“Mengaku Muhammadiyah tapi belajar nya di ustadz-ustadz Salafi. Terus berkilah karena sama-sama ahli sunah. Mengaku Wasath atau tengahan tapi mengapa keras berpikir dan ekslusif dalam beragama? Terus bilang Muhammadiyah itu bid’ah, Himpunan Putusan Tarjih itu kitab suci”.
***
Pergerakan modem ini ditabalkan oleh sebagian pengamat bahkan para pimpinan mereka sendiri menyatakan sebagai model pergerakan Islam santun, lembut dan ramah —Islam tengahan sebagai model umat terbaik (khairu umah). Terbaik dalam beragama. Terbaik dalam bermuamalah. Terbaik ketika berbeda pendapat.
Semoga bukan hanya jargon atau semacam packaging tapi melawan realitas. Gagasan moderasi Islam terasa kian berat. Banyak soal dan urusan. Ini pekerjaan berat sepanjang sejarah berdirinya Muhammadiyah.
Kegelisahan Prof Haidar tentang cadar yang di pidatokan pada tanwir IMM di Lombok menyiratkan itu: Pertama, secara teknis, (cadar) mengalami banyak-banyak kesulitan. Kemudian yang kedua, dalam tertib sosial, ada kesulitan untuk saling mengenal. Dalam konteks keperluan publik juga ada urusan-urusan yang memang muka harus tampak.
Jadi tidak perlu khawatir, walau demi kehati-hatian, wajah perempuan muslimah akan tetap punya muru’ah, terjaga dan dijaga. Karena masing-masing baik perempuan muslimah ataupun laki-laki muslim punya marwah, yang kedua punya akhlak, yang ketiga ada hukum, yang keempat ada tertib sosial.
Baca Juga: Membicarakan Patologi Etno-Relegion Muhammadiyah dan NU
Nah, inilah yang dipakai tarjih. Saya ingin anak IMM selesai soal ini, yakni merujuk pada tarjih. Bagi yang ada punya pemahaman lain karena mungkin belajar dari tempat lain, maka berilah pemahaman dengan cara bil hikmah (dengan hikmah), wal mauizotil hasanah (nasehat yang baik), wa jadilhum billati hiya ahsan (debatlah mereka dengan cara yang baik).
Bagaimana jika secara diametral paham keberagamaan warga Persyarikatan justru berhadap-hadapan dengan tarjih? Mereka lebih mengenal UAS, UAH, dan deretan ustadz: Jawaz, duo Basalamah dan Firanda? Dibanding Prof Haidar, Prof Yunahar, Prof Samsul, Prof Wawan, dan ulama-ulama tarjih lainnya.
Jangan-jangan sebagian besar warga Persyarikatan tak mengenal nama ulamanya sendiri apalagi paham keberagamaan-nya? Jangan-jangan tak pernah mengenal apalagi ngaji HPT? Atau mungkin ngaji di tempat lain, mengambil fatwanya dan meyakininya meski mengaku Muhammadiyah.
Bagaimana jika cara berpolitiknya mirip HTI, partainya tarbiyah, beribadahnya mengikuti ulama Salafi, nahy munkarnya mengikuti cara FPI? Sebagian malah menjadi aktifis khilafah, tak mengenal daarul ahdy wa syahadah. Tapi mengaku Muhammadiyah— ruwet bin rumit.
Saya berani bertaruh banyak aktifis dan simpatisan pergerakan yang tak bisa membedakan mana yang Muhammadiyah, mana yang Salafi-Wahabi, mana yang HTI, mana yang PKS dan varian ideologi tarbiyah lainnya.
Baca Juga: Tugas Cendekiawan Menurut Haedar Nashir
Bahkan ada sebagian yang merasa hidup di negeri kafer tanpa terasa, hidup dibawah penguasa thaghuts karena berbagai indoktrinasi yang di alaminya. Hidup di negeri bobrok dan khilafah solusinya.
Banyak harapan pada persyarikatan ini. Jadi memang pekerjaan para pimpinan Persyarikatan, banyak soal banyak hal—mengkonsolidasi ideologi dan manhaj sebelum riuh tentang berbagai amal usaha —. Afwan.