Saya menyesal, benar-benar menyesal. Mengapa tak dari dulu mendalami dan mau mencari tahu banyak tentang sosok Buya Syafii Ma’arif cendekiawan Muslim Indonesia dan dunia. Jika ada kader Muhammadiyah yang gagal, saya rasa itu cocok disematkan pada saya.
Tak pantas rasanya saya menulis apa pun tentang buya, mengingat saya adalah orang yang baru mendalami dirinya pasca kematiannya beberapa waktu lalu. Tapi kekaguman saya terhadap beliau tampaknya harus saya bagikan.
Beberapa hari saya membaca tulisan buya, saya benar-benar sudah mengaguminya. Setelah saya baca ternyata pikirannya tentang kebangsaan, nasionalisme, keislaman dan keindonesiaannya begitu luas.
Bahasanya yang Nyelekit terkadang menjadi ciri khas dari tulisan-tulisannya sebagai alat kritik atas suatu permasalahan.
Tulisan ini mungkin akan menjadi perspektif baru dalam memandang buya Syafii dari kacamata orang yang baru membaca buku-bukunya selama seminggu.
Seminggu Saya Membaca Tulisan Buya
Sebagai orang yang baru mengenal Ahmad Syafii Ma’arif, saya menemukan banyak nilai-nilai insan kamil dalam dirinya. Buya adalah orang yang Autentik dalam artian perilakunya selaras dengan apa yang dia pikirkan. Beliau tak pernah sekalipun takut untuk mengkritik dan memberi nasihat sekalipun itu presiden.
Beberapa kali buya mengkritik presiden, ulama, dan tokoh yang terpandang. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan atas dasar pembelaan terhadap perbuatan yang dirasa menyimpang dari nilai-nilai keadilan.
Buya tak segan mengutarakan pendapat yang berbeda dari pendapat khalayak. Ini bukanlah hal mudah, buya berani untuk dibenci dan dicaci. Ia sangat konsisten mempertahankan argumen yang dirasa sudah sesuai dengan akal sehat dan hati nuraninya. Orang berprinsip seperti ini sangat sulit dicari, apalagi di tengah arus politik praktis.
Selain itu buya adalah orang yang sangat menerapkan konsep minimalisme dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam beberapa tulisannya ia kerap menceritakan bahwa ia tak jarang memakai sepeda ke mana-mana.
Bercengkerama dengan masyarakat biasa. Menghilangkan kemelekatan diri pada suatu benda bukanlah hal mudah. Pada kondisi tertentu menghilangkan sifat kemelekatan terhadap benda akan menjadi sangat sulit, ketika dapat jabatan misalnya.
Tak sedikit yang dulu semasa masih menjadi rakyat kecil bersorak-sorai menuntut para penguasa yang korup itu turun. Namun ketika jabatan itu mereka dapatkan hal yang sama pun terjadi.
Buya dalam hal ini mampu menampik itu semua dan memilih hidup sebagaimana yang ia butuhkan. Padahal jika mau buya bisa saja mendapatkan apa pun yang dia minta.
Bagi saya, sikap buya terhadap dunia tak kalah pentingnya dengan pandangannya tentang akhirat. Ia memandang dunia adalah suatu tempat yang harus diperhatikan dengan sebaik mungkin.
Hal ini terlihat dari cara beliau merespons setiap kejadian yang menyangkut masalah kemanusiaan. Namun hal itu tak juga membuatnya membelot dari memperhatikan akhirat.
Buya, Akal Sehat dan Hati Nurani
Untuk saya yang baru mendalami buya kemarin sore (awam) saya melihat beberapa poin penting yang terus beliau ulangi di berbagai tulisannya. Sejauh pembacaan saya terhadap tulisan buya, ada dua kata kunci yang menarik jika kita terapkan dalam melaksanakan kehidupan ini.
Pertama adalah akal sehat, bagaimana kemudian kita menjadikan akal kita sebagai alat analisis yang bersih, bersih dari segala kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Seperti yang dikatakan Erich Fromm (saya pikir ada kemiripan dalam pikiran kedua tokoh ini) bahwa akal sehat sangat diperlukan untuk melakukan penolakan atau kritik sehingga kritik yang disampaikan membangun dan tidak terkesan ada kepentingannya.
Akal sehat dalam pandangan buya adalah kacamata yang bersih sehingga apapun yang dilihat akan terpandang bersih. Sedangkan akal yang sudah ternodai fanatisme maka kacamata itu akan suram dan blur sehingga pandangan terhadap apapun akan rabun dan blur pula.
Tak jarang juga buya mengkritik pedas para agamawan yang menjadikan dalil agama sebagai tameng perbuatan mereka yang amoral dan nirkemanusiaan.
Kedua adalah hati nurani, sepanjang pembacaan buku buya, saya memahami hati nurani sebagai kesadaran humanitas. Jadi apa pun yang dirasakan hati nurani bertentangan dengan perasaan kita sebagai manusia maka itu saya pikir adalah definisi dari hati nurani.
Hati nurani tidak dapat dipelajari, hati nurani secara konstan hadir menolak apa pun yang dirasa bertentangan dengan perasaan. Dalam pembacaan saya hati nurani ini bisa terbentuk jika kita jauh dari kata kesombongan sosial dan spiritual.
Dua spirit inilah yang menjadi basis Ahmad Syafii Ma’arif dalam merespons dan mengkritik berbagai persoalan kebangsaan, keislaman dan kemanusiaan. Dua kata kunci ini sudah cukup untuk melahirkan gagasan-gagasan yang bersih dari segala kepentingan dan akan menghadirkan solusi yang bersifat mendamaikan dan selaras dengan nilai kemanusiaan.
Buya yang Abadi
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Begitulah kiranya kata Toer. Buya adalah seorang penulis yang karyanya tidak perlu diragukan lagi. Baru beberapa minggu saya membaca sudah banyak sekali perubahan yang saya rasakan. Maka di awal saya katakan bahwa saya sangat menyesal baru mengenal buya beberapa waktu lalu.
Buku dan gagasan beliau akan tetap diproduksi dan menjamur di kalangan cendekiawan muda Indonesia. Buya-buya baru akan hadir dan memiliki pemikiran dan gagasan besar lainnya untuk menyelamatkan Indonesia dan kemanusiaan ke depan.
Bibit-bibit pemikiran yang diilhami pemikiran buya Syafii akan lahir dan menyemburkan aroma keadilan dan kedamaian. Bak peribahasa, mati satu tumbuh seribu.
Editor: Rahmat