Indonesia bergelimang folklor. Ikhtiar mewariskan atau melanggengkan terjadi dengan pelbagai siasat di seantero Indonesia. Para sarjana dan pejabat masa kolonial melakukan pencatatan, penulisan, dan pengeditan untuk beragam kepentingan. Mereka mengerti bila folklor membuka selubung-selubung peradaban di Nusantara. Mata-politik dan mata-pengetahuan menjadikan album folklor menemukan jalan pemaknaan sesuai zaman atau bergejolak oleh pertikaian pamrih.
Indonesia tak wajib meniru Brasil. Negara besar itu berlimpahan folklor, mengadakan Hari Foklor diperingati setiap tahun. Agustus menjadi bulan terpenting dalam mengawetkan folklor saat dunia (terlalu) berubah. Di Indonesia, Agustus itu kesibukan mengenang sejarah dengan pelbagai perwujudan. Folklor jarang turut teringat untuk mengerti jejak-jejak menjadi Indonesia, sejak sekian abad silam.
Buku terpenting meski belum ada lanjutan atau tandingan agar kita tak terputus memikirkan folklor disusun James Danandjaja. Buku itu berjudul Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain (1984). Pada suatu masa, buku itu bertaraf babon bagi para mahasiswa dalam studi folklor di Indonesia. Kita berhak menjadikan buku itu capaian “penentuan” saat folklor mendapat perhatian besar secara akademik.
Pihak penerbit menjelaskan: “Sayangnya, sebagai cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, buku-buku folklor dalam bahasa dan mengenai Indonesia masih sangat langka.” Anggapan langka itu mengarah teori-teori. Di Indonesia, pelestarian sudah terselenggara meski menghadirkan folklor sebagai “ilmu” masih direpotkan dengan tata cara dan landasan-landasan akademik.
Pada saat studi itu mendapat peminat, Indonesia masih kewalahan dalam melakukan dokumentasi dan penelitian ilmiah. Sejak masa kekuasaan Soekarno, usaha-usaha dokumentasi pernah diadakan oleh Kementerian PP dan K dan Balai Pustaka meski cuma cerita rakyat. Folklor tak sekadar cerita rakyat. Dulu, pemerintah berkepentingan menjadikan folklor untuk mengetahui dan membentuk “kepribadian” sesuai kehendak-kehendak di arus kekuasaan.
Kerja besar diadakan pada masa Orde Baru atas nama pembangunan nasional. Ratusan judul buku dokumentasi dan penelitian cerita rakyat diterbitkan dalam kepentingan mengukuhkan “bhinneka tunggal ika”. Para sarjana, ahli, atau pemuka komunitas kerja bareng dalam menghimpun dokumentasi. Penerbitan buku-buku semula dianggap penting dipelajari murid-murid atau umum. Buku-buku itu dicetak dengan kemasan “jelek” atau sederhana diedarkan di ribuan perpustakaan. Kita mengingat itu masih sering cerita rakyat.
James Danandjaja menjelaskan: “Jadi, yang menjadi objek penelitian folklor Indonesia adalah semua folklor dari folk yang ada di Indonesia: yang di pusat maupun yang di daerah, yang di kota maupun yang di desa, di keraton maupun di kampung, pribumi maupun keturunan asing (peranakan), warga negara maupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya dan mengembangkan kebudayaan mereka di Indonesia.” Di situ, kita mengerti tentang cerita, lagu, permainan, dan lain-lain. Folklor memberi panggilan bagi peneliti untuk menemukan khas dan kekuatan saat melewati abad-abad.
Bersumber pelbagai hasil studi-penelitian, James Danandjaja menganggap perhatian terbesar diberikan untuk cerita (prosa) rakyat. Di Indonesia, pengutamaan cerita rakyat pun terjadi. Pemerintah atau institusi pengetahuan kadang menjadikan studi dengan “selaras” kepentingan-kepentingan atas nama Pancasila, pariwisata, dan politik.
James Danandjaja membuktikan kemampuan dalam dokumentasi dan penulisan (ulang) cerita rakyat. Pada 1992, terbit buku berjudul Cerita Rakyat dari Jawa Tengah. Buku memuat 10 tulisan disebut dongeng dan legenda. Pembuatan buku dimaksudkan menjadi bacaan di sekolah-sekolah. Siasat agar murid-murid mengetahui ratusan cerita telah dihidupi dan dilanggengkan para leluhur sejak silam.
Buku terbit saat Soeharto masih berkuasa dan impian “demokrasi Pancasila” masih terus diwujudkan. Buku dalam gejolak slogan-slogan buatan pemerintah dan kesadaran menapaki abad XXI. James Danandjaja memberi penjelasan dan nasihat: “Adik-adikku sayang, kalian tentu sudah mengetahui bahwa Pancasila adalah lima asas negara kita, Republik Indonesia. Namun mungkin kalian belum sadar bahwa Pancasila itu adalah juga hasil galian dari nilai budaya kita, sejak zaman dahulu kala. Oleh karenanya pada kesempatan ini kami ingin menunjukkan kepada kalian bahwa sila-sila atau sedikitnya butir-butir dari sila Pancasila, serta nilai budaya Indonesia lainnya terkandung juga di dalam cerita rakyat yang akan kami sajikan kepada kalian dalam buku ini.”
Kita mengandaikan murid-murid menikmati legenda dan dongeng tapi berpikiran Pancasila. Guru membantu membuat itu “cocok” atau “sesuai” agar pengajaran cerita rakyat memiliki faedah. Para leluhur memberi “warisan” turut membentuk Pancasila meski murid-murid telanjur belajar mengenai pidato Soekarno, 1 Juni 1945. Dulu, mereka tak mengira jika legenda dan dongeng berpengaruh untuk Pancasila.
Warisan para leluhur berada dalam arus pembentukan Indonesia. Cerita-cerita itu mengesahkan Pancasila “berakar” atau memiliki pijakan sejak ratusan tahun silam. Pancasila bukan “tiba-tiba” atau “penemuan”. Kita menduga Soekarno mengerti khazanah cerita di Nusantara berkaitan pemuliaan Indonesia, sejak awal abad XX sampai 1945. Peran cerita bersumber dari pelbagai alamat, tak sekadar satu pulau, desa, atau keraton.
Pembuatan dokumentasi dan penerbitan ratusan judul buku memuat cerita rakyat memberi referensi bagi peminat studi Pancasila dan peradaban Nusantara. Kita memang berhadapan buku-buku kadang memberi jenuh. Pada babak berbeda, cerita itu beralih menjadi film atau komik memberi rangsang bagi murid-murid mengenali dan menggemari. Mereka dapat terhibur atau merenung meski tak diharuskan harus cocok dengan Pancasila. Begitu
Penulis: Bandung Mawardi (Pengelola Bilik Literasi)