Kedua, metode sejarah. Fouda menyebut karyanya adalah sebuah perbincangan sejarah. Ia menulis,” Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Lebih dari itu, ini adalah perbincangan seorang penelaah sejarah yang hidup di abad ke-20. Akan tetapi, ini adalah juga perbincangan tentang peristiwa-peristiwa yang surut ke belakang sampai 13 abad silam atau lebih.”
Sebagai kelanjutan dari motivasinya, Fouda menilik sejarah sebagai argumennya untuk menjatuhkan lawan ideologisnya. Maka, tidak heran kita dapat temukan dalam karyanya potongan-potangan sejarah yang tidak runtut. Ia menghadirkan satu, dua fakta kemudian men-syarah-nya. Dalam penulisan metode sejarah, setidaknya terdapat 4 tahap, yaitu (1) Heuristik atau Bina Al Jam’u Al Mashadir (pengumpulan data dan informasi dari sumber sejarah), (2) kritik Sumber atau Bina Al Naqd min Mukhbir wa Al Khabar (verifikasi data dan informasi), (3) Interpretasi atau Bina Al Bayan min Al Mukhbir wa Al Khabar (analisa data dan informasi yang telah diverfikasi), dan (4) Historiografi atau Bina Al Qishshah Al Tarikhi (membangun narasi dari hasil interpretasi).
baca juga: Rasyid Ridla (2): Pejuang Bersenjata Pena Saat Perang Dunia I
Sekilas tulisan Fouda memenuhi ke-4 tersebut, namun bila dicermati lagi, terdapat kekurangan pada aspek keseluruhan. Pada tahap pengumpulan sumber sejarah, Fouda memang mengambil informasi dari sumber-sumber klasik Islam, seperti Tarikh Al Thabari, Tarikh Ibn Mas’udy, Tarikh Ibn Al Atsir, Tarikh Ibn Katsir, Tarikh Ibn Sa’ad, Tarikh Al Ya’qubi, dan lainnya, tetapi sifatnya parsial dan menunjukkan hanya pada bagian yang dianggap mendukung argumennya.
Padahal Fouda menulis,”Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagi orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atau sebaliknya, justru dapat menjadi bumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokoh selain fakta sejarah, landasan peristiwa, dan dalil faktanya. Karena itu, tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang kita rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu berada di pihak mereka.”(4) Namun, cukup banyak informasi yang ditulisnya tidak disertai sumber.
Kritik Sumber Sejarah
Pada tahap kritik sumber sejarah, Fouda seperti mengambil secara per se informasi sejarah sumber klasik tanpa menjelaskan kritik sumber yang memadai. Lebih jauh Fouda, sangat kurang dalam melakukan kritik eksternal (Al Naqd Al Khariji), seperti soal status pembawa matan/ informasi dan latar belakangnya, hanya melakukan kritik internal (Al Naqd Al Dakhili), seperti pada matan-nya. Padahal jamak kita ketahui, sejarah klasik muslim pada masa-masa awal memiliki penekanan pada pengumpulan varian dan ragam riwayat peristiwa, termasuk Tarikh Al Thabari.
Maka, pada masa selanjutnya kita mendapati para ulama, utamanya kalangan Muhadditsin-Muarrikh (sejarawan ahli hadis), men-tashih, tahqiq, dan menta’liq karya-karya sejarah tersebut. Diantaranya seperti munculnya karya Shahih wa Al Dha’if Tarikh Al Thabari (Dar Ibn Katsir, Damsyiq-Beirut 2007) yang di-tahqiq oleh Syaikh Muhammad Ibn Thahir Al Barzanji dan dikoreksi lagi oleh Syaikh Muhammad Subhy Hasan Hallaq.
