Oleh: Ahmad Husni Tamrin
Saya awali tulisan ini dengan quote dari Azaki Khairuddin (CEO IBTimes.ID) ketika mengajar di pondok Hajjah Nuriyah Shabran dengan mata kuliah Filsafat Islam “Agama Islam sudah sempurna, paten. Tetapi pemahaman terhadap agama ini dinamis, bisa berubah tergantung masa, tempat dan keadaan” Kira-kira begitu.
Pengembangan pemikiran terhadap ajaran Islam akhir-akhir ini menuju pada pemikiran kritis pada fiqh yang dipandang tidak lagi memenuhi kebutuhan umat sehari-hari. Bahkan ada yang merasa bahwa produk fiqh di masa lalu itu keras dan diskriminatif.
baca juga: Vaksin Terbaik adalah Alquran
Tampaknya fiqh yang ada pada saat ini mempunyai problem-problem yang harus dikritisi lebih mendalam. Sehingga dapat bersua kembali sesuai kebutuhan zaman yang secara kontekstual berbeda dengan zaman di masa fiqh dahulu.
Pemikiran Tekstual
Pemikiran tekstual ialah pemahaman terhadap agama yang terbatas pada teks-teks semata yang ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pemahaman semacam ini, yang sangat ketat, hanya terbatas pada bunyi teks lafadz, seperti aliran Adz-Dzhahiry. Prinsip pemikirannya ialah menjadikan teks Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar agama, menolak bentuk ar-ra’yu dan ijtihad dengan segala bentuknya. Kalau ada sesuatu yang tidak disebutkan dalam teks atau nash dikembalikan pada hukum asal atau istihbab. Sebagai contoh ekstrimnya: pendapat air kencing manusia itu najis, karena ada nash-nya. Sedang air kencing babi itu tidak najis. Karena tidak ada nash-nya.
Ada pula pemahaman tekstual yang lebih luas cara pemahamannya terhadap nash, yakni antara lain aliran Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Aliran-Aliran ini menerima paham luas dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan diperkaya qiyas dan ijtihad. Mengenai paham tekstual dari aliran ini, nash itu mempunyai arti yang tersurat dan tersirat.
Pemikiran Kontekstual
Pemikiran kontekstual ialah pengembangan pemikiran dari pemahaman teks-teks yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik secara terpisah maupun terpadu. Kemudian lebih luas lagi pengembangan kontekstual itu, selain terpadu pada pemahaman teks-teks dalam dalil, juga diperluas dengan ijtihad, termasuk qiyas, seperti yang dikemukakan oleh aliran Hanafiyah dan jumhur ahli ushul fiqh. Dalam perkembangannya pemahaman tekstual yang diperluas menjadi kontekstual ini dapat diketahui dengan melihat pada istilah al-bayan, yang prinsipnya memadukan antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, dan hadits dengan hadist lainnya, dalam memecahkan suatu masalah.
Jika dilihat dari kacamata pengembangan pemikiran dengan ijtihad, dapat saja kontekstual dalam memahami nash untuk semua produk hukum juga dikaitkan dengan apa yang terjadi berdasarkan fenomena alam atau telah menjadi kebiasaan ‘urf dengan prinsip tauhid. Contoh penggunaan ‘urf ini dalam masalah ibadah, ahli fiqh menetapkan lamanya waktu wanita mengalami menstruasi (sedikitnya lahdhatan (sedikit keluar) dan selama-lamanya dua minggu) didasarkan pada kenyataan kebiasaan alamiah yang terjadi pada umumnya.
Kalau diproyeksikan pada praktik masyarakat, pemikiran kontekstual ini adalah pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui teks-teks yang ada secara komperhensif dan dihubungkan dengan hasil pemikiran-pemikiran manusia terhadap kenyataan-kenyataan, baik fenomena alam maupun kemasyarakatan, sebagai penemuan ilmu pengetahuan, contohnya penggunaan metode hisab yang dipakai oleh Muhammadiyah dalam menentukan kalender hijriyah.
