Perennialisme atau filsafat perennial merupakan salah satu mazhab filsafat yang penting dan tidak boleh diabaikan. Filsafat perennial pada dasarnya dipahami sebagai cara pandang filsafat keagamaan dalam rangka memahami kompleksitas agama-agama dan keterlibatannya dalam berbagai bentuk persoalan kemanusiaan dewasa ini (Riki Saputra, 2012: 47).
Sejarah Filsafat Perennial
Dalam khazanah pemikiran istilah filsafat perennial (philosophia perennis) diketahui sudah muncul sejak tahun 1540 ketika seorang tokoh barat bernama Augustinus Steuchus (1497-1548) menerbitkan karyanya yang berjudul “De perenni philosophia”, dan kemudian dipopulerkan oleh Leibniz yang menegaskan bahwa dalam membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenaran dikalangan para filsuf dan tentang pemisahan dari yang gelap menuju yang terang, itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial.
Filsafat perennial dipandang mampu menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki. Termasuk menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang benar yang menjadi hakikat dari seluruh agama dan tradisi-tradisi besar spiritualitas manusia. Dalam konteks modernisme dan postmodernisme, konsep filsafat perennial banyak digunakan dalam memahami pluralitas agama maupun keberagaman pemahaman keagamaan, yang mana persoalan keberagaman pemahaman keagamaaan terkadang dianggap sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan antar umat beragama.
Salah satu penyebabnya adalah karena adanya fanatisme internal dan inklusifisme yang berlebihan dari suatu penganut agama yang mengabaikan aspek-aspek sosial keagamaan di luar keyakinannya.
Asal Kata Perennial
Secara etimologis, perennial berasal dari bahasa Latin yaitu perennis, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah perennial yang berarti “kekal”, “selama-lamanya” atau “abadi”. Sehingga filsafat perennial dikatakan juga sebagai filsafat keabadian (Riki Saputra, 2012: 48).
Sejak dimulainya revolusi pemikiran ala Descartes yang mengajukan argumentasi epistemologis mengenai asal kebenaran adalah dari rasio. Maka, secara simultan terjadi pemisahan antara manusia dengan hal-hal yang transenden. Manusia menganggap dirinya super being (makhluk super) yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi dengan akal dan rasionya serta menjadikan teknologi sebagai instrumen paling ampuh dalam mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan (Emanuel Wora, 2006: 3).
Para filsuf keduniaan telah menjatuhkan philosophia (cinta kebijaksanaan) menjadi miso-sophia (benci kebijaksanaan). Puncak dari kebencian ini menurut Huston Smith terjadi pada era post Nietzschean deconstruction of metaphysics (dekonstruksi metafisik pasca Nietzsche) hingga saat ini. Persoalan utama manusia saat ini disebabkan oleh adanya sekularisasi antara aksi dan kontemplasi.
Kontemplasi mengacu pada pengetahuan dan dapat dikatakan sebagai syuhud (penglihatan) dan ta’mal (melihat dengan penuh perhatian). Dalam Islam, kontemplasi dihubungkan dengan tafakur (berzikir), adapun aksi mengacu pada amaliah atau doktrin yang bersifat praktis (Seyyed Hossein Nasr, 1983: 112). Fenomena-fenomena kehidupan terkesan ditepiskan dari dimensi spritual dan hanya dianggap sebagai suatu persoalan yang cukup diselesaikan melalui pendekatan keilmuan dan saintis.
Di sinilah seiring perkembangan zaman, manusia dewasa ini seakan semakin kehilangan unsur keinsaniannya, karena terlalu menggantungkan dirinya pada sesuatu yang bercorak materialistik dan positivistik yang bersifat relatif dan nisbi yang pada dasarnya adalah unsur yang memiliki tingkat kesempurnaan di bawah manusia, sehingga ketidakbebasan telah mencengkeram manusia.
