Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Allah Rahim yang Maha Penyayang, yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya yang tidak terhingga. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad, suri tauladan dan Rasul akhir zaman; dan kepada seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang sentiasa mentaati ajaran Islam.
Pagi ini umat Islam di seluruh negara dan beberapa negara menunaikan solat sunat idul Adha 10 Dzuhlizah 1443 Hijriyah. Semua hamba Allah yang beriman bersungguh-sungguh melaungkan takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih sebagai bentuk kehambaan diri kepada Allah SWT.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Rahmakumullah!
‘Eid al-Adha atau ‘Idul Qurban, yang bermaksud Hari Penyembelihan. Maksud “adha” dikaitkan dengan “udhhiyah” yaitu “binatang yang disembelih”. Secara zahirnya, binatang yang disembelih adalah hewan qurban mengikuti syariat yang telah ditetapkan. Tetapi maksudnya ialah menyembelih hawa nafsu dan segala godaan syaitan yang membawa kepada penyerahan diri dan pengabdian diri kepada Allah. Demikian juga perkataan qurban bermaksud sesuatu yang dekat atau lebih dekat, yaitu semakin dekat dan dekat kepada Allah. Sehingga setiap orang yang berkorban semakin taat kepada Allah, yang dizahirkan dengan segala ibadah dan amal soleh atas nama-Nya.
Ibadah korban dalam sejarah terawal dimulakan oleh dua anak Nabi Adam iaitu Qabil dan Habil sebagaimana yang diceritakan dalam al-Quran sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang bertakwa” (Qs Al-Maidah [5]: 27).
Dalam al-Quran khususnya, pengorbanan korban dikaitkan dengan kisah bermakna dua tokoh yang dikasihi Allah yaitu Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail. Allah berfirman di dalam Al-Quran yang bermaksud: “Maka tatkala anak itu sampai (pada usia mampu) mencuba dengan Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu. Kemudian fikirkan apa yang anda fikirkan!”.
Dia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”Tatkala keduanya telah menyerah diri dan Ibrahim meletakkan anaknya di atas pelipis, (ternyatalah kesabaran mereka), dan Kami panggil dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini adalah ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.” (Qs As-Shaffat: 102-107).
Kisah teladan Ibrahim dan Ismail dalam amalan ibadah korban menunjukkan semangat tauhid yang murni dari keluarga Rasulullah tercinta. Betapa tinggi dan mendalamnya jiwa penyerahan diri untuk berkorban kepada Tuhan. Bahwa hanya melalui mimpi Ibrahim dan ridhanya Ismail serta kesanggupan ibunya Siti Hajar berani berkorban nyawa demi pengabdian tertinggi kepada Zat Rabbul Izzati. Walaupun perintah qurban akhirnya berganti dengan binatang. Namun mereka bertiga berjaya membuktikan tahap keimanan yang paling tinggi sebagai hamba Allah yang teguh imannya dan terlintas jiwa ihsannya.
Oleh itu, kita sebagai orang yang beriman hendaklah meneladaninya melalui ibadah korban dengan binatang yang berpandukan syariat Islam. Hanya mengorbankan seekor binatang sudah tentu bukanlah satu perkara yang berat ketimbang dengan nyawa seorang Ismail. Tetapi selalunya godaan terbesar kita adalah cinta yang berlebihan terhadap kekayaan dan semua hiasan dunia, jadi tidak jarang untuk mengorbankan haiwan terlalu keras.
Di sinilah pentingnya menafsir hari raya idul adha pada hari ini adalah untuk membangkitkan jiwa yang ikhlas dalam mengabdikan diri kepada Allah. Sebagaimana di buktikan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk kesanggupan berkorban binatang dan segala bentuk amal yang membawa kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
Jika kita mengambil makna hakiki bahawa penyembelihan hewan qurban adalah simbolik. Sembelihlah segala nafsu yang tumbuh dalam jiwa untuk dibersihkan dengan jiwa yang bertaqwa, agar setiap kita sebagai umat Islam mampu berkorban ikhlas yang muara utamanya menjadi orang yang benar-benar bertaqwa. Menyembelih menjadikan setiap muslim itu sendiri agar menjadi orang yang bertaqwa sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“(Qs Al-Hajj [22]: 37).
