Keberagaman bangsa Indonesia dari masa ke masa masih belum membawa dampak pada nilai Islam secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan banyaknya partai Islam. Namun tidak bisa bersatu dan cendrung berjalan dengan sendiri-sendiri. Namun di dua rezim terdahulu yakni orde lama dan orde baru pernah terbentuk sistem partai politik yang hanya pada tiga poros yang mewakili rakyat. Hal tersebut dapat memudahkan peta politik Islam. Meskipun golongan Islam terpecah menjadi tiga bagian yang mana Islam masuk di semua tiga poros tersebut baik itu dari elit politiknya maupun sebagian agenda politiknya.
Pengalaman Sejarah: Kontestasi Ideologis
Pada saat itu manuver politik sangat dinamis konstruktif dan sangat jelas kontestasi ideologi masing-masing dalam merebut kekuasaan. Meskipun akhirnya rata-rata dan selalu dominan dimenangkan oleh partai-partai berhaluan Nasionalis.
Sebab sistem demokrasi yang dibangun memang lebih mengarah liberatif dan seklurisme-modernitas yang terintegrasi dengan kultur masyarakat Islami disebabkan sebagai populasi masyarakat mayoritas sekaligus agama Islam terbesar di bangsa ini.
Pasca terbentuknya Reformasi semua haluan berubah sangat signifikan. Dan ini mempengaruhi dinamika Politik Islam dalam perspektif membangun Indonesia yang religius dan agamis. Partai-partai berbasis Islampun beragam azas dan idelogi kepartaiannya.
Partikular Kelompok dan Dominasi Ormas
Sehingga Secara fakta dan realitas Islam Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok golongan yang dominasinya melalui organisasi masyarakat Islam. Umat Islam yang tadinya mayoritas menjadi sangat “minim” bila terpecah menjadi partikular yang dibelah karena banyaknya Partai Islam yang terbentuk.
Seolah bagaikan perumpamaan buah semangka yang habis dipotong dan dibagi menjadi beberapa potongan-potongan kecil. Sehingga beratnya menjadi ringan, yang seharusnya bila utuh jauh lebih berat dan besar tentunya. Hal inilah yang menjadi hipotesa bahwa partai Islam tak akan pernah bisa berkuasa atau menjadi partai pemenang terbesar dalam suaranya.
Baca Juga: KOKAM Itu Membela Pancasila dan Nalar Kebangsaan
Bilapun ada, maka hanya karena dinamika koalisi. Negosiasi bersama yang memutuskan bahwa kesempatan pada partai Islam ada. Namun itu presentasenya sangatlah kecil. Dan tentu saja hanya hitungan keberuntungan semata yang tak dapat diukur secara logis.
Meneropong Peta Politik Islam
Meneropong peta politik Islam di Indonesia sama halnya dengan melihat peta geografis pulau Indonesia itu sendiri. Yang terbagi dalam beberapa pulau yang terpisah. Idealnya bila ingin menjadi satu payung partai politik Islam semestinya Politik Islam dilihat dari segi pilar Indonesia. Yakni bagaikan Pancasila yang merangkai lima sila menjadi satu tubuh ideologi.
Bhineka tunggal ika yang merupakan semboyan berbeda menjadi satu kebangsaan. NKRI yang menjadi landasan negara menjadi satu kedaulan dan UUD sebagai suatu hukum yang mengikat dengan kesepakatan bersama.
Politik Islam justru terjebak dalam dikursus dan termin politik yang menjadi isu politik. Sehingga Partai Islampun akhirnya memiliki lebel yang mengkotakkan kelompok Islam menjadi partikular golongan yang sempit.
Istilah partai Islam moderat menajdi label sehingga para pendukung, pemilih, simpatisan dipetakan sangat beragam. Ada yang sebagai kelompok radikal, intoleran, anti Pancasila, anti demokrasi, pemberontakan ideologi.
Abstrak dalam Wacana Poliyik Islam
Semua itu terjadi di tubuh “kelompok Islam” sendiri yang terpecah ke dalam beberapa bagian. Inilah yang menjadikan politik Islam itu hanya sebuah abstrak dalam wacana kekuasaan berdemokrasi di Indonesia dewasa ini.
Padahal bila Meneropong peta politik Islam seharusnya mana musuh, lawan dan ancaman sangat jelas. Bila dalam hal ini adalah manuver kekuasaan melalui kontestasi politik. Bukan berarti musuh untuk melakukan peperangan antar anak bangsa, dan bukan berarti untuk mencari lawan di tengah masyarakat.
Baca Juga: Optimalisasi Peran Masjid di Tengah Pandemi Covid-19
Serta bukan berarti melakukan ancaman pada aspek sosial, melainkan sebuah strategi politik Islam secara konstitusional dan secara moralitas politik. Tentu bila ingin membidik semestinya partai politik Islam ini berhadapan dengan agenda-agenda dari paham-paham yang memisahkan nilai dan prinsip Islam.
Warna Beragam Partai Islam
Sebagai partai Politik berbasis Islam jelas agenda idealnya ialah membawa Risalah dan Syariat Islam yang bisa diimplementasikan secara praksis dalam mekanisme berdemokrasi. Namun nyatanya yang dihadapi tentu yang agendanya sangat bernuansa liberalisme, sekulerisme, kapitalisme, komunisme, otoritarianisme, dan lain sebagainya yang sangat bertentangan dengan agenda Islam.
Itulah kenapa partai-partