah Al–Gaibah), yaitu kekuatan emosional, misalnya marah, menolong, keberanian, dan sebagainya.
Kekuatan ini dinamakan As–Suba’iyyah, tempatnya di hati. Ketiga, (Syahwat Al–Quwwah Al–Syahwatiyyah), yaitu kekuatan matrial untuk selalu meminta makan, minum, dan menikah. Kekuatan ini dinamakan dengan Al–Bahamiyyah,tempatnya di jantung (Al–Kabid).
Etika menurut Ibnu Miskawaikh adalah keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan tanpa pikir dan perenungan. Sikap mental tersebut dibaginya menjadi dua, yang pertama, berasal dari watak dan yang kedua, hasil dari latihan (tadrib).
Akhlak yang berasal dari watak sangatlah kecil peluangnya untuk berpotensi menjadi akhlak yang terpuji. Sedangkan akhlak yangdihasilkan dari latihan (tadrib) dan pembiasaan-pembiasaan sangatlah berpotensial menghasilkan akhlak yang terpuji.
Ibnu Miskawaih berpandangan bahwa manusia memiliki potensi untuk beretika apa saja, olehkarena itu dalam pengonstrukannya ia memerlukan syariat, nasihat, lingkungan yang mendukung dan ajaran-ajaran sopan santun yang beradab guna mencapai tingkat akhlak yang tertinggi. Berangkat dari argumen tersebut Ibnu Miskawaikh sangat memprioritaskan pendidikan guna pembentukan akhlak-akhlak terpuji bagi tiap-tiap manusia, seterusnya menjadi etika universal.
***
Pemikiran etika Ibnu Miskawaih berpangkal pada teori Jalan tengah (Nadzar Aus’at) yang dirumuskannya. Teori ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah dari ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan jiwa manusia. Posisi tengah dari daya bernafsu adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu (Al–syrarah) dan mengabaikan nafsu (Khumud Al Syahwah).
Posisi tengah dari dayaberani adalah syaja’ah (Keberanian) yang terletak antara pengecut (Al–Jubm) dan nekad (Al–Tahawwur). Posisi tengah daya berpikir adalah al–hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara kebodohan (Al–Safih) dan kedunguan (Al–Balah). Kombinasi dari tiga keutamaan ini membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan (Al–Adalah).
Ibnu Miskawaih berpandangan bahwa setiap keutamaan mempunyai dua kubu. Yang tengah adalah yang terpuji dan yang ekstrim adalah tercela. Posisi tengah adalah suatu standar atau prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (Al–wasath Al–Haqiqi) adalah satu, yaitu keutamaan (Al–Fadilah). Yang satu ini disebut juga sebagai garis lurus (Al–Khat Al–Mustaqim).
Tidak mengabaikan dan berlebih-lebihan dalam segala sesuatu hal adalah etika yang diajarkan Ibnu Miskawaikh. Tidak ada pengecualian untuk dapat sampai pada maqom tersebut (Alwasath Al Haqiqi) atau(Al Khat Al Mustaqim). Hanya diperlukan (pendidikan) latihan dan pembiasaan-pembiasaan untuk menujunya.[]
[1] Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber Ilustrasi Gambar: republika.co.id