Sebab Hukum ‘Illah Al-Ahkam dan Pengembangan Pemikiran
Menurut bahasa ‘illah ialah penyakit, tetapi dapat juga berarti penyebab berubahnya sesuatu. Dalam kajian ushul fiqh,‘illah merupakan permasalahan pokok dalam pembahasan qiyas. Contohnya adalah ketika seseorang melakukan perjalanan di bulan Ramadhan menggunakan pesawat terbang dan tidak menemui kesulitan baik dalam berpuasa maupun melakukan salat. Akan tetapi ia mendapat keringanan rukhsah untuk berbuka dan meringkas qashar salat karena ‘illah hukumnya ada yaitu melakukan perjalanan.
Ta’lil al-ahkam dalam arti pengembangan pemikiran syariat Islam, khususnya hukum Islam, bukan suatu yang berlebihan sekaligus untuk menghadapi perkembangan zaman. Hal ini mengingat dorongan Al-Qur’an, manusia memahami fenomena alam, ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang tersirat di samping ayat-ayat yang tersurat dalm teks-teks Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dari pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang tersirat maupun yang tersurat dapat disimpulkan bahwa Allah mensyariatkan agama mengandung hikmah, maksud dan tujuan. Hikmah dan tujuan dapat dipahami oleh akal manusia.
Ruang Lingkup Maslahah sebagai ‘Illah Hukum
Ahli bahasa mengatakan bahwa kata “maslahah” itu sudah jelas artinya tidak memerlukan penjelasan, karena maksudnya kebaikan untuk kaum muslimin. Di zaman sahabat belum dirumuskan definisi maslahah, tetapi telah diketahui bahwa artinya sesuatu yang baik.
Karena baik dapat ditetapkan sebagai sesuatu yang dapat dilakukan. Contoh kongkrit dalam hal ini adalah usulan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Al-Qur’an karena di kala perang Yamamah banyak kaum muslimin yang mati syahid dan mereka itu penghafal Al-Qur’an, karena hal itu mengandung kemaslahatan.
Dalam kemaslahatan ulama membagi menjadi beberapa seperti Maslahah Mu’tabaroh ialah maslahat yang disebutkan dalam nash contohnya dalam surat Al-Maidah ayat 6 yang berisi perintah berwudhu bagi orang yang akan melakukan salat. Maslahah Mursalah ialah suatu perbuatan atau aktivitas yang baik atau bermanfaat tetapi tidak diperintahjuga tidak dilarang, yang baik dan bermanfaat itu dipahami oleh akal. Seperti pencatatan perkawinan dan kerapihan administrasi.
Maslahah Mulghoh ialah yang tampaknya ada kemaslahatan tetapi bertentangan dengan nash. Contohnya pendapat yang membolehkan nikah wanita muslimah dengan pria non-muslim. Dari segi dunia dapat saja dianggap sama, seperti dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam urusan dunia harus memperlakukan mereka dengan baik. Tetapi soal aqidah atau keyakinan bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Pengembangan pemikiran tekstual dan kontekstual dengan kenyataan dalam masyarakat semestinya tidak sampai menentang nash. Karena kalau demikian, dapat saja akhirnya di satu saat perkawinan pria dengan pria, wanita dengan wanita tidak dilarang, karena kalau melarang berarti bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Yang jelas pengembangan pemikiran jangan sampai memasukkan Maslahah Mulghoh.
Tidak Kurang dan Tidak Lebih La Ifrath wa La Tafrith
Istilah Ifrath yang artinya meninggalkan sesuatu, sehingga hasilnya kurang seperti yang seharusnya. Sedangkan sebaliknya, tafrith artinya melampaui batas. Di antara keduanya adalah i’tidal (lurus). Artinya seimbang tidak meninggalkan wahyu dan menggunakan akal pikiran, tetapi tidak melampaui batas pemikiran manusia, karena manusia hanya mengetahui lahiriah dan lengah terhadap kehidupan akhirat (Qs. Ar-Rum/30:7).
baca juga: Farag Fouda: Metode dan Kritik Sumber Sejarah
Ada hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan ketika hendak melakukan perubahan dan mengaplikasikan aturan Islam serta membangun masyarakat muslim seperti yang diinginkan dengan memperhatikan hal-hal yang mendesak (darurat). Ad-dharuratu tubihu al-mahdhurat”, yang artinya keadaan yang mendesak membuat hal yang dilarang menjadi boleh. Kemudian melakukan pencegahan kerusakan yang lebih besar dan melakukan mudhorot yang paling ringan.
*) Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS, Prodi Hukum Ekonomi Syariah