Dalam kitab Nashooihul ‘Ibaad karya Al-Imaam Al-‘Allaamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani at-Tanari asy-Syafi’I atau lebih dikenal dengan nama Syekh Nawawi Al Bantani diceritakan, bahwa dalam sebuah mimpi seseorang ‘Arif Billah, Imam Assyibli (Hidup sezaman dengan sufi martir Al-Hallaj dan sama-sama berguru kepada Imam Junaidi A-l-Baghdadi) yang telah wafat itu ditanya oleh Allah Ta’ala terjadi dialog :
“Tahukah kamu, apa yang membuat-Ku mengampuni dosa-dosamu?”
“Amal shalehku.” jawab Assyibli
“Bukan.”
“Ketulusanku dalam beribadah.”
“Bukan.”
“Ibadah hajiku, atau puasaku, atau shalatku.”
“Juga, bukan.”
“Perjalananku menuju orang-orang soleh dan untuk menimba ilmu dari mereka.”
“Bukan.”
“Ya Allah, lantas karena apa?”
Kemudian Allah menjawabnya dengan mengacu pada kisah bertemunya Imam Assyibli dengan seekor kucing malang di pinggir jalanan kota Baghdad, kota yang terkenal dengan julukan Alfu Lailah Walailah (Negeri 1001 malam). Kucing kecil dan malang itu lemas lunglai tidak berdaya karena begitu ganasnya hawa dingin, kemudian dengan bersusah payah berusaha menyudut ke suatu tempat dengan harapan kondisi bisa membaik.
Imam Asayibli yang tergerak hatinya lantas segera memungut binatang malang itu, kemudian menghangatkannya di dalam jubah yang ia kenakan. “Lantaran kasih sayangmu kepada kucing itulah, Aku memberikan rahmat kepadamu,” kata Allah.
Masih dalam kitab yang sama diceritakan juga seorang sufi sekaligus filsuf islam yang bernama Imam Al Ghazali. Syekh Nawawi Al Bantani menulis cerita seseorang yang berjumpa dengan Imam Al Ghazali dalam sebuah mimpi.
“Bagaimana Allah memperlakukannmu?” orang tersebut bertanya
Imam Al Ghazali kemudian menjawab dengan mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia bawa, Al Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu persatu amal ibadah yang pernah ia jalani selama hidup di dunia. Ternyata Allah menolak berbagai amal ibadah Imam Al Ghazali kecuali satu kebaikannya, yaitu ketika bertemu dengan seekor lalat.
Diceritakan suatu saat sang Imam yang tengah asyik dan sibuk menulis kitab hingga seekor lalat mengusiknya, lalat ini kelihatan haus dan tinta di depan sang imam menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan kepada si lalat untuk melepas haus dari tintanya itu. “Masuklah bersama hambaku ke surga,” kata Allah kepada Imam Al Ghazali dalam kisah mimpi seseorang itu.
Dari kedua hikayat di atas, kita bisa memetik pendar-pendar kebijaksanaan dan pendidikan hidup yang sangat berharga tentang begitu dahsyatnya pengaruh hati yang dipenuhi dengan kasih sayang dan ketulusan, yang bersih dari sifat takabur dan egoisme.
Hidup dan kehidupan kita di dunia bukan semata untuk kepentingan diri kita sendiri, manusia adalah zoon politicon atau mahluk sosial. Kasih sayang Imam Assyibli dan Imam Al Ghazali yang begitu luas dan tidak terbatas bukan hanya ditujukan kepada sesama manusia, bahkan kepada binatang yang terkadang tidak kita sukai bahkan menurut medis sangat tidak baik untuk kesehatan, yakni seekor kucing dan lalat, menjadi pelantara dan membawa kedua tokoh dengan jutaan pengikut ini pada kemuliaan yang sejati.
Secara tersirat, dari kedua hikayat di atas kita bisa mengambil makna bahwa mulia atau hinanya manusia di hadapan manusia lain utamanya di hadapan sang pencipta bukan karena status sosial yang disandangnya, bukan karena gelar yang ada di depan atau di belakang namanya melainkan karena apa yang diperbuatnya (nilai ketaqwaan) dan kemanfaatannya bagi semua mahluk hidup.
Allah SWT berfirman, “Inna akromakum ‘indallohi atqookum” (sesungguhnya yang mulia di hadapan Allah itu adalah yang bertaqwa) Q.S Al Hujurot ayat 13. Dalam pandangan penulis sendiri yang menjadi tolak ukur kebaikan manusia di hadapan Tuhan adalah nilai ketakwaan sedangkan tolak ukur kebaikan manusia di hadapan sesama manusia adalah nilai kemanfaatan.
Logika sederhana kita akan berasumsi, menolong binatang saja bisa mendapatkan kemuliaan, apalagi kalau menolong dengan sesama manusia. Khairunnaas anfa’uhum linnaas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi kemanfaatan bagi manusia lainnya), begitu sabda sang Nabi kita semua.
Kedua hikayat ini bukan berarti kita harus berpikiran pesimis atas amal-amal ibadah kita selama ini, justru kita harus semakin yakin pada apa yang telah difirmankan Allah dalam surat Az-Zalzalah yang berbunyi, “famay y’amal mitsqoola dzarrotin khoiroy yaroh” (maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya ia akan melihat balasannya). Maka sekecil apa pun perbuatan baik kita apalagi ada nilai ibadahnya sudah barang pasti akan ada balasan dari Allah SWT.
Selanjutnya dalam ranah sosial, semua agama mengajarkan cinta dan kasih sayang, agama Islam utamanya tidak hanya memerintahkan manusia untuk beribadah dalam dimensi vertikal (hablum minallah) namun juga dimensi horizontal (hablum minannaas). Keselarasan ibadah ritual (mahdah) dan ibadah sosial (ghair mahdah) ini akan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang sejati.
Salah satu ajaran islam yang mendatangkan keridhoan Allah dan kemaslahatan bagi kehidupan sesama manusia adalah cinta dan kasih sayang. Rosulullah SAW memerintahkan umatnya untuk saling menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini, salah satu dari sekian hadits Nabi tentang kasih sayang yang paling mashur adalah “Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fissamaai” (sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu).
Editor : Irawan