Spiritualitas Merupakan Kebutuhan Manusia yang Bersifat Transenden
Dalam pandangan kaum perennis, kebebasan manusia akan terwujud sepenuhnya apabila manusia telah terbebas dari keterikatan “kenisbian” dan bergantung pada keabsolutan Tuhan. Pendapat ini tentu bertolak belakang dari kaum materialisme dan positivisme. Namun demikian, di sisi lain bagi kaum yang merasa dirinya penganut agama yang taat, tidak sedikit yang terjebak pada paham dan tindakan radikalisme dan ekstrimis serta arogansi teologis, yang menganggap dimensi eksoterik yang dipahami, sebagai satu-satunya kebenaran yang sempurna, sehingga muncul claim truth (klaim kebenaran) yang kemudian secara frontal menyalahkan kebenaran agama yang dianut oleh orang lain, padahal oleh penganutnya juga menganggap apa yang diyakininya sebagai satu-satunya kebenaran.
Kondisi inilah yang tidak sedikit memicu perselisihan dan perpecahan antar umat beragama. Dalam pandangan Islam, manusia merupakan theopany (pancaran) dari nama-nama dan kualitas Tuhan, dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Kebebasan manusia telah mendustakan kenyataan dalam penyerahan dan kehendak-Nya serta penyucian batin yang merupakan suatu upaya agar manusia menjadi bebas dari semua kondisi luar, termasuk nafsu badani yang mendesak dan membatasi kebebasan manusia itu sendiri (Fathin Fauhatun, 2020: 56).
Pada dasarnya spiritualitas merupakan kebutuhan manusia yang bersifat transenden. Seseorang yang mempunyai spritualitas tinggi adalah seseorang yang merefleksikan Tuhan sebagai yang vital, yang menentukan norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, spiritual sebagai tidak lain dari mengetahui, mencintai dan taat kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya sebagai penguasa alam, namun juga jalan, fungsi, awal dan akhir spiritualitas Islam. Tuhan adalah sentral kehidupan yang semua dimensi dan permukaan berputar mengelilingi-Nya, mencariNya, bersama-Nya dalam tujuan eksistensi kemanusiaan. Pandangan demikian sebenarnya merupakan khazanah lama yang telah banyak dihiraukan oleh manusia modern hingga postmodern, mereka tidak mengetahui lagi kearifan tradisional tersebut dalam kehidupan spiritualnya. Padahal dalam kearifan itu terletak seluruh kebahagiaan dan keselamatan manusia.
Kebenaran Mutlak Hanyalah Satu
Adanya klaim kebenaran (claim truth) yang sering melekat pada sebuah agama sangat mungkin terjadi lantaran alasan logis-ontologis bagi keberadaan masing-masing proper noun tersebut (Amin Abdullah, 1993: 509-510). Kaum perennis berpendapat bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancar (truth) berpartisipasi dan bersimbiosis dengan dialektika sejarah.
Sehingga bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung muatan nilai budaya yang berbeda dari suatu komunitas dengan komunitas lain. Kendati demikian, filsafat perennial tidak hendak melihat suatu agama universal atau ingin menyamakan semua agama. Justru sebaliknya, filsafat perennial mengakui setiap tradisi sakral sebagai sesuatu yang berasal dari surga (heaven) atau asal Ilahiah (devine origin) yang harus dihargai dan diperlakukan dengan hormat (Ida Bagus, 2018: 22).
Toleransi Filsafat Perennial
Dengan kata lain setiap pemeluk agama harus memutlakkan kebenaran agama yang dianutnya, sekaligus bersamaan dengan itu harus memberikan toleransi kepada orang lain untuk memutlakkan agama yang dianutnya.
Dengan demikian, filsafat perennial menawarkan beberapa pendekatan antara lain yaitu: Pertama,menawarkan metode dialog. Filsafat perennial menawarkan suatu metode dialog antar umat beragama, yaitu metode fenomenologi agama. Metode ini merupakan cara memahami dengan sikap apresiatif tanpa sikap penaklukan dan pengkafiran penganut agama lain.
Kedua, komitmen keniscayaan adanya pluralitas dalam agama. Filsafat perennial dalam melihat pluralisme agama meyakini bahwa setiap agama berasal dari sumber yang sama yaitu dari Yang Mutlak, kebenaran berasal dari Yang Satu (M. Baharudin, 2014: 1-2)
Editor : Irawan