Beberapa waktu lalu sempat hingar-bingar di jagat sosial media tentang restoran cepat saji bernama karen’s diner. Awalnya saya tak menaruh perhatian lebih atas fenomena ini. Saya pikir karen’s diner adalah restoran biasa seperti pada umumnya. Namun perhatian saya berubah pasca saya melihat sebuah video pergolakan antara pelanggan dan pelayan yang saling mencaci maki dengan teriakan dan jari tengah.
Setelah saya dalami ternyata konsep karen’s diner yang sedemikian rupa merupakan ide seorang Australia. Uniknya mereka menyajikan konsep pelayanan yang serba galak dan tak friendly. Memang hal ini yang menjadi ciri khas yang ingin di tonjolkan pada pasar. Identitas mereka adalah galak dan tak ramah.
Dewasa ini memang esensi banyak bergeser nilainya. Restoran yang esensinya sebagai tempat makan untuk mengatasi lapar, kini berganti dengan tempat mencari sensasi di marahi. Hal ini sudah menjadi hal yang wajar dalam tradisi barat, nilai esensial kini telah memudar berganti dengan hal-hal yang bersifat “kulit”. Terlepas dari itu semua saya pikir ada yang menarik dari sistem pelayanan yang di ajukan restoran itu dewasa ini.
Kontras Moral Barat dan Timur
Kemunculan Karen’s Diner di Indonesia sempat mendapat banyak penolakan dan hujatan dari warga Indonesia. Pelayanan restoran tersebut di cap bertolak dengan moral setempat. Kita sebagai orang-orang timur yang kental dengan tingkat spiritual yang tinggi sehingga memunculkan moral yang tak ada di dunia barat.
Mau di cari pembenarannya dalam kitab manapun saya kira tindakan kasar dan tak ramah tak akan mendapatkan afirmasi. Namun yang masih menjadi kebingungan saya kenapa dengan pelayanan yang katanya “Amoral” itu justru bisnis ini terlihat makin besar dan ramai. Apakah bangsa kita mulai mengalami pergeseran makna nilai? Semoga saja ini hanya perasaan saya dalam memandang fenomena karen’s diner ini.
Saya pikir masuknya karen’s diner ke Indonesia telah membuka gerbang penjajahan nilai-nilai kultur indonesia yang ramah. Kata Mohammad Asad dalam buku “Islam di simpang jalan” cara barat dalam mempengaruhi bangsa muslim akan nilai-nilai luhurnya adalah dengan menyebarkan 3F.
Asad menjelaskan dengan singkat bahwa 3F adalah Fashion, Food, Fun. Fashion, dalam hal ini kita sudah terlalu banyak mengadopsi barat dalam hal berpakaian. Pakaian-pakaian sexy yang ada kini sudah barang tentu bukan hasil dari pandangan hidup orang-orang melayu. Pakaian mereka sangat menggambarkan bahwa perempuan memiliki otoritas untuk bebas sepenuhnya sehingga tak ada satu pun orang yang bisa mendiktenya untuk berpakaian, dan parahnya perlahan kita mulai menerapkan hal tersebut.
Kedua adalah food, inilah yang menjadi pembahasan utama kita. Penggambaran atas budaya barat itu mereka representasikan melalui cara mereka melayani para pelanggannya. Terakhir adalah fun yaitu kesenangan. Mereka berupaya menciptakan hiburan baru yang bertolak belakang dengan moralitas dan budaya timur.
Westernisasi Indonesia
Secara geografis dan budaya sudah tak dapat di bantah bahwa Indonesia adalah negara timur dengan kultur budaya yang ramah tamah. Namun pasca hadirnya karen’s diner di Indonesia telah memberikan saya asumsi. Asumsi bahwa indonesia dipandang sudah layak masuk kategori pasar untuk bisnis ini, sehingga mereka berani membuka cabang di Indonesia.
Memang dari segi teknologi kita tertinggal jauh sehingga kita harus melakukan upaya modernisasi dari barat. Namun yang jadi permasalahan mengapa modernisasi kita terkesan lambat sedangkan westernisasinya tergolong bertumbuh dengan cepat. Terbukti sudah apa yang di katakan Kuntowijoyo bahwa teknologi yang di ambil dari suatu peradaban akan menarik pula nilai-nilai dan kebudayaan dari peradaban tersebut. Namun dalam hal ini kita gagal dalam mempertahankan budaya kita ketika kita hendak menarik teknologi tersebut.
Terlepas dari boleh tidaknya mengunjungi atau sekedar makan di tempat tersebut saya kembalikan sepenuhnya pada pembaca. Kalau saya lebih memilih makan di warteg dengan sepuluh ribu dari pada harus mendengar celotehan dan ungkapan kasar dari pelayan. Lagipun menunya tidak indonesianable.
Sisi Menarik Karen’s Diner
Terlepas dari plus minus dan pembahasan saya yang begitu ngalor ngidul tadi, ada satu hal yang saya soroti dalam fenomena karen’s diner. Yakni perbedaan kelas.
Selama ini kita tau bahwa orang yang memilki uang adalah orang yang seharusnya di hormati, dalam kasta kelas mereka adalah pemodal sedangkan pelayan adalah kelas proletar yang notabene ada di kelas dua. Namun dalam fenomena ini pemodal justru membiayai proletar untuk bisa membentak dan merendahkannya. Jadi dari sini saya pikir perbedaan kelas yang selama ini menjadi masalah sosial di antara kita sudah menampakkan sedikit titik terangnya.
Editor : Izzul Khaq