Pesantren menjadi lembaga tertua yang masih bertahan hingga sekarang. Eksistensi pesantren sangatlah fundamental dalam bernusantara membangun negeri. Selain mempelajari adab, pesantren mengajarkan santrinya untuk meningkatkan kemampuan bermuamalah, menjadi disiplin serta mandiri. Pesantren sejak dahulu banyak menghasilkan tokoh besar dalam membawa cita-cita bangsa. Sebagai contoh emansipasi RA Kartini santri dari KH Sholeh Darat, tokoh perumus Pancasila sila pertama KH Wachid Hasyim dari santri dari KH Hasyim ‘Asyari.
Maka dari itu untuk mengembalikan marwah perjuangan dan revolusioner dalam membangun bangsa. Sudah selayaknya, pesantren harus mampu melakukan inovasi tanpa mengubah substansi dari nilai luhur pesantren. Asal mula nama dari pesantren adalah proses dari perjuangan para ‘alim Ulama menyebarkan islam melalui Asimilasi sosio- kultural. Dari dua kebudayaan yakni Hindu dan Budha. Pendapat dari. Istilah “pesantren” berasal dari kata pe-santrian, kata santri berarti murid(Shastri) dalam bahasa jawa. Istilah pondok berasal dari bahasa arab yakni “Funduq” yang berarti penginapan. Masyarakat Aceh menyebutnya “dayah”.
Jika dahulu pesantren melahirkan banyak tokoh- tokoh besar dan menjadi orang mulia, sudah saatnya pesantren selain menjadi Guardian of Ethic. Menjaga moral juga mengembangkan skill dan Entrepreneur, peka terhadap digitalisasi. Karena tujuan pendidikan menurut KI Hajar Dewantara adalah melahirkan Insan manusia yang bebas serta merdeka. Dalam tujuan bebas berkreativitas, merdeka artinya mampu terbuka terhadap arus zaman. Maka oleh itu kali ini ada pandangan dari penulis untuk memperbaharui sistem tarbiyah tradisional pesantren.
Sistem Tarbiyah Tradisional Progresif
Sistem Tradisional adalah sistem yang pengajarannya masih berpola dengan berlandaskan text yakni “Kitab Kuning” dan mualim sebagai standar keilmuan tersebut dengan beberapa metode, adapun beberapa metodenya yakni;
a). Sorogan dan Wetonan Millennial
Sorogan merupakan metode individual untuk meningkatkan intelektual santri. Santri harus mampu menganalisis dan mentadaburi makna yang tersirat secara lughowi dan kontekstual. Santri akan berhadapan dengan gurunya untuk membaca kitab, banyak peneliti yang berspekulasi bahwa kurang efisien. Karena hanya melatih kesabaran dan keuletan seorang santri dan mualim.
Sedangkan Wetonan atau Bandongan merupakan metode pembelajaran umum dalam pesantren tradisional. Metode ini menjadi metode yang cukup efektif, yakni seorang mualim membedah kitab atau menjelaskan makna. Santri turut serta memaknai kitab sembari membuat catatan kecil.
Metode ini merupakan metode yang paling kuno sejak era Wali- wali terdahulu. Metode ini menawarkan pelatihan membaca kitab dari Ilmuwan seperti kitab kedokteran Ibnu sina Al Qanun Fi At Tib, kitab matematika Al Khawarizmi AL Jabar wa Muqabalah, kitab Sosiologi Ibn Khaldun, Muqodimah, serta masih banyak keilmuan akademik dari Ilmuwan muslim yang semestinya sebagai santri kita kaji, tidak hanya kitab kuning dari keilmuan syariah saja.
Dengan begitu santri juga harus kompeten dalam memecahkan masalah umat yang terjadi. Selain mengambil sudut pandang agama, santri juga harus mumpuni dalam bidang keilmuan lainnya. Dalam metode ini perlu adanya penguatan literasi pesantren, tentang buku- buku yang lebih umum. Misalnya buku tentang filsafat, kemudian santri membaca mengajukan pertanyaan satu persatu, kemudian mualim meluruskanya.
b). Muhawarah Modern
Muhawaroh sebenarnya merupakan metode pertengahan terbaru, yang mana santri memiliki waktu satu hari untuk bercakap- cakap berbahasa arab (Conversation). Bertujuan untuk mengembangkan skill lughowi seorang santri, dengan aspek kulturisasi yakni membudayakan bahasa. Pesantren besar setengah modern sering menggunakan metode ini. Dalam metode ini kita harus memperluas bahasa, jika bahasa yang sebelumnya arab dan inggris, kedepannya bisa bahasa lainnya. Misalnya jerman, perancis, Persia atau bahasa sulit lainya. Dengan begitu santri akan menjadi kader dakwah yang progresif dalam menyebarkan islam menyeluruh untuk dunia
c). Mudzakaroh dan Ta’lim atau Sawir
Mudzakarah dan Ta’lim pada substansi keduanya sama, yakni menggelar halaqoh atau perkumpulan untuk mengkaji bab tersebut. Namun perbedaanya yakni ta’lim lebih spesifik kepada pengajian untuk umum oleh asatidz pengajar, dan mudzakarah sebagai bahan diskusi ilmiah atas ilmu yang dari ustadz atau kyai. Metode ini semestinya bisa berkembang dalam bentuk pengkajian keilmuan praktis, seperti pelatihan kepenulisan, hukum, desain, wirausaha dan lainya. Tujuanya adalah santri harus dapat berguna untuk masyarakat, membuka peluang kerja untuk sekitar memajukan kreativitas.
Selain itu dalam dunia pesantren perlu juga membentuk satgas pencegahan pelecehan seksual. Pelecehan seksual menjadi isu kontemporer yang darurat. Sehingga penting untuk mensosialisasikan pendidikan seksual yang lebih lengkap. selain yang terdapat dalam kitab Turats seperti Qurotul Uyun, Fathul Izzar, dan lain sebagainya, untuk menambah wawasan kita sebagai santri.
Inovasi Progresif
Maka sudah saatnya pesantren harus mempertahankan metode aslinya dan mengadaptasi dengan perkembangan sekitar. Sudah saatnya kita merujuk kepada periodesasi pemikiran manusia. Sudah waktunya untuk beranjak pada tahapan keempat yakni tahapan untuk beranjak dari ilmu ke integrasi ilmu, atau tahapan awal takamuli (penyempurnaan). Awal Takamuli berusaha mencoba menggandengkan tanpa memisah-misah tentang antara agama, science, filsafat. Dengan tujuan untuk mengembalikan kejayaan islam masa Golden Of Age Islam. Ketika masa islam maju dengan ilmu pengetahuan dan Agama serta filsafat.
Tetaplah menjadi santri yang iqro’. Iqro’ dengan diri sendiri, iqro’ dengan agama, iqro’ dengan masalah sosial, iqro’ dengan ilmu pengetahuan sekian.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwa Min Thariq
Editor : Iefone Shiflana Habiba