Sikap beragama seseorang atau sekelompok orang hari-hari ini seringkali diklasifikasikan dengan istilah kanan dan kiri. Bahkan, klasifikasi tersebut menggunakan diksi yang lumayan menyeramkan, yaitu “ekstrem”. Diksi ini berbeda dengan klasifikasi ideologi politik yang umumnya ditemukan di Barat dengan kata “sayap” untuk menggambarkan dua kutub yang berbeda.
Kata “kanan” sendiri digunakan untuk menggambarkan keberagamaan seseorang atau sekelompok orang yang cenderung konservatif dan klasik. Umumnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kelompok Islam yang bersikap ketat dalam memahami dan mengamalkan teks-teks keagamaan.
Sedangkan, kata “kiri” menggambarkan keberagamaan kelompok Islam yang cenderung melonggarkan banyak ketentuan yang terdapat pada teks-teks keagamaan. Tak jarang, kelompok ini mengadopsi dan bersikap permisif pada perilaku serta pemikiran negatif dari kebudayaan dan peradaban di luar Islam.
Penggunaan kedua istilah ini, lebih-lebih ditambah kata “ekstrem” menurut saya adalah hal yang justru menimbulkan permasalahan tersendiri. Klasifikasi sikap keberagamaan umat yang begitu variatif dengan penggunaan istilah ini patut dipersoalkan dan ditinjau ulang.
Klaim Kebenaran Sepihak
Meskipun kelompok Islam yang dikategorikan sebagai ekstrem kanan-kiri ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok di antara keduanya, tapi sebenarnya masing-masing memiliki kesamaan yang cukup mendasar. Kesamaan tersebut adalah posisi mereka yang berada di luar arus mainstream keberagamaan umat Islam.
Patut diakui bahwa klasifikasi dengan menggunakan istilah ekstrem kanan-kiri ini memunculkan satu segmen dalam internal umat Islam. Segmen yang dimaksud adalah kelompok yang “bukan kanan-kiri” yang sering digambarkan dengan istilah “moderat” atau pertengahan.
Kemunculan segmen ini sendiri juga problematis, sebab seakan terjadi klaim kebenaran sepihak oleh kelompok ini yang sebenarnya juga ditemukan di kelompok yang diklasifikasikan sebagai ekstrem kanan-kiri. Padahal, apapun itu, bentuk klaim kebenaran sepihak ini adalah satu bentuk kemunduran tersendiri dalam kehidupan kita dalam berumat.
Bahkan, hal ini makin destruktif kala segmen yang disebut moderat ini memiliki akses terhadap kekuasaan atau posisi menjadi interpretasi umat Islam. Sebab, itu menandakan terjadinya ketimpangan relasi kuasa yang alih-alih mendorong munculnya kolaborasi di internal umat, malah kompetisi yang merugikan umat itu sendiri.
Untuk lebih menggambarkan problem yang muncul dengan klasifikasi sikap keberagamaan umat pada istilah ekstrem kanan-kiri. Kita akan mencoba melakukan pembacaan bersama terhadap sirah dari dua sahabat Nabi yang mulia. Yaitu Abu Dzar Al-Ghifari dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Perjalanan Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar Al-Ghifari merupakan sahabat Nabi yang terkenal jujur, sederhana, dan sikap wara’ yang teramat sangat. Dikisahkan saat zaman kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin mengalami kemajuan ekonomi yang pesat. Keadaan ini membuat munculnya perilaku memperkaya diri sendiri yang bahkan dilakukan oleh pejabat pemerintahan saat itu.
Abu Dzar Al-Ghifari yang menyaksikan keadaan demikian pun tidak tinggal diam. Beliau lantas mengingatkan untuk hidup sederhana dengan melakukan orasi-orasi di hampir seluruh Madinah. Tindakan tersebut bahkan membuat beliau harus dipindah ke Suriah di bawah pengawasan Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang kala itu menjabat gubernur di sana.
