Ada yang pernah jadi santri? Seperti yang kita tahu, santri adalah orang yang mencari ilmu di suatu tempat, baik itu di pondok pesantren, asrama, atau yang lainnya. Ada dua jenis santri di dalam pondok, sebut saja santri kalong dan santri menetap. Santri kalong adalah santri yang sekolah atau belajar di suatu pondok atau sekolahan, tetapi dia tidak menetap. Sedangkan santri menetap merupakan santri yang memang mencari ilmu di madrasah atau pondok pesantren dengan menetap di tempat tersebut.
Dari dulu hingga saat ini santri adalah seorang yang harus tawadhu’ terhadap gurunya, ustadz atau ustadzah dan juga pak kiai. Di pesantren, pelajaran tentang akhlak memang didahulukan. Akhlak adalah hal yang paling utama dalam mencari ilmu dengan para kiai, ustadz dan beberapa guru yang ada di pondok pesantren. Santri menganggap jika para kiai adalah sumber barokah bagi dirinya.
Istilah barokah adalah kata sifat yang dari dulu memang tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan keberadaannya. Mengabdi atau belajar di pondok pesantren itu seperti rebutan barokah dari para kiai, guru, dan ustadz yang ada di dalamnya. Pembaca pasti sudah tidak asing dengan para santri yang rebutan sisa air di gelas yang telah diminum pak kiai pada waktu selesai mengaji. atau santri yang berebut menata sandal pak kiai. Ya, Santri percaya bahwa sisa air minum dan menata sandal pak kiai adalah barokah yang memberikan kebaikan.
Hal ini tidak terlepas dari contoh yang diberikan KH. Hasyim Asy’ari juga KH. Ahmad Dahlan. Kebiasaan dua tokoh tersebut waktu mondok dulu yang paling disorot adalah mengenai kebiasaan dalam menata sandal kiainya sehabis shalat berjamaah di masjid.
Kiai Hasyim Asy’ari dan para santri lainnya mempunyai kebiasaan seperti ini, yaitu berebut dalam menata sandal pak kiai. Hal ini bertujuan agar ketika turun dari masjid, pak kiai tidak usah menata atau bahkan mencari sandal yang kemungkinan bercampur dengan sandal para santri (Sanusi, 2013).
Dari sejak nyantri di pondok pesantren Darat, di Semarang, di bawah asuhan kiai Sholeh Darat, kiai Hasyim semakin terbiasa berkhidmat dan berbakti kepada kiainya bersama Muhammad Darwis atau nama kecil KH. Ahmad Dahlan. Kiai Hasyim dan KH. Ahmad Dahlah berlomba-lomba dalam menata sandal para kiai setelah shalat berjamaah maupun setelah mengaji. Hal itu membuat mereka berdua menjadi santri istimewa di mata kiai Sholeh Darat.
Menata sandal orang yang dianggap kiai konon juga terjadi di zaman Rasulullah Muhammad SAW. Di kisahkan ada seorang pemuda berusia belasan tahun, namanya Salman. Ia selalu datang ke masjid lebih dahulu dari Nabi Muhammad. Saat Nabi SAW masuk ke masjid, ia selalu bergegas merapikan juga membalik sandal yang dipakai Rasulullah SAW. Ia melakukan itu setiap hari sehingga membuat Rasulullah SAW penasaran.
Hingga pada suatu saat Rasulullah tahu bahwa itu adalah perbuatan Salman, lantas Rasulullah Muhammad SAW mendoakan Salman menjadi orang yang ahli dalam ilmu fiqh. Benar saja, ketika ia beranjak dewasa, Salman menjadi orang yang ahli dalam ilmu fiqh di kalangan para ulama’ (Bumidoc.blogspot.com, n.d.).
Dari kisah yang dicontohkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan dulu nyatanya masih diteruskan oleh para santri pondok. Begitulah hikmah menjadi seorang murid dari kiai. Hal yang kelihatannya sepele, yaitu menata sandal saja bisa mendatangkan barokah, apalagi sikap-sikap tawadu’ lain. Wallahua’lam bissawab…
Editor: Anisa K.