Setiap tanggal 2 Mei sering kali di peringati “hari pendidikan nasional” hal ini pun berlandaskan pada keputusan yang tertera pada penetapan surat keputusan presiden nomor 316 tertanggal 16 Desember 1959. Hari pendidikan pada tanggal 2 Mei pun bertepatan dengan lahirnya bapak pendidikan Indonesia yakni Ki Hadjar Dewantara.
Pada momentum tersebut yang diperingati setiap tahunnya sudahkah dijadikan sebagai bahan refleksi dalam melihat bagaimana situasi pendidikan saat ini? Atau sebagai ajang peringatan yang hanya sekedar legitimasi namun tak berarti?
Kali ini penulis sedikit mengajak para pembaca untuk kembali merefleksikan perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam membangun bangsa lewat gerakan pendidikan yang melahirkan generasi terdidik pada semua kalangan.
Pada tanggal 3 Juli 1922, beliau mendirikan sekolah taman siswa di Yogyakarta, hal ini dilakukan karena berangkat dari keresahan serta kegelisahan Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan di zaman Hindia belanda yang tampak diskriminatif.
Hanya anak priyayi atau mereka yang notabene terlahir pada kalangan kelas atas untuk mampu mencicipi segala bentuk pendidikan pada saat itu.
Melalui taman siswa, Ki Hadjar Dewantara mencoba memperluas akses pendidikan bagi semua kalangan, bukan hanya masyarakat tertentu saja namun semua berhak ikut dan turut andil dalam merasakan bagaimana pendidikan saat itu.
Lalu bagaimana realitas kondisi pendidikan Indonesia saat ini? Apakah pendidikan yang menjadi salah satu akses dalam membangun peradaban bangsa sudah dirasakan oleh semua kalangan?. Apakah keresahan Ki Hadjar Dewantara sehingga membangun sekolah taman siswa itu terulang kembali?.
Penulis tidak bisa menjamin semua yang disampaikan benar adanya, namun berangkat dari segala realitas atau kondisi objektif saat ini, fenomena pendidikan di Indonesia sudah tampak banyak memiliki ketimpangan-ketimpangan yang tidak sebagaimana mestinya.
Mulai dari regulasi atau kebijakan pemerintah mengenai pendidikan tampak tumpang tindih, hingga sampai kepada akses dalam mengenyam pendidikan dari sekolah sampai perguruan tinggi hanya bisa dirasakan oleh segelintir masyarakat atau kaum elit tertentu.
Mengutip dari buku Gadis penghafal ayat karya M. Shoim Haris “ Pendidikan saat ini hanya menjadi ajang mempertahankan kelas, kelas menengah ke atas”.
Benar saja apabila kita menengok kondisi dan situasi saat ini pendidikan bisa dikata dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Mereka yang mampu membayar maka dialah yang menjadi pemenangnya, untuk masuk di sekolah sampai ke perguruan tinggi saja itu harus menyiapkan pengeluaran-pengeluaran yang begitu besar, sehingga mereka yang tak punya biaya terpaksa tak bisa merasakan bagaimana hiruk pikuk di dunia pendidikan.
LALU BAGAIMANA SOLUSI DAN KEBIJAKAN DARI PEMERINTAH?
Nampak secerca harapan bagi mereka yang tak punya untuk bisa mengikuti pendidikan saat ini dengan segala solusi yang kemudian ditawarkan oleh pemerintah yakni beasiswa; di antaranya seperti beasiswa KIP, Bidikmisi, kontestasi seleksi untuk pembiayaan sekolah gratis hingga sampai kepada mereka yang dipilih karna prestasi prestasinya.
Lalu apakah ini menjadi jalan keluar dari beberapa problem yang ada? Jawabannya tidak juga, fenomena pembagian dari penawaran solusi tersebut tidak di indahkan sebagaimana mestinya, banyak pembagian-pembagian beasiswa yang sifatnya tidak merata, Diantaranya beasiswa tidak mampu.
Pun hanya itu didapatkan oleh beberapa masyarakat yang bisa dikata berada, sehingga mereka yang tak punya tak kunjung mendapatkannya. Beasiswa prestasi hingga pada pembiayaan sekolah gratis hanya dikuasai oleh mereka yang terlahir atau memiliki modal jaringan yang sifatnya memiliki hubungan terhadap kekuasaan para oligarki.
Hingga akhirnya harapan orang tua di luar sana yang notabene berhak mendapatkan hanya tinggal ekspektasi yang tak kunjung menjadi nyata.
TEMA PENDIDIKAN NASIONAL 2023 SUDAHKAH TERWUJUD?
“Bergerak bersama semarakkan merdeka belajar.” Tema ini di umumkan Kemendikbudristek, hal ini juga karena menyoroti sejumlah isu pendidikan di tanah air, terutama perjalanan 3 tahun pelaksanaan merdeka belajar di Indonesia.
Lalu siapakah yang sudah merdeka pada proses pendidikan belajarnya? Apakah lagi-lagi hanya segelintir orang saja? Mengutip beberapa potongan naskah pidato Hardiknas 2023 Mendikbudristek yang di antaranya “sebanyak 24 episode merdeka belajar yang telah diluncurkan membawa kita semakin dekat dengan cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat.”
Penulis sangat mengapresiasi dengan proyek merdeka belajar yang di inisiasi oleh pemerintah bahkan tema hari pendidikan nasional tahun ini juga sangat mendukung untuk kemajuan anak bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan penulis lagi-lagi apakah proses merdeka belajar ini sudah terwujud?
Lalu siapakah yang sudah merasakan dan mendekati cita cita Ki Hadjar Dewantara itu, apakah hanya segelintir kaum-kaum tertentu? Masih banyak anak yang tidak memiliki harapan yang tinggi dan ingin ikut andil merasakan tema pendidikan nasional saat ini terpaksa terpatahkan dengan kenyataan dan keadaan.
Begitu banyak pelajar maupun mahasiswa yang terpaksa putus sekolah tak mewujudkan mimpi-mimpinya karena menjadi korban dari permainan kapitalisasi politik dari segelintir elit yang berkuasa.
Pada momentum hari pendidikan nasional ini , Penulis dengan segala harapan mengajak seluruh pembaca untuk turut prihatin terhadap kondisi bangsa saat ini terkhusus dalam dunia pendidikan, serta bersama-sama mewujudkan cita-cita para tokoh-tokoh pejuang pendidikan.
Segala harap tertuju untuk para pemimpin bangsa bahwa; momentum kali ini bukan hanya sekedar hari peringatan tapi juga sebagai ajang refleksi sudah sejauh mana realisasi atau aktualisasi pendidikan saat ini terwujud dan dapat di rasakan oleh semua kalangan sebagaimana cita-cita dari Ki Hadjar Dewantara itu sendiri, atau jangan sampai ajang ini disulap sebagai ajang kapitalisasi politik untuk kepentingan-kepentingan kelompok pribadi.
Editor: Rahmat