Din Syamsuddin menjadi salah satu pembicara dalam seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah & Aisyiyah yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, pada tanggal 3 Maret 2020. Seminar ini mengangkat tema Darul ‘Ahdi was Syahadah. Ia mengatakan bahwa konsep ini berasal dari pidatonya ketika menjadi ketua umum PP Muhammadiyah pada tanggal 18 Agustus 2011. Waktu itu adalah pertama kalinya diadakan tausiyah kebangsaan oleh PP Muhammadiyah. Tausiyah kebangsaan ini mengangkat judul “NKRI sebagai Darul Ahdi Was Syahadah.”
Din ingin agar ijtihad fardi (pribadi) ini bisa menjadi ijtihad jama’i (kolektif) agar menjadi milik organisasi. Sedangkan di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri masih banyak dijumpai pandangan yang tidak sesuai dengan hal ini, masih banyak yang menyangkal bahwa Pancasila adalah putusan final negara.
Maka, menjelang muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, pria kelahiran Sumbawa ini ingin agar konsep darul ‘ahdi was syahadah di bahas dalam Muktamar dan menjadi putusan resmi organisasi. Karena ini penting bagi Muhammadiyah dan bagi bangsa.
Berebut Tafsir Pancasila
Ada beberapa latar belakang yang membuat konsep ini muncul dalam pikiran Din. Pertama, ada perkembangan wacana tentang nengara ideal sejak era reformasi. “masyarakat membutuhkan alternatif dari negara Pancasila yang dianggap gagal membawa keadilan dan kesejahteraan era orde baru, karena mereka menganggap Pancasila belum final.” Tuturnya.
Sebenarnya sudah disampaikan oleh banyak tokoh bahwa Pancasila adalah konsep yang final. Namun, pikiran-pikiran ini tidak disepakati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini menjadi amunisi untuk menuduh umat Islam. Orang lain dengan bebas mengisi tafsir Pancasila, sedangkan umat Islam justru tersudut karena menolak Pancasila.
Kedua, menurut Din, paruh kedua abad 20 berkembang pikiran konservatif yang ingin menawarkan kembali konsep negara Islam. Ini karena ideologi dunia dianggap gagal menciptakan dunia yang baik. Maka muncul ide khilafah, dalam Bahasa lain disebut dengan an-nizham al-Islami.
Ketiga, di Indonesia muncul pendistorsian tafsir Pancasila dengan memberikan interpretasi artifisial kedalam praktek bernegara, khususnya dalam ekonomi dan politik. Amandemen UUD 1945 telah membawa kepada tafsir yang secara diametral berbeda dengan tafsir otentik para pendiri bangsa. Pancasila ditafsirkan secara berbeda. Contohnya, jika sila ke-5 dikaitkan dengan realitas ekonomi, maka yang terjadi adalah jauh panggang dari api.
Baca Juga: Saad Ibrahim: Negara Pancasila, Tidak Cukup Darul Ahdi Was Syahadah
Selain daripada itu, Din menambahkan bahwa muncul praktek capital violence (kejahatan pemodal), dimana segelintir orang menguasai aset nasional. Dan sekelompok elit ini berani mendiktekan kepentingan mereka melalui politik.
Istilah Darul Ahdi Was Syahadah
Maka, atas dasar ketiga hal diatas, Din mencetuskan konsep darul ‘ahdi was syahadah. Menurutnya, Konsep ini belum pernah disebut oleh literatur pemikiran politik Islam. Konsep ini belum ada presedennya.
Sebenarnya pada masa lampau sudah ada istilah seperti darul islam, darul kufri, darul fasiq, darut tauhid, darus syirk, darul amni, termasuk darul ‘ahdi. Namun, konseptualisasi dan kategorisasi negara di era pra-modern sangat berkaitan dengan konteks politik waktu itu. Darul Islam dan darul harb adalah respon terhadap pernyataan perang dari dua adikuasa dunia waktu itu: Romawi dan Persia. Dan umat Islam memberikan mekanisme pertahanan diri.
Din melanjutkan, “Argumen politik teritorial seperti itu kemudian mendapat legitimasi teologis dari ayat-ayat Alquran, yang pada sisi lain sejalan dengan ekspansi teritorial umat Islam. Semua bangunan teori politik ini tidak terpisahkan dari teori relasi agama dan politik.” Ucapnya.
Pemikiran politik Islam –dimana Din adalah guru besar dalam bidang tersebut- memang sejatinya merupakan pencarian intelektual terhadap corak relasi Islam dan politik serta model ideal negara menurut pandangan Islam. Pencarian itu bertumpu pada maqasid Syariah hifdzu ad-diin.
Langkah Strategis Kebangsaan
Menurut Din, rancang bangun negara Indonesia merupakan pengejewantahan dari pemikiran politik ahlus sunnah wal jamaah, yang memiliki watak wasathiyyah (tengahan, moderat). Maka, menurut ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 ini, perlu dilakukan beberapa langkah strategis.
Pertama, menjauhkan pancasila dari upaya monopoli kepemilikan dan penafsiran sepihak. Hal itu tidak hanya bertentangan dengan esensi Pancasila itu sendiri, namun juga dapat membuyarkan kesepakatan dasar negara. Pancasila boleh ditafsirkan oleh kelompok tertentu, dengan syarat tidak menyimpang dari tafsir umum.
Pancasila juga harus dijauhkan dari praktek instrumentalis seperti menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mengenyahkan lawan politik. Untuk menguasai negara Pancasila, dengan menyalahi Pancasila itu sendiri.
Kedua, lanjut Din, umat Islam harus mendekatkan Pancasila dan negara Pancasila dengan akar kelahirannya, yaitu agama dan budaya. Jelas sila pertama berpangkal pada agama. Maka, Pancasila dan agama adalah setali dua uang. Keduanya bersahabat dekat. Dan oleh karena itu Pancasila harus didekatkan kepada agama, dan agama harus didekatkan dengan Pancasila.
Dalam hal ini Din membacakan syair yang ia buat sendiri, yang berbunyi:
Dengan agama Pancasila akan tegak,
Tanpa agama negara Pancasila menjadi retak.
Dengan agama Pancasila akan kuat,
Tanpa agama negara Pancasila akan kualat.
Ketiga, sebagai ideologi negara, Pancasila perlu diperbuatkan, tidak hanya dikatakan. Maka, nilai-nilai Pancasila perlu disenyawakan dengan proses pembangunan nasional. Salah satu agenda mendesak Indonesia adalah penyesuaian sistem nasional, khususnya dalam bidang politik ekonomi, dengan nilai-nilai Pancasila.
Inilah yang disbut dengan darus syahadah. Darus syahadah berarti masing-masing harus berbuat dan mengisi, namun harus mendapat nisbah yang adil. Din menganggap bahwa Indonesia sedang mengalami ketidakadilan. Umat Islam yang berjasa besar terhadap negara ini, namun mendapatkan nisbah yang kecil.
reporter: Yusuf R Yanuri