Pada 29 Agustus 2005 silam, Nurcholish Madjid pemikir besar Islam Indonesia telah pergi untuk selamanya.“Cak Nur” (panggilan akrabnya) lahir pada 17 Maret 1939 di Mojoanyar Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nadlatul Ulama), Syaikh Hasyim Asy’ari di pesantern Tebuireng Jombang. Meskipun berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi (Budhy Munawar–Rachman, 2011).
Pertama kali belajar agama malalui ayah dan ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua mendirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah 1948. Sekolah Islam pertama di desa ini dan Cak Nur menjadi murid angkatan pertama. Sebab itu Cak Nur mengeyam pendidikan rangkap. Pagi hari ia di Sekolah Rakyat (SR) dan sore harinya ia belajar di Madrasah al-Wathaniyah.
Cak Nur melanjutkan pendidikan di pesantren (tingkat menengah SMP) di Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang saat usia 14 tahun. Ketika masuk ke Pesantren Rejoso, Cak Nur diterima di kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia melompati kelas lima karena semua mata pelajaran telah ia kuasai.
Karena Cak Nur berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini. Sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu‘allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris.
Baca Juga: Marpuji Ali: Jalan Baru Gerakan Kemanusiaan
Dari Pesantren Gontor yang sangat modern pada waktu itu, Cak Nur kemudian memasuki Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sampai tamat Sarjana Lengkap (Drs.), pada 1968 dengan skripsi berjudul “Al-Qu’an Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma’ naan”, yang ditulis dalam bahasa Arab.
Dan kemudian mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978-1984. Sehingga mendapat gelar Ph.D. dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought, 1984) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah.
Aktivisme Nurcholish
Karier intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta, Cak Nur aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI dianggap sebagai gerakan kaum modernis yang cenderung dekat dengan Masyumi. Karier organisasi Cak Nur dimulai dari komisariat HMI. Pada puncaknya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971).
Selain itu, Cak Nur juga menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), periode 1967-1969. Pada waktu yang bersamaan sebagai Wakil Sekretaris Umum dan pendiri International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO). Suatu himpunan organisasi mahasiswa Islam se-dunia, periode 1967-1969.
Pada tahun 1968, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PB HMI, Nurcholish Madjid berkunjung ke Amerika untuk memenuhi undangan program “Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat”, dari pemerintah Amerika Serikat.
Pemikiran Cak Nur di era 1966-1968 yang cenderung mencurigai Barat, melalui gagasan modernisasi dan westernisasi yang banyak diperkenalkan oleh kaum intelektual “sekuler” pada awal orde baru memperoleh respons yang negatif dari Nurcholish.
Selepas lawatan itu, Cak Nur tidak langsung kembali ke tanah air, melainkan singgah dan melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah. Lawatan ke Amerika Serikat yang dilanjutkan ke Timur Tegah ini sangat mempengaruhi warna pemikiran Cak Nur, kemudian menulis Nilai Dasar Perjuangan (NDP), suatu dokumen organisasi yang kemudian dikenal sebagai “pegangan ideologis” HMI. (Ahmad Gaus AF, 2010).
Kiprah Pembaruan Islam
Pada sebuah acara Halal bil Halal dan silaturahmi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam, yang terdiri dari unsur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) dan Gerakan pemuda Islam (GPI) pada tanggal 3 Januari 1970.
CAk Nur bertindak sebagai pembicara tunggal dalam forum ini menyampaikan makalah dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Pidato ini mengundang respon dan polemik menghebohkan dan disertai tudingan yang memojokkan bahwa Cak Nur telah berubah secara fundamental.
Banyak pihak yang terkejut oleh gebrakan Cak Nur itu dan julukan “Natsir Muda” yang dilekatkan pada dirinya mulai kehilangan legitimasinya. la dipandang oleh sebagian komunitas umat tidak lagi menampakkan sebagai kader yang dapat melanjutkan perjuangan umat dan bahkan ada yang menuduhnya sebagai agen Barat. Kritikan terhadap pemikiran pembaharuan yang dilontarkan Cak Nur terus berlangsung selama 1971-1974.
Cak Nur: Seorang Intelektual Muslim
Selama periode ini pula Nurcholish Madjid menjadi peserta yang paling aktif dari kelompok-kelopok diskusi. Salah satu kelompok diskusi itu adalah Yayasan Samanhudi. Yang di dalamnya terdapat nama-nama Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Syu’ bah Asa, dan Abdurrahman Wahid. Pada tahun 1978, Cak Nur memperoleh beasiswa dari Ford Foundation untuk melanjutkan studinya di Program Pasca Sarjana, Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Pada masa ini Nurcholish Madjid bertemu dengan ilmuwan Neo-modernis asal Pakistan Fazlur Rahman. Yang sekaligus menjadi dosen pembimbingnya. Cak Nur lulus dengan nilai cum laude tahun 1984. Dengan judul desertasinya, “Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah : A Problem of Reason and Revelation in Islam” (Ibnu Taimiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).
Perkembangan lain berkaitan dengan jalur intelektualnya di sekitar dekade itu adalah tercatatnya Nurcholish Madjid sebagai peneliti di LIPI sejak tahun 1976. Atas pengabdiannya yang panjang di LIPI beserta produktivitas intelektualnya, maka pada 30 Agustus 1999, Cak Nur dikukuhkan menjadi Ahli Peneliti Utama (APU) di bidang kemasyarakatan.
Pada tahun 1986, Nurcholish Madjid bersama beberapa tokoh pembaharu Islam mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, yang dilatarbelakangi adanya tuntutan dari umat muslim di Indonesia untuk menampilkan diri dan ajaran agamanya sebagai “rahmatan lil ‘alamin” atau membawa kebaikan untuk semua.
Baca Juga: Virus Corona Menuju Chaos
Nurcholish Madjid sempat terlibat dalam kehidupan politik-walaupun tidak secara mendalam ketika dirinya berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilihan umum 1977. Sekedar untuk mendongkrak pamor partai ini. Itulah kenapa memilih PPP dan bukan untuk Golkar atau partai lainnya.
Aktivitas Politik Cak Nur
Nurcholish Madjid juga tercatat sebagai cendekiawan yang banyak terlibat dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Bahkan Nurcholish Madjid adalah perumus platform organisasi tersebut, sebelum kemudian dipercaya menjabat ketua dewan pakar. Menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru, terutama menjelang pemilihan umum 1997. Dan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Suara moral Nurcholish Madjid kian terdengar keras mengalahkan analisis politik yang berkembang tentang masih kuatnya dukungan politik kepada Pak Harto.
Menjelang berakhirnya kepemimpinan Soeharto pada bulan Mei 1998, Nurcholish Madjid merupakan salah satu, dari tokoh-tokoh muslim yang diundang untuk bertemu dengan Presiden Soeharto pada tanggal 19 Mei 1998. Nurcholish Madjid secara langsung mengemukakan kepada Soeharto bahwa yang dimaksud dengan reformasi oleh rakyat adalah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Nama Nurcholish Madjid kembali dibicarakan publik politik menjelang pemilihan presiden tahun 1999.
Sebagian kalangan melihatnya sebagai figur yang pantas untuk menjadi presiden. Pemilihan presiden pada tahun 2004 kembali memunculkan nama Nucholish Madjid, walaupun kemudian atas berbagai pertimbangan Cak Nur tidak melanjutkan proses itu.
Selengkapnya baca di sini