Oleh: Muhammad Khasbi
Ini mungkin akan sulit. Sekaligus melelahkan. Penjelasan tentang kenapa jalan itu lurus butuh cara berpikir stadium tiga dalam kelas-kelas pikiran. Konsentrasilah supaya pemahaman yang sudah terangkai dalam pikiran tidak lari tunggang langgang.
Sebagai seorang yang meminati kajian filsafat. Saya menjadi sedikit gila dibanding orang lain. Kegilaan saya terjadi karena melewati batas normal dan wajar berpikir orang pada umumnya. Entahlah, saya yang gila atau mereka yang gila.
Jalan Berkelok itu Jalan Lurus
Sewaktu naik sepeda motor menuju kontrakan saya dikejutkan dengan timbulnya pertanyaan: kenapa jalan itu lurus? Benarkah jalan selalu lurus? Sejak kapan jalan itu lurus dan seterusnya. Untuk memutus tali kegilaan saya ini akhirnya saya putuskan untuk bertanya kepada seseorang.
Dan ternyata, jawabannya adalah sebenarnya jalan itu lurus. Jalan yang berkelok itu hanyalah jalan yang lurus tapi diberi semacam kekreatifitasan. Ada daulat di dalamnya untuk lebih menemukan dirinya (jalan sejati: jalan lurus).
Satu hal yang wajar ketika seseorang kok bisa bercerai kendati sudah menikah begitu lama. Sebab semua itu karena ia belum berada pada jalan yang lurus tadi, yaitu jalan kesejatian. Apakah orang yang bercerai itu salah? Tentu tidak.
Baca Juga: Tahun 2020 Menjadi Nuqthatul Intilaq (Titik Tolak) Globalisasi NU
Jika dalam terminologi orang beragama: ia hanya sesuatu yang dibenci saja oleh Tuhan, bukan dilarang. Artinya jika bercerai tidak berarti harus salah. Toh sementara itu, ternyata bercerai telah mengantarkan dia menuju jalan kesejatian.
Jalan Kesejatian
Apa yang dimaksud dengan jalan kesejatian dalam dialektika perceraian itu: ya tentu ia bukan jodoh dan akan menemukan jodohnya (jalan sejati) setelah bercerai. Tanpa bercerai mereka hanya akan tersesat untuk selamanya. Tetapi di sisi lain, bukan saya menyarankan untuk bercerai. Tentu tidak. Silahkan itu adalah hak prerogatif seseorang.
Dalam kasus yang lain, terminologi jalan yang lurus muncul juga dalam Islam. Yaitu “Sirratal Mustaqim” dalam surat al-Fatihah. Dalam agama, perdebatan jalan yang lurus ini sangat familiar. Sampai lupa ternyata jalan yang lurus bukanlah perdebatan, tapi akhlak itu sendiri.
Masih dalam Islam, pemegang jalan yang lurus adalah Allah SWT sebagai sang Maha Benar dan Absolute. Ini memang konsep yang bisa menyelamatkan kita dari pusaran lingkaran setan. Sebab tanpa ada Tuhan sebagai yang transenden hanya akan terjadi perdebatan tanpa arah dan tak akan pernah selesai. Alhasil, mereka saling benci dan bunuh membunuh.
Fitrah: Jalan Lurus dalam Islam
Sementara, jalan lurus dalam Islam sendiri sebenarnya adalah satu hal yang hakiki. Ia ada di inti dari ajaran. Sekaligus ada dalam inti manusia. Dan ada dalam inti Tuhan. Jalan yang lurus itu adalah fitrah yang diberikan Tuhan pada setiap manusia. Fitrah dalam bahasa yang lain sering disebut kesadaran primordial. Sementara dalam bahasa populer yang lain disebut “Gawan bayi”.
Fitrah adalah kecenderungan manusia untuk berbuat baik. Bahkan tanpa akal dan kitab sekalipun orang bisa berbuat baik karena dalam dirinya ada fitrah.
Lama sekali saya pernah menunggu seseorang untuk sembuh dari gilanya. Saya tidak paham kenapa ia mendadak gila. Padahal sebelumnya tak ada gejala apapun yang terlihat. Lima tahun berlalu akhirnya dia dinyatakan sembuh dari gila.
Tapi setelah satu tahun hidup bersama orang waras, ia kemudian menjadi gila lagi. Saya kemudian memikirkan kenapa orang ini selalu gila kembali walaupun sudah divonis sembuh. Lama sekali saya tak mampu menjelaskan kenapa ia bisa gila dan gila lagi.
Membangun Mental Kewarasan
Pertanyaan yang cukup mengganggu pikiran yang tersimpan selama 10 tahun akhirnya terjawab sudah dengan pertanyaan gila yang didapat ketika on the way kontrakan. Iya, jalan yang lurus sebenarnya adalah waras. Tapi benarkah seorang itu telah tidak lurus dengan gilanya? Tentu saja tidak. Ia justru berada pada jalan yang lurus. Ia gila menurut kita. Tapi sebenarnya waras menurut dia.
Jadi, tak ada siapapun di dunia ini yang telah tidak lurus dengan jalan pilihannya. Sehingga menjadi kontraproduktif ketika kita terus-terusan menganggap orang lain salah sedang kita benar sesuai jalan yang lurus. Anggapan ini sama sekali kurang tepat.
Jadi siapa yang gila? Jawabannya tidak ada. Siapa yang salah? Jawabannya Tak ada yang salah. Semuanya benar karena kebenaran telah bersemayam dengan dirinya. Terminologi fitrah, kesadaran primordial dan “Gawan bayi” adalah kunci penting dari penjelasan saya tentang jalan dan lurus itu.
Beberapa jawaban yang penting akan saya ketengahkan di sini, pertama, tak ada jalan yang berkelok, yang ada hanyalah jalan lurus. Sebagai konsekuensi, kedua, tak ada orang yang salah, semuanya benar dengan kekuatan dan legitimasi Tuhan. Ketiga, jalan yang lurus itu adalah milik Tuhan Maha Benar dan Absolute, tak benar jika kita mengatakan bahwa jalan lurus itu adalah alamiah. Ia kreasi Tuhan yang penting. Bahkan inti dari Tuhan itu sendiri.
Kita Memiliki Pilihan
Satu hal lagi yang penting untuk saya tuliskan adalah silahkan pilih jalan kalian masing. Tetapi ingat, tak ada yang boleh mencoba tiba-tiba mengatakan bahwa B itu berdiri. Tidak, B tidak berdiri sendiri, ada A sebelum B. Artinya ada Tuhan dalam setiap jalan yang kalian pilih.
Baca Juga: Mahatma Gandhi: Pejuang Kemerdekaan Tanpa Melukai
Seperti kata Karen Amstrong ada Tuhan yang sesungguhnya selain prasangka dan gagasan umat manusia tentang Tuhan di setiap periode sejarah. Jadi, tak ada salahnya jika kalian jadi “nabi” dalam generasi umat manusia hari ini.
Nabi dalam konteks apa? Tentu dalam konteks pembaharu, pembela kaum lemah dan agen penjualan gagasan tentang Tuhan sambil tak melupakan ada Tuhan dengan huruf T besar dari semua gagasan-gagasan yang ada.
Penulis adalah Mahasiswa di IAINU Kebumen dan aktivis PMII Cabang Kebumen