Orang yang bertaqwa ialah orang Islam yang taat kepada perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, dan beramal soleh dalam semua aspek kehidupan. Justru, melalui Hari Raya Aidil Adha dan Ibadah Korban, setiap Muslim seharusnya lebih bertaqwa baik dalam hubungannya dengan Allah (habluminallah) mahupun hubungannya dengan sesama (habluminannas) yang membuahkan segala kebaikan hidup di dunia ini ke arah kebahagiaan yang hakiki di dunia. akhirat. Menyadari segala sifat taqwa dalam kehidupan peribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa, bernegara, dan hubungan manusia sejagat yang membawa rahmat bagi alam semesta..
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Rahimakumullah!
Dalam sebuah hadis mengatakan bahwa Zaid Ibn Arqam, dia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah itu qurban?” Jawab Nabi: “Sembelihan itu adalah sunnah ayahmu, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya: “Apakah fadhilat yang akan kami peroleh dengan korban itu?” Nabi menjawab: “Setiap helai rambut adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi: “Bagaimana dengan bulu?” Nabi menjawab: “Setiap bulu itu juga merupakan amal soleh.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Budaya dan prakis perpaduan sosial juga di sebarkan untuk mewujudkan harmonisasi sosial. Dengan memupuk benih kasih sayang, toleransi, keamanan, dan kemajuan bersama yang membawa kepada nilai murni dan utama kehidupan kolektif.
Jika umat Islam ikhlas dan senang berkongsi daging qurban dengan orang lain, bermakna mereka gembira membantu orang lain yang memerlukan dengan ceria seperti yang terkandung dalam spirit Al-Ma’un. Dalam masa yang sama, Islam juga mengajar bahwa sesama manusia yang di ciptakan oleh Allah hendaklah saling tolong menolong. Dan bekerjasama antara satu sama lain yang di kenali sebagai “ta’awun” sebagaimana firman Allah dalam al-Quran:
Artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (Qs Al-Maidah: 2).
Spirit ta’awun dalam Islam selari dengan ajaran ihsan iaitu kebaikan yang utama. Bahawa kerana dekatnya seorang muslim dengan Allah Yang Maha Pemurah lagi Rahim, dia menjadi seorang yang bertaqwa dan penyayang di seberang jalan untuk melakukan segala kebaikan kepada sesiapa sahaja tanpa pandang bulu.
Salah satu ciri ihsan ialah menyambung silaturahim dan tidak memutuskannya. Dalam satu hadis Nabi bersabda yang bermaksud, “Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu tetapi seorang mengalihkan pandangan dan seorang lagi mengalihkan pandangan. Dan sebaik-baik mereka berdua ialah yang memulai dengan memberi salam.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Melalui ajaran “ta’awun” serta ibadah korban, ia seharusnya menyemaikan lagi keprihatinan terhadap orang lain. Mereka yang ada rezeki dan segala kelebihan boleh membantu dan berkongsi dengan orang lain, tidak tamak dan memupuk kekayaan berlebihan yang menyebabkan ketidaksamaan, dan ingin memperkasakan mereka yang kurang bernasib baik. Bahwa bumi dan seluruh alam ini di maksudkan untuk semua manusia dan makhluk-Nya secara sama rata, bukan untuk satu orang atau kumpulan yang menyebabkan hilangnya keadilan dan kesejahteraan bersama.
Islam juga mengajar “ta’aruf” iaitu berkenalan antara keturunan Adam dalam suasana pluralistik. Bahwa penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, suku-suku bangsa, dan semua golongan supaya saling kenal-mengenal, dan orang-orang yang bertakwa kepada yang paling mulia di sisi Allah (Qs. Al Hujarat: 13).
Hakikat ta’awun dan ta’aruf ialah menjalin persaudaraan dan kebersamaan dalam suasana damai, toleransi, belas kasihan, dan saling memajukan walaupun dalam suasana yang berbeda. Sebaliknya, menjauhkan diri daripada konflik, kebencian, permusuhan, dan semua perkara yang merosakkan dan merugikan dalam hubungan sesama manusia.
Editor : Rahmat Rusma P