Arab Saudi dan Indonesia punya kesamaan belakangan ini: industri sepak bola mereka sedang berbenah. Bedanya, Arab Saudi mengabaikan fatwa haram ulama mereka terkait sepak bola, sedangkan Indonesia masih dibayangi Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 penonton sepak bola di Kabupaten Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022 silam.
Peristiwa yang disebut terakhir itu menjadi alasan Narendra Wicaksono (27) asal Kabupaten Klaten, Jawa Tengah bersepeda dari rumahnya ke Makkah, Arab Saudi untuk beribadah umrah di tahun ini. Keinginannya kala bersimpuh di depan Ka’bah nanti, ia bisa mendoakan para penyintas dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan agar diberi keadilan yang layak dari Sang Pencipta.
Rendra -sapaan akrabnya- begitu teriris saat mendengar kabar tragis itu. Selain tentang rasa kemanusiaan, empatinya timbul karena ia sendiri merupakan bagian dari massa sepak bola nasional. Belasan tahun lampau, adalah hal lazim ia berkelana dari kota ke kota untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Ia belajar arti loyalitas, persaudaraan, dan bertahan hidup dari sepak bola.
Kehidupan Rendra memang tak bisa jauh dari petualangan. Kesehariannya diisi dengan bekerja sebagai pengemudi ojek dalam jaringan (daring) di Kota Solo. Berkat pekerjaan itu, ia terbiasa menjelajah berbagai tempat maupun ruas jalan yang baru ia kenali di daerah Solo dan sekitarnya.
Selepas bekerja, ia beristirahat di sebuah rumah kontrakan -di suatu kecamatan di Kota Solo- yang dihuni beberapa penulis dari berbagai latar belakang. Petualangan pun tidak hanya terjadi di jalan, tetapi juga dari buku-buku dan percakapan. Dari sejarah hingga politik, dari sastra hingga psikologi.
“Dari banyak buku yang aku baca, aku selalu suka dengan Soe Hok Gie dan kehidupannya. Ia berani dan suka berpetualang,” kata Rendra saat berjumpa dengan saya di suatu kesempatan.
Bertolak dari Klaten, Rendra berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang. Bandul nasib membawanya ke Solo, ketika terlibat dalam demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakikan Rakyat Daerah Solo terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 2019 lalu.
Saat itu, ia sebenarnya bukan bagian langsung dari salah satu elemen mahasiswa, tetapi justru berperan sebagai tim paramedis secara sukarela. Nahas, ia ditangkap aparat setelah demonstrasi itu berujung ricuh. Tak lama, seorang kawannya yang berasal dari Solo datang lalu membantunya bebas dari jeruji besi.
Kawan itu lantas membujuk Rendra agar menginap di tempat sejawatnya -yang tak lain rumah kontrakan para penulis itu- sampai keadaan membaik. Selang sekian bulan, ia akhirnya memutuskan bertahan hidup di Solo dengan menjadi pengemudi ojek daring.
Kala bertemu di rumah para penulis itu, ia bercerita kepada saya beberapa pengalamannya. Antara lain bekerja di peternakan milik dosennya, terlibat dalam proyek penelitian, hingga menjadi anggota salah satu organisasi pergerakan mahasiswa meskipun hanya sebentar. Salah seorang kawan pun menggenapkan cerita bahwa hampir setahun Rendra sempat bekerja di Kalimantan.
“Rendra itu sudah masuk peringkat lima besar pengemudi ojek di Soloraya dari salah satu aplikasi. Bahkan aplikasi itu sampai mengingatkannya, supaya tidak lupa beristirahat,” ujar kawan itu (22/7).
Dengan segudang pengalaman ditunjang perawakan yang kokoh, sebagian orang percaya kalau ia sanggup bersepeda sampai ke Makkah. Namun ada pula yang sangsi karena sulit mengimajinasikan jarak sekitar 12.326 km mampu ditempuh dengan mengayuh sepeda. Keraguan itu tak menjadi halangan, sebab mental dan fisiknya telah ditempa di jalanan jauh-jauh hari.
Awal tahun ini, beberapa penghuni rumah para penulis itu mengabarkan lewat status media sosial bahwa Rendra sudah tiba di kawasan Pantura. Saya melihat ia berpose bersama sepeda birunya dengan kantung muatan yang mengapit roda belakang dari sisi kanan dan kiri. Matanya terlihat sayu seolah kelelahan, tetapi senyum tetap mengembang dari wajahnya. Seperti itulah kesan pertama saya ketika bertemu Rendra.
Keputusan Rendra pergi ke Makkah menggunakan sepeda, juga bagian dari ikhtiarnya bertemu dengan orang-orang sekaligus mencari pengalaman di sepanjang perjalanan. Quraish Shihab dalam bukunya Haji dan Umrah Bersama Muhammad Quraish Shihab menuliskan bahwa orang yang pergi ke Makkah dengan tujuan ibadah haji maupun umrah disebut sebagai As-Saihun yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti orang-orang yang melawat.
Lewat buku itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa As-Saihun adalah mereka yang melakukan perjalanan dalam rangka memperoleh pelajaran atau pengajaran yang dipuji Al-Qur’an. “Berbarengan dengan pujiannya kepada orang-orang yang bertaubat, mengabdi, memuji Allah SWT, rukuk dan sujud, serta orang-orang yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta memelihara ketetapan Allah SWT,” seperti yang tercantum dalam QS At-Taubah [9]: 112.
Sebagaimana pesan di buku Quraish Shihab, perjalanan itu memberikannya banyak pelajaran dan bantuan. Sebut tatkala gigi roda sepedanya patah di Jambi, ia dibantu oleh seorang pengemudi ojek daring. Tiba di Malaysia, ia ditampung oleh pekerja yang berasal dari Indonesia. Pertemuan dan percakapan menghiasi perjalanannya, kendati lewat suatu liputan media massa nasional ia mengatakan sempat ingin menyerah.
Salah seorang kawan penghuni rumah para penulis menceritakan perjalanan Narendra yang telah melewati berbagai negara. Kabarnya Rendra juga sempat singgah beberapa waktu di Thailand, India, Yordania, dan Turki. Ia juga telah bertemu dengan Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Istanbul, Turki sekaligus para ultras sepak bola di negeri yang menjadi gerbang Asia dan Eropa itu.
Kawan itu juga mengatakan bahwa perjalanan Rendra tak lepas dari rasa sakit. Kabar mencuat, tengkuk, betis, dan punggung Rendra memar-memar. Namun pertemuan dan percakapan dengan berbagai orang di beberapa negara menjadi amunisinya untuk melanjutkan perjalanan. Lebih-lebih misi mulia ia emban, dari beribadah hingga menyampaikan pesan kemanusiaan.
Kini Rendra telah sampai di Makkah. Selangkah lagi ia sudah berada di depan Ka’bah. Boleh dikatakan, Rendra telah menjalani laku wisata As-Saihun seperti yang dijelaskan oleh Quraish Shihab. Dengan mengutip mufasir Muhammad Jamaludin al-Qasimi, Direktur Pusat Studi Al-Qur’an itu menjelaskan bahwa wisata memang diperlukan walaupun disertai pengorbanan. “Bahwa tujuan wisata itu antara lain adalah untuk memperluas wawasan, atau apa yang diistilahkan al-Qasimi, ‘diketuk dengan keras otak yang beku’”
Penulis: Muhammad Taufik Nandito (Alumni Mahasiswa UMS)