Melihat dari data Sensus Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003-2006 rumah tangga miskin di Indonesia menghabiskan 12% untuk membeli rokok dan 7% bagi keluarga kaya. Pengeluaran tersebut 17 kali lebih banyak pengeluaran untuk daging. 15 kali lebih banyak pengeluaran untuk biaya kesehatan. 9 kali lebih banyak pengeluaran untuk biaya pendidikan dan 5 kali lebih banyak pengeluaran untuk biaya susu dan telur. Bila di rupiahkan rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia menghabiskan Rp 103.356/bulan pada tahun 2003. Dan meningkat menjadi Rp 117.624/bulan di tahun 2006.
Dari data tersebut dapat di katakan bahwa rokok menjadi kebutuhan pokok dari masyarakat di Indonesia. Di samping itu industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi, dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor yang di kategorikan sebagai kearifan lokal ini meliputi penyerapan tenaga kerja. Pendapatan negara melalui cukai serta menjadi komoditas penting bagi petani dari hasil perkebunan berupa tembakau dan cengkeh
Dari hasil olahan tembakau Kementerian Keuangan mencatat telah memberikan kontribusi dari harga rokok melalui cukai hasil tembakau (CHT) mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai. Sepanjang kuartal I/2021, realisasi penerimaan cukai Rp49,56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Sedangkan CHT 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target.
Dibalik kontribusi yang diberikan oleh cukai hasil tembakau yang diberikan oleh negara ternyata ada persoalan fundamental dibelakangnya. Yaitu diduga terjadi adanya pelanggaran hak cipta terhadap security paper yang di gunakan pada pita cukai rokok. Security paper yang di letakan pada pita cukai rokok adalah berbentuk hologram dengan maksud. Supaya tidak ada penggandaan atau pemalsuan terhadap pita cukai rokok tersebut.
Pemergang Hak Cipta atas security paper pada pita cukai rokok adalah Feybe Fince Goni atas karya cipta Hologramisasi Kinegramisasi Pita Cukai Tembakau (Rokok). Dan kasus tersebut berhadapan dengan korporat besar yaitu PT. Pura Nusapersada yang terjadi perusaaan tersebut juga yang mencetak hologram pada materai, ijazah, hologram di mata uang beberapa negara. Dan hologram-hologram yang menempel pada aspek yang lain untuk security paper.
Dasar dari kasus tersebut diduga PT. Pura Nusapersada yang memproduksi puta cukai rokok berhologram dengan sengaja tidak meminta ijin kepada pemilik hak cipta. Padahal ketika seseorang atau perusahaan melakukan produksi dan apa yang di produksi telah memiliki hak cipta maka wajib untuk meminta ijin. Bila tidak meminta izin maka akan terjadi pelanggaran hak cipta seperti yang telah di atur pada UU RI No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta khususnya pasal 9 ayat 3, yang berbunyi “Setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta di larang melakukan penggandaan dan atau penggunaan secara komersial Ciptaan”.
Dari keterangan pemilik hak cipta hal tersebut telah berlangsung selama 26 tahun kasus pelanggaran hak cipta tersebut berlangsung. Sehingga pemilik hak cipta Feybe Fince Goni menggugat untuk PT. Pura Nusapersada memberikan ganti rugi sebesar 370 milyar rupiah. Hal tersebut berdasar pada UU RI No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 96 Ayat 1 dan 2: (1) Pencipta, pemegang Hak Cipta dan / atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh Ganti Rugi (2) Ganti Rugi sebagaimana di maksud pada ayat (1) di berikan dan di cantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana Hak Cipta dan/atau Hak Terkait.
Dengan kasus tersebut telah membuka mata kita bersama sebagai rakyat Indonesia bahwa ada orang yang memiliki ide gagasan yang brilian dengan originalitas di tambah lagi dapat bermanfaat bagi banyak orang. Namun realitasnya tidak di berikan hak secara adil yang seharusnya Ia terima ketika seseorang berhadapan dengan sesuatu kekuatan yang besar. Padahal hal tersebut telah di lindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat 1 yaitu “Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”. Sehingga dengan dasar Hukum tersebut semua orang sama di mata hukum tidak boleh ada Emban cinde emban siladan (tebang pilih) untuk mencapai keadilan yang hakiki.
Editor : Izul Khaq