Dipindahnya Abu Dzar Al-Ghifari ke Suriah tidak membuat kebiasannya mengingatkan untuk hidup sederhana dengan berkeliling sambil berorasi terhenti. Hal ini membuat ia dikembalikan ke Madinah. Sekembalinya ke Madinah, Abu Dzar Al-Ghifari pun kemudian menghadap Khalifah Utsman. Singkat cerita, Khalifah Utsman pun memerintahkan Abu Dzar untuk diasingkan di padang pasir.
Melalui kisah ini, menarik untuk dicermati mengenai sikap dan pendapat Abu Dzar bahwa seharusnya seorang muslim cukup mengambil dari pendapatannya sebanyak yang ia butuhkan untuk mencukupi dirinya dan keluarganya sendiri. Pendapat Abu Dzar ini berbeda dengan arus mainstream sahabat saat itu.
Pertanyaan yang perlu kita jawab kemudian adalah “apakah Abu Dzar Al-Ghifari dengan demikian dapat kita sebut sebagai seorang ekstrem kanan?”
Kisah Mu’awiyah bin Abu Sufyan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah seorang sahabat yang terkenal sebagai penulis wahyu sebab kejujuran yang dimilikinya. Selain itu, Mu’awiyah juga dikenal sebagai seorang negarawan dan politikus ulung. Bahkan, Nicholsan dalam bukunya, A Literary History of the Arabs menulis. “Mu’awiyah adalah seorang diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Perancis yang terkenal itu.”
Salah satu kisah tentang Mu’awiyah yang mungkin banyak tersebar di tengah kaum muslimin adalah kala ia memimpin gerakan untuk menuntut pembalasan atas darah Utsman bin Affan. Gerakan ini bahkan sempat membuat beberapa sahabat saling berperang, salah satunya dalam perang Shiffin antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Selain kisah mengenai tuntutan pembalasan darah Utsman, Mu’awiyah juga dikenal melalui kebijakannya menunjuk putranya, Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah pengganti dirinya. Kebijakan ini lantas mengubah ketata negaraan Islam saat itu ke bentuk monarki.
Dua kisah singkat tentang kiprah Mu’awiyah ini menarik untuk dicermati. Mu’awiyah dengan demikian bisa dibilang memiliki sikap dan tindakan yang cenderung mengarah ke apa yang disebut orang hari ini sebagai “progresif revolusioner”.
Selain itu, kebijakannya menunjuk putranya sebagai khalifah mencerminkan adopsi terhadap budaya yang dianggap negatif dari luar Islam. Kemudian, yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah “apakah dengan demikian Mu’awiyah bin Abu Sufyan dapat kita klasifikasikan sebagai seorang ekstrem kiri?”
Problematika Istilah Ekstrem Kanan-Kiri
Pertanyaan yang dimunculkan di akhir kedua kisah tentang sikap keberagamaan dari dua sahabat Nabi tersebut perlu kita pikirkan. Apabila kedua sahabat Nabi dengan sikap keberagamaan yang demikian kemudian kita klasifikasi sebagai “kanan” maupun “kiri”.
Bukankah kita secara tidak langsung “memvonis” keduanya sebagai seorang yang tidak moderat? Padahal, telah jelas bahwa seluruh sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia yang telah dijamin surga.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. 9: 100)
Pun kisah yang dicantumkan barulah kisah di kalangan sahabat Nabi, belum pula kisah-kisah tentang sikap keberagamaan yang berbeda dari arus mainstream umat Islam dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Padahal, kedua kalangan ini juga merupakan kalangan yang memiliki kemuliaan dalam Islam.
Akhirnya, melalui kisah dua sahabat Nabi tadi, setidaknya mendorong kita untuk memikirkan ulang penggunaan istilah ekstrem kanan-kiri dalam kegiatan klasifikasi terhadap sikap keberagamaan kelompok Islam tertentu.
Sebab, istilah ekstrem kanan-kiri cenderung mengarah kepada penyalahan terhadap kelompok yang diklasifikasikan sebagai bagian darinya dan klaim sepihak kebenaran oleh pihak yang selama ini menyebut diri mereka sebagai “moderat”.
Editor: Akbar Syifa Nursyam