Setelah 74 tahun bangsa Indonesia merdeka, sudah sepatutnya kita menoleh ke belakang. Merefleksikan dengan penuh rasa apresiasi para founding father dan mother (parents) Indonesia atas perjuangannya mempersatukan segala elemen bangsa dan melahirkan Pancasila sebagai kontrak sosial.
Indonesia Bahagia
Dalam sebuah pertemuan BPUPKI yang dihadiri kurang lebih 68 orang dari berbagai latarbelakang termasuk 4 orang keturunan China, 1 keturunan Arab dan 1 keturunan Eropa, mereka menanyakan “apa yang mau kita inginkan dengan bangsa ini, akan dibawa kemana bangsa ini?’. Bung Hatta kala itu menjawab “aku ingin membentuk negara yang masyarakatnya bahagia di negara ini”.
Ucapan Bung Hatta tersebut ternyata mewakili peserta sidang BPUPKI, bahwa bangsa Indonesia harus bahagia di dalamnya. Bahagia yang beriring dengan landasan spiritual rasa syukur kepada Tuhan Maha Esa seperti diajarkan oleh agama-agama.
Pancasila sarat akan semangat ajaran Islam dan ajakan untuk berpikir terbuka. Kemauan untuk berpikir terbuka ini merupakan salah satu ciri masyarakat modern. Kaitan dari ungkapan Bung Hatta tentang “Indonesia bahagia” berada pada makna tujuan dari perwujudan mashlahat umum (al mashlahah al murshalah). Suatu konsep kebaikan yang meliputi seluruh umat atau masyarakatnya sebagai warga negara tanpa terkecuali.
Mencontoh Piagam Madinah
Hal tersebut sudah pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika membentuk negara Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad membangun sebuah entitas politik berdasarkan pengertian negara bangsa. Suatu negara yang mengayomi seluruh umat atau warna negara untuk kemaslahatan Bersama. Negara Madinah ini memiliki konstitusi bernama Piagam Madinah.
Piagam Madinah mengatakan bahwa negara bangsa didirikan atas dasar penyatuan seluruh elemen masyarakat menjadi bangsa yang satu (Ummatan Wahidah) tanpa membeda-bedakan kelompok yang ada di dalamnya. Semisal Bani Yahudi Auf adalah satu bangsa dengan kaum beriman (pengikut Nabi), begitu pula dengan kelompok Yahudi lainnya yang satu persatu disebut dalam Piagam suci tersebut.
Kaum Yahudi mempunyai hak sepenuhnya atas agama mereka, begitupun sebaliknya, kaum muslim mempunyai hak sepenuhnya atas agamanya. Sehingga dari situlah terjalin hubungan yang harmonis dan memenuhi hak manusia yang percaya akan hal transedental, saling memberi nasihat dengan baik, serta bebas tanpa rasa curang. Penghargaan hak setiap kelompok itulah yang menjadi social contract atas dasar kejujuran dan kebajikan hati nurani.
Piagam Madinah sejatinya adalah penegasan dari sikap yang menghargai kemajemukan dan pluralitas semesta. Maka, Robert N Bellah (Sosiolog Amerika) mengatakan bahwa Negara Madinah adalah implimentasi dari nasionalisme modern. Sebuah semangat negara bangsa yang bertujuan untuk menyukseskan kemashlahatan umum, Bellah juga mengatakan bahwa Negara Madinah adalah konsepsi tatanan masyarakat yang indah dan tak terkira sebelumnya, yang dibangun oleh Nabi Muhammad untuk semua umat.
Baca juga: Humanisme Pancasila sebagai jiwa bangsa
Pancasila sebagai kontrak sosial
Tidak bisa dipungkiri bahwa tokoh-tokoh Islam memberikan sumbangan peran yang besar dalam terbentuknya negara bangsa bernama Indonesia ini. Sebut saja K.H Hasyim Asy’ari, K.H Wahid Hasyim, Kyai Kasman Singodimejo dan tokoh lainnya. Diskursus penghapusan 7 kata pada tatanan awal pada Piagam Jakarta misalnya, tokoh-tokoh Islam yang menyepakati hal tersebut mencontohkan sebuah kebesaran hati serta ciri berpikir modern bahwa Pancasila harus memayungi masyarakat terlepas dari apapun agama mereka. Tentu, hal tersebut merupakan sebuah realitas sejarah yang menarik.
Kenyataan Pancasila sebagai kontrak sosial, sesungguhnya perlu diinsyafi oleh segala lapisan masyarakat, khsususnya umat muslim di Indonesia. Pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai 209,12 juta jiwa atau 87% dari data milik Globalreligiusfuture dan diperkirakan pada 2020 mencapai 229,62 juta jiwa. Sebuah angka yang fantastis sebagai mayoritas.
Dengan realitas tersebut, baiknya umat Islam mempersiapkan diri menjadi mayoritas yang pengayom, dengan membumikan esensi dari setiap butir Pancasila. Bila dipelajari lebih lanjut, tatanan Pancasila mirip dengan Piagam Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Sebuah tatanan negara bangsa modern yang berpikir terbuka tanpa sikap apologetik sebagai umat manusia.
Saya jadi teringat unggahan Instagram dari Habib Husen Ja’far Al Hadar ketika mengutip kata Glenn Fredly, beliau menuliskan “Kalau mau majukan Indonesia, harus majukan umat Islamnya yang mayoritas disini”. Tulisan tersebut merefleksikan arti penting peranan umat Islam sebagai pengayom di masa depan.
Pancasila sebagai kalimah sawa
Dalam menangkap kuasa Tuhan yang berwujud realitas masyarakat yang terus berjalan seiring perkembangan zaman, maka ide gagasan yang pernah diusung oleh guru bangsa Nurcholish Madjid baiknya kembali diigairahkan untuk memperbaiki tatanan umat. Gagasan yang mengedepankan Idea Of Progress, In tellectual Freedom, serta sikap terbuka sebagai ciri khas masyarakat modern. Ketiga hal tersebut perlu dikembangkan, agar pengayoman umat Islam mempunyai Psychological Striking Force (daya dobrak psikologis) dan bersikap menghargai atas nilai-nilai yang baik dari unsur kelompok lain. Sekalipun kelompok tersebut minoritas atau berbeda kepercayaan.
Kearifan merupakan sebuah fitrah suci dari kemanusiaan universal, karena itu manusia dianjurkan mencari kearifan atau ilmu dari mana saja, meskipun “sampai negeri China”. Titik-titik pusat berbagai kearifan baik lokal ataupun interlocal, akan terhubung oleh garis prinsipil yang disebut Kalimatun Sawa, yang berarti kalimat titik temu. Titik ini mempertemukan ajaran agama-agama yang mengajarkan kebaikan seperti kemanusiaan universal.
Tuhan memerintahkan untuk mengajak para penganut kitab suci dan ahli ilmu menuju titik temu tersebut. Menolak salah seorang atau kelompok dari utusan Tuhan atau membeda-bedakan antara mereka, adalah perbuatan ingkar kepada hikmah Ilahiah dan kearifan kemanusiaan universal. ini berarti ia menolak Pancasila sebagai Kalimah sawa itu sendiri. Hati adalah kuil suci yang di dalamnya bersemayam Tuhan, dimana keimanan dan kemanusiaan berjalan beriringan, disitulah akan terwujud Indonesia bahagia seperti kata Bung Hatta.
Editor : Sifa Lutfiyani Atiqoh