Belakangan ini jagad dunia maya digemparkan oleh perilaku para pejabat yang memamerkan harta kekayaannya, ketika rakyat kecil menjalani kehidupan yang sulit, bahan bakar minyak naik, konflik geopolitik, harga pangan naik dan sebagainya. Beredar dari salah satu aplikasi media sosial, karena kasus pencucian uang ditambah kehidupan glamori keluarga pejabat, menjadikan netizen marah besar.
Karena ketidaktahuan maksud dari beberapa pejabat melakukan itu mereka mempertanyakan apakah kurangnya ilmu pengetahuan yang sampai mendalam, keteladanan akan kesederhanaan dari nilai- nilai keislaman atau rasa berkecukupan telah hilang. Maka dari itu tulisan ini akan membedah Flexing dan mengembalikan esensi berkehidupan yang baik.
Virus Yang Akut
Virus Flexing merupakan virus yang akut, siapa saja bisa terjangkiti. Tetapi menurut istilah dalam sosiologi, Sosiolog humanis Peter L. Berger (Subandi, 2007) menyebutkan fenomena tersebut. Yang terjadi adalah munculnya “urbanisasi kesadaran”. berdasarkan konstruksi realitas yang muncul sebagai wajah baru. Mereka bukan kelompok konglomerat, tetapi orang bisa menjadi konglomerat. (Khayati Nur dkk, 2022: 119)
Flexing sebenarnya fenomena menunjukan segala sesuatu yang di nilai proyeksi status sosial masyarakat. Asal flexing tentunya disebabkan perubahan sosial yang terjadi, misalnya pola hidup konsumerisme dan hedonisme. Yang di rasa ada “urbanisasi kesadaran” yakni perpindahan nilai yang di amini kepada nilai baru. Misalnya media sosial yang selalu menampilkan hal- hal mewah dari artis maupun pejabat. Sebab dari itu masyarakat menilai bahwa flexing kekayaan yang dari tontonan kemudian dijadikan tuntunan, juga dirasa tanpa update status kita dirasa kurang untuk merasakan ruang sosial.
Banyak dari media kini jika kita mencari kata flexing, yang muncul tingkah laku para pejabat, yang memamerkan kekayaan, harta, jam, mobil, naik pesawat. Tetapi itu bukan sesuatu yang baru, cuma media sosial yang semakin berkembang, pola interpretasi masyarakat juga semakin berubah. Akibatnya masyarakat mempersepsikan tingkat tersebut seperti orang yang sombong dan tamak, padahal belum tentu itu niat asli dari para pejabat.
Tetapi yang di permasalahkan beberapa orang bukan objek kekayaan, tetapi subjek memperoleh kekayaan tersebut. Akibatnya masyarakat menjadi curiga, darimana kekayaan pejabat diperoleh?, Padahal gajinya tidak seberapa. Di tambah dengan janji- janjinya yang dahulu ia kemukakan dan hanya beberapa ia kerjakan tidak maksimal. Sebab dari itu muncul kejengkelan sosial atas perilaku tersebut.
Nilai-Nilai Uswah Kenabian & Kepemimpinan
Padahal Islam telah mengajarkan beberapa nilai filosofi kehidupan yang mendalam bagaimana cara menghadapi flexing tersebut. Tentunya dimulai dari diri sendiri. Nabi pernah bersabda disebutkan pula hadits Abu Hurairah berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ »
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137).
Ghina’ Nafs adalah kecupukan kita akan suatu takaran yang diberikan. Kita sendiri telah meyakini bahwa kehidupan akan berlalu, dan yang semua ini hanyalah titipan, lantas mengapa kita berbangga- bangga pada hal yang sebenarnya fana’. Kekayaan yang kita miliki adalah kekayaan hati, yang mana ridho berkorelasi dengan ikhlas dan di implementasikan lewat perjuangan, maka akan temu bahwa harta itu harus mengalir (Shodaqoh, Zakat).
Maka dari itu Nilai Tasawuf Sosial sebenarnya sangat penting untuk kita pahami sebagai prinsip dan manhaj dalam harokah(bertindak). Jika kita melihat cerminan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka kita akan menemukan kekayaan dalam kesederhanaan.
Dalam satu cerita, Umar bin Abdul Aziz awalnya adalah seorang saudagar kaya raya. Harta halalnya melimpah karena dia adalah seorang pengusaha sukses dan handal. Ia juga menerima gaji dari Baitul mal negara. Selama Ramadhan, dia tidak menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak pernah lupa akan berbagi uang dengan orang miskin dan pengemis.
Pernah juga suatu ketika Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu ruang kerjanya karena kedatangan puteranya. Puteranya yang bertanya mengapa ia melakukan itu, ia hanya menjawab bahwa uang yang di pakai untuk menghidupkan lampu itu adalah uang negara. Sebegitu detailnya beliau memisahkan mana urusan pribadi dan urusan negara, karena beliau menjauhi ketimpang tindihan urusan pribadi dan negara.
Ada lagi kisah dari Khalifah Umar bin Khattab yang di tamui beberapa tamu dari luar mekkah, pada saat itu ia hanya tidur di tikar dan baju yang compang- camping. Sontak tamu itu kaget melihat Umar bin Khattab, dan menyangka dia bukan Amirul Mukminin. Padahal sudah jelas beliau adalah pemimpin umat pada masa itu.
Sebenarnya masih banyak lagi keteladanan dari sifat² tasawuf di islam. Karena prinsip dalam islam bukan mengekang tapi menuntun umat kedalam kebahagiaan (eudaimonia). Tiada yang bisa menyadarkan mereka, kecuali mereka dapat belajar lagi tentang urgensi Nilai- nilai Tasawuf Sosial. Sebagai rakyat kita hanya bisa mengkritik, tamparan langsung untuk mereka, agar mereka sadar bahwa kehidupan ini dinamis. Kita tidak bisa menjamin kalau besok masih hidup. Sekian.
Editor : Izzul Khaq