Fenomena penertiban pelanggar lalu lintas dijalanan oleh Polantas Polresta Bukittinggi baru-baru ini seakan mendapat respon minor masyarakat. Sudah menjadi Common sence bahwa terdapat prosedur yang musti dilaksanakan oleh petugas baik sebelum atau ketika melaksanakan penertiban serta memperhatikan dengan serius dimensi humanis.
Prosedur pemeriksaan kendaraan bermotor (RAZIA) di jalan, tertuang dalam PP No. 42 tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. Definisi pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 2 PP 42/1993 adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap pengemudi dan kendaraan bermotor mengenai pemenuhan persyaratan teknis dan layak jalan, serta pemenuhan kelengkapan persyaratan administratif.
Dalam Pasal 2 disebutkan, petugas yang melakukan pemeriksaan atau razia kendaraan bermotor di jalan harus dilengkapi surat penugasan yang dikeluarkan oleh Kapolri untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Polri, dan menteri untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa PNS.
Dalam surat perintah tugas tersebut, sebagaimana yang termuat dalam pasal 14, harus pula memuat beberapa hal; Alasan dan jenis pemeriksaan, Waktu pemeriksaan, Tempat pemeriksaan, Penanggung jawab dalam pemeriksaan, Daftar petugas pemeriksa, Daftar pejabat penyidik yang ditugaskan selama dalam pemeriksaan.
Penertiban yang Berpotensi Melanggar
Dalam hemat saya, aksi penertiban saat ini di Bukittinggi berpotensi besar melangar segala regulasi di atas. Sejatinya petugas lantas POLRES Bukittinggi memperhatikan dengan serius apa yang sudah di amanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 yaitu pasal 13-14 serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 pasal 15 (ayat) 1-3, yang mengharuskan ada tanda razia seperti plang pemeriksaan yang terpasang 100 m sebelum lokasi razia serta prosesur lainnya.
Tindakan “tangkap dijalan” pada prosesnya memberhentikan pengendara secara tiba-tiba, bahkan sampai ada perlakuan petugas yg tidak pantas dan cendrung membahayakan pengendara & petugas itu sendiri seperti memepet kendaraan ke tepi jalan secara tiba-tiba atau mengambil paksa kunci motor pengedara adalah hal kurang elok dilakukan oleh aparatur negara yang menjujung tinggi nilai Humanis.
Secara aturan nya tindakan tangkap jalan seperti itu bisa dikonotasikan sebagai Operasi ‘Insidental’ sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan pasal 12 dan 14 jo Pasal 260 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. disebutkan “incidental” adalah tindakan petugas terhadap pelanggaran yang tertangkap tangan, pelaksanaan operasi kepolisian dengan sasaran keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan serta penanggulangan kejahatan.
Namun hal ini tidak serta merta bisa dijadikan dalih bagi Polisi untuk melakukan kegiatan operasi razia tersebut setiap hari dan dinyatakan sebagai operasi ‘insidental’. Karena tindakan tersebut bukan malah menjadikan polisi sebagai mitra akan tetapi menjadi musuh bagi masyarakat.
Karena ada ketakutan yang dibangun dalam pola tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut. Bahkan ada asumsi yang berkembang dimasyarakat seolah-olah ‘oknum’ polisi terkait sedang mencari mangsa untuk meraup keuntungan pribadi, bukan sedang menjalankan tugas negara.
Tindakan ini di satu sisi akan menimbulkan anggapan bahwa polisi sudah tidak profesional dalam tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Tagline Visi Humanis dan PRESISI yg digaungkan Kapolri seakan tidak dicerminkan dengan baik oleh anggota Polri itu sendiri.
Polisi Perlu Mengedepankan Prinsip Kemanusiaan
Tentu tindakan yang diperbuat oleh sebagian ‘oknum’ polri ini membangun citra yang tidak baik di masyarakat. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri menurun bahkan bisa terkikis habis.
Ini bukanlah hal yang kita inginkan terjadi bagi lembaga yang dikenal sebagai mitra pengayom masyarakat yang aktivitas nya langsung berhubungan dengan masyarakat itu sendiri. Tentu Polri secara kelembagaan butuh kepercayaan masyarakat guna sinergisitas baik pemerintah dengan rakyatnya.
Hal tersebut perlu ditindak lanjuti secara serius oleh Kapolres kota Bukittinggi sebagai pihak yang punya otoritas penuh. Pembenahan secara mendasar harus dilakukan sesegera mungkin. Oknum-oknum polisi yang bertindak arogan harus diberi tindakan tegas. Karena masyarakat adalah Subjek Hukum bukan Objek untuk di hukum.
Jika ada kesalahan tindak secara aturan yang berlaku tetapi tetap pada prinsip kemanusiaan. Kita tidak ingin citra polisi yang sudah baik dimata masyarakat menjadi buruk karena kejadian ini. Kita juga tidak mau Polisi kehilangan mitra strategis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara pengayom masyarakat yang humanis.
Karena negara indonesia ini dibangun dan dipertahankan tidak bisa oleh satu elemen bangsa saja, tapi perlu adanya kolaborasi bersama yang baik antara pemerintah dan masayarakatnya. Saya yakin Polri adalah salah satu lembaga pemerintah pelopor dalam merekat persatuan bangsa
Editor : Irawan