Hal ini tidak mengherankan sebab dalam kajian ilmu hadis, ilmu verifikasi dan konfirmasi status berita khas Islam lahir dan berkembang. Lebih jauh metodologi para ahli hadis dalam verifikasi ini menajdi penting sebab, dalam Islam kebenaran riwayat punya posisi yang sangat penting dalam menjelaskan sesuatu perkara, baik nilai, status, maupun kejadiannya. Diantara karya kontemporer membahas metode kritik riwayat ala ahli hadis ialah Manahij Al Muhadditsin Fi naqd Al Riwayat Al Tarikhiyyah Li Qurun Al Al Hijriyyah Al Tsalitsah Al Uula karya Dr. Ibrahim Amin Al Jaff Al Syahruzury Al Baghdady (Dar Al Qalam, Dubai 2014).
Interpretasi Sejarah
Selanjutnya tahap Interpretasi sejarah. Kita dapati Fouda nampak sangat tendensius mengarahkan fakta sejarah pada apa yang ia inginkan. Sehingga, fakta sejarah terlantunkan dengan narasi yg tidak sesuai konteksnya. Seperti kisah-kisah berdarah (pembunuhan Khalifah ‘Utsman) yang kita tidak dapat pungkiri telah terjadi dalam catatan para ulama. Fouda tidak mengambil ibrah-ibrah yang ada secara tepat dan tidak memperjernih situasi, malah membuat provokasi berdasar prasangka.
Pada kasus pembunuhan ‘Utsman diriwayatkan bahwasanya terdapat sekitar 700 an sahabat yang ada disekitar kediaman beliau pada mulanya. Namun, Khalifah ‘Utsman r.a menghendaki mereka balik ke tempatnya masing-masing. Kembalilah para sahabat, sebab situasi mulai kondusif. Beberapa dari mereka yang masih tetap khawatir, kemudian meninggalkan putranya untuk berjaga di depan kediaman Khalifah ‘Utsman, seperti putra ‘Ali r.a dan Zubair r.a.
Tanpa diduga situasi ini dimanfaatkan oleh pemberontak dari Mesir yang banyak berdatangan. Terjadilah keributan di Madinah, sepertu terjadi beberapa duel dalam riwayat yg ada seperti oleh Marwan dan Mughirah melawan para pemberontak/pembelot. Disaat yang bersamaan beberapa dari kalangan pemberontak berhasil menyelinap ditengah kegaduhan dan akhirnya membunuh beliau dan beberapa budaknya.
baca juga: Tafsir: Fenomena Hijrah itu Kemunduran
Ketika ‘Utsman r.a wafat para sahabat besar mengucap istirja’, mengutip ayat, mendoakan ‘Utsman r.a dan melaknat pembunuhnya. Jadi tidak benar Khalifah ‘Utsman dihinakan seakan-seakan org paling hina oleh penduduk Madinah. Bahkan Hasan ibn ‘Ali ketika ditanya beliau menyebutkan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan ‘Utsman r.a, melainkan para pemberontak Mesir.
Struktur Masyarakat Arab
Dalam konteks yang lebih besar, kita perlu ketahui struktur masyarakat Timur Tengah yang akrab dengan tribalisme. Hadirnya Nabi Saw membawa perubahan signifikan dengan cepat, namun tentu belum mendarah daging. Maka tidak heran daerah-daerah yang dibebaskan (futuhat) di zaman nabi banyak membangkang kembali, kalau tidak mudah dihasut untuk berbuat membangkang. Meskipun kebijakan Khalifah ‘Utsman r.a banyak disayangkan. Contohnya adalah mengangkat banyak pemimpin dari orang-orang disekitar, sesuatu yang hal dihindari oleh ‘Umar r.a, tercatat beliau juga merevisinya.
Namun, kaum-kaum munafik yang melihat ini sebagai kesempatan provakasi yang tidak bisa disia-siakan. Akhirnya terjadilah fitnah tersebut: Pembunuhan ‘Utsman dan pelbagai tuduhan pada para sahabat Muhajirin dan Anshar. (Selengkapnya bisa disimak dalam Tarikh versi yang Tahqiq Riwayatnya pada bagian Kejadian tahun 35 Hijriyah sampai Permulaan Kisah Khalifah ‘Ali ibn Thalib r.a). (Bersambung)