Lima tahun silam saya tawarkan kepada Gus Siradz (KH Hasyim Siradjudin), Ketua Tanfidziyah PC NU Kota Batu, untuk memperingati Harlah NU 92 di masjid Gedhe Padhang Makhsyar tempat saya. Jawaban beliau sungguh menyenangkan: beliau tersenyum sambil menggenggam tanganku dan bilang “syukran” sambil matanya berkaca.
Dua tahun setelahnya, saat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Batu, Gus Siradz adalah undangan yang pertama datang dan terakhir kali pulang. Kami juga naik kereta yang sama saat kirab bersama Walikota, Wakil Walikota, ketua DPRD, Kapolresta, Ketua MUI, dan para ulama dari berbagai organisasi.
baca juga: Yahya Cholil: Masih Relevankah NU?
Setahun yang lalu hingga hari ini, bersama Kyai Abdullah Thahir Ketua Syuriah NU Kota Batu, bersama kami manggung di sebuah televisi untuk acara rutin ba’da isya setiap malam Jumat, yaitu ‘jendela fatwa’. Kami membahas banyak hal, bahkan soal-soal yang sangat tabu yang kerap menjadi pembeda dua ormas besar itu. Kami membincang santai dan saling mentertawakan.
Tradisi Saling Mengunjungi
Entah berapa puluh kali Kyai Abdullah Thahir berkunjung ke rumah dan beberapa kali mengisi kajian dan entah berapa puluh kali yang sama, saya datang berta’dzim. Makan tumpeng ingkung di ‘ndalemnya’. Saya kerap menanyakan beberapa hal yang kebetulan saya belum paham pun sebaliknya.
Pertalian saya dengan ulama-ulama NU di kota Batu hampir merata, saya biasa berta’dzim dan berkunjung kepada Habib Jamal bin Thaha Baaqil, Kyai Munir Fathullah, Kyai Abu Said, dan Romo Kyai Nuryasin Muhtadi guru dan sahabat ayah saya. Pun dengan Kyai Marzuqi Mustamar Nggasek. Dan ulama-ulama NU di kota lain.
Tradisi ini juga saya lakukan di Persyarikatan. Kepada para ulama Muhammadiyah dan dzuriyahnya untuk silaturahim. Bagi saya, di atas semuanya adalah ukhwah Islamiyah. Persaudaraan saling membawa hadiah meski sekedar oleh-oleh sarung BHS.
Menyoal Perayaan Harlah NU di Masjid Gedhe
Apa salahnya Masjid Gedhe menawarkan perayaan harlah NU, nonton film Jejak Dua Ulama sambil ngopi bareng. Dan apa rendahnya jika panitia harlah NU menolak dengan halus sebagai tanda ta’dzim sebagaimana dikakukan Gus Siradz saat menolak tawaran saya.
baca juga: Transformasi Pendidikan di Indonesia
Bukankah para guru dan ulama-ulama panutan kita terdahulu lebih mengutamakan adab dan akhlaq karimah, dari pada perbedaan dan kebanggaan atas simbol dan atribut? Di atas semuanya adalah ukhwah Islamiyah. Saya akan lakukan apapun jika diperlukan, agar suasana hati kembali damai agar tak ada lagi yang terluka atau panas hati karena sengkarut yang tak ada ujung pangkal.