Pergerakan Islam di Kota Surakarta pada awal abad ke-20 ikut menumbuhkan proses modernisasi masyarakat. Di zaman itu pula, timbul kesadaran bahwa umat Islam harus bisa sejahtera sekaligus lepas dari cengkraman penjajah Belanda. Indonesianis asal Jepang, Takashi Siraishi menyebut periode itu sebagai Zaman Bergerak.
Gairah kehidupan di Kota Surakarta di masa itu juga muncul karena pembangunan. Para penggeraknya antara lain dua keraton Jawa (Surakarta dan Mangkunegaran), pengusaha batik, dan tentunya kolonial Hindia Belanda. Berbagai infrastruktur bercokol di seantero kota, mulai dari perkantoran, pabrik, sistem transportasi, hingga pusat hiburan.
Modernisasi beriringan dengan kesadaran berdaulat dari berbagai jalan, salah satunya melalui organisasi keagamaan. Kala itu, H. Samanhoedi, pengusaha batik asal Laweyan, membentuk Serikat Dagang Islam, yang mengupayakan supaya pengusaha muslim bisa bersaing di tengah dominasi pengusaha peranakan Cina dan Eropa.
Selain Haji Samanhoedi, ada seorang tokoh agama Islam, yang sedang merintis jalan pendirian organisasi Muhammadiyah di Surakarta, yaitu Mochtar Boechori. Pria kelahiran Kauman, Kota Surakarta (1899) itu sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Sebagai seorang santri tulen, ia berkeinginan syiar Islam meluas di kota Bengawan.
Di buku Zaman Bergerak karya Takashi Siraishi, nama Mochtar Boechori disebut sebanyak tujuh kali. Buku yang diterjemahkan oleh sejarawan Hilmar Farid itu menjelaskan pengaruhnya dalam silang sengkarut pergerakan Islam di Surakarta pada awal abad ke-20. Pengutipan nama Mochtar Boechori diikuti oleh deskripsi suasana cerita pergerakan di kota Bengawan yang bergolak, tapi juga mendebarkan.
Mochtar Boechori merupakan salah satu pendiri Muhammadiyah di Kota Surakarta. Seperti yang kita ketahui, Muhammadiyah dan Serikat Islam -sebagai evolusi Serikat Dagang Islam- adalah organisasi yang menggerakkan perjuangan umat Islam di zaman penjajahan Belanda. Keduanya sering berada di arus polemik radikalisme rakyat Jawa di rentang 1912-1926.
Salah satu pendakwah agama Islam di Kota Surakarta, H. M. Misbach -terkenal sebagai singa podium-, kerap menuliskan pelbagai gagasan revolusionernya, sehingga membuatnya acap kali bersitegang dengan kelompok Mochtar Boechori. Meski demikian Mochtar Boechori dan H.M Misbach pernah berada di satu kubu ketika mendirikan wadah berdakwah Sidiq Amanah Tabligh Vatonah (SATV).
Boechori ikut serta dalam SATV pada 1918. Ia dan Misbach pada saat itu memiliki pandangan yang sama menyoal kebutuhan perjuangan Islam lepas dari belenggu kolonialisme dan kapitalisme. Untuk menyampaikan ide-ide perjuangan dakwahnya, ia menulis di beberapa koran cetak, termasuk menjadi redaktur di kotan Medan Moeslimin gubahan H. M Misbach.
Boechori pun menerbitkan memoar berjudul Moeslimah, yang diterbitkan ulang oleh Penerbit Lumut setahun lalu. Memoar itu mengisahkan dirinya yang berdakwah di rumah saudagar kaya bernama Ibrahim. Buku Moeslimah pun menceritakan juga pertemuannya dengan anak dari saudagar Ibrahim yang menjadi judul buku ini, dan lantas menjalani berbagai percakapan serta tertulis di buku ini secara detail.
Sebermula, naskah buku ini di terbitkan secara berkala di Majalah Bintang Islam (1923). Di awal cerita, Boechori melantukan salah satu ayat suci Al-Qur’an untuk menyigi makna kebaikan di dalamnya, sekaligus mengajak kerabatnya ikut serta dalam organisasi pergerakan. Itu dilakukannya tepat pada hari Sabtu, saat ia sedang berdialog, seraya memperkenalkan Muhammadiyah kepada Moeslimah.
Mochtar Boechori dalam memoar itu tampak sebagai seorang prolifik, yang bisa menulis sama bagusnya seperti saat ia berbicara. Ia memiliki segudang wawasan, dari belahan barat, timur, utara, hingga selatan bumi. Semua mampu ia jabarkan. Sederet pengetahuan itu ia perlihatkan, karena mafhum Moeslimah bukan perempuan biasa. Moeslimah sosok cerdas, anggun, dan putri seorang saudagar kaya. Maka, ia harus menunjukkan kepiawaiannya dalam sejumlah topik keilmuan.
Menurut Siraishi (1950), Boechori menjalankan dakwahnya di kalangan anggota muda abdi dalem Kasunanan Surakarta dan kalangan siswa sekolah pribumi Belanda. Pertemuannya dengan saudagar Ibrahim adalah bukti jalan dakwah yang ia tempuh. Di perjalanan sejarah, Boechori akhirnya memilih berada di sisi K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia tidak lagi menemani Misbach, tetapi pergolakannya akan terus di kenang, sebagai pembelajaran tentang komitmen dan konsistensi pada bidang agama dan ilmu pengetahuan modern.
Penulis: Ghaniey Al Rasyid (Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta)