Indonesia telah menjadi negara yang menganggap penting tentang isu Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Hal tersebut dilatarbelakangi keharusan atas perlindungan akan hak atas setiap pemikiran, karya, kreatifitas dan inovasi seseorang dari upaya-upaya plagiarisme, pemalsuan dan adaptasi secara ilegal yang di lakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Minimnya kesadaran tentang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di masyarakat menyebabkan marak terjadinya pelanggaran HAKI, mulai dari korporasi besar, pengusaha, rektor, hingga dosen.
Pelanggaran HAKI di Dunia Kampus
Di dunia kampus misalnya, memafaatkan relasi kuasa dosen-mahasiswa, beberapa oknum dosen melakukan plagiarisme, mengklaim tulisan mahasiswa sebagai karya tulisnya. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan dana penelitian atau untuk mengejar kredit poin status guru besarnya. Budaya plagiarisme ini diperparah dengan jual beli gelar dan jabatan yang terjadi di lingkungan Kampus.
Mau tidak mau, karya mahasiswa atau dosen lainnya menjadi batu loncata, tentu hal ini merusak integritas dunia akademik di Indonesia. Pada dunia bisnis, persoalan HAKI menjadi suatu yang penting. Sebab kreatifitas menjadi elemen penting dari produk yang dikomersilkan. Tak jarang pelanggaran hak cipta sering terjadi.
Misalnya Kasus pelanggaran hak cipta ojek online yang dilakukan gojek atau kasus hologram pita cukai rokok yang dilakukan PT. Pura Nusa Persada, menambah sederet kasus perusahaan besar yang melakukan pelanggaran hak cipta. Ditambah lagi dengan penegakan hukum yang tebang pilih di negeri ini, semakin mempersulit upaya melindungi hak kekayaan intekektual sebagai hak dasar yang terberi.
Hak Kekayaan Intelektual Menjadi Perhatian Nasional dan Internasional
Semua itu menjadi penting menyoal tentang HAKI karena telah menjadi suatu aturan yang termaktub dalam UU No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) atau persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Dengan adanya undang-undang tersebut maka persaingan dagang secara internasional bekerja secara bebas. Maka perlu adanya peraturan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual dengan dasar untuk melindungi karya orisinil dari masyarakat.
Menelisik dari pasal 4 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Kekayaan Intelektual memiliki hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Kedua hak tersebut merupakan hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta/pemegang hak cipta sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta.
Kemudian HAKI merupakan “benda bergerak tidak berwujud” di dalam sistem hukum dengan dasar bahwa “untuk mewujudkan suatu ide-ide atau gagasan dalam bentuk wujud ciptaan diperlukan inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian” seperti yang sudah dipaparkan pada pasal 1 butir 3 UU Hak Cipta.
Sejak tahun 2015 hingga tahun 2021 pemerintah Indonesia telah melakukan penangan 1.184 perkara terkait pelanggaran hak dan kekayaan intelektual dari hasil laporan dari Kabareskrim Polri Agus Andriyanto (diliput oleh Bisnis.com, 6 Oktober 2021). Dan 243 kasus yang di tangani adalah tentang kasus hak cipta. Akhir-akhir inipun sedang viral di sosial media tentang kasus perkara gugatan sengketa tentang hak cipta yang menyangkut perusahaan- perusahaan besar baik nasional maupun multinasional. Seperti perusahaan Go-Jek yang digugat oleh Hasan Azhari, Geprek Bensu yang menggugat PT Ayam Geprek Benny Sujono, PT Gudang Garam Tbk yang melayangkan gugatan kepada Gudang Baru dan Feybe Fince Goni, perorangan yang menggugat PT Pura Nusa Persada dan banyak lagi yang lain.
Kasus yang Jarang Diperhatikan : Perseorangan vs Perusahaan Besar
Kasus perkara persengkataan hak cipta bukan hanya terjadi antara perusahaan namun juga terjadi antara perseorangan dengan perusahaan. Namun kasus semacam ini, belum mendapatkan perhatian dari masyarakat. Selain tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat, kasus persengketaan hak cipta menjadi tidak berimbang ketika perorangan harus dihadapkan dengan korporasi besar.
Masyarakat harus memiliki kesadaran hukum untuk melihat realitas yang sebenarnya dibalik peristiwa hak cipta. Di dalam kasus persengkataan hak cipta antara perusahaan dan perseorangan yang terjadi didasari adanya adaptasi terhadap hak cipta yang di miliki oleh pencipta.
Adaptasi merupakan mengambil sebagian atau keseluruhan atau bagian subtansial atas karya tulis atau menggunakan konsep yang terdapat pada karya tulis untuk di jadikan sebuah produk tanpa seizin hak cipta. Secara subtansial hal tersebutlah yang dilindungi secara hukum di dalam UU Hak Cipta. Bahwa Pencipta/Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak eksklusif berupa hak moral dan hak ekonomi untuk mempublikasikan (publication rights) dan mengadakan ( reproduction rights) suatu ciptaan yang dimilikinya.
Ambil contoh kasus persengkataan hak cipta antar Feybe Fince Goni dengan PT Pura Nusa Persada. Feybe Fince Goni sebagai Pemegang Hak Cipta atas Hologramisasi/kinegramisasi Pita Cukai Tembakau/Rokok menggugat PT Pura Nusa Persada dalam hal mengambil manfaat secara ekonomi atas ciptaan yang Ia pegang tanpa izin hak cipta. Gugatan yang di layangkan oleh Feybe bertujuan untuk meminta kerugian atas hak eksklusif yang Ia harus dapatkan.
Memang ironi di Indonesia tidak mudah untuk seseorang memperoleh hak yang seharusnya Ia dapatkan. Harus melalui proses hukum yang panjang untuk mendapatkannya walaupun sebenarnya telah ada hukum yang memayunginya. Supremasi hukum harus di tegakan di Indonesia demi keadilan bagi rakyat. Seperti pernyata Prof. Satjipto Raharjo bahwa hukum dibuat untuk rakyat. Bila hukum sudah tidak lagi memihak kepada rakyat maka perlu untuk dipertanyakan.
Editor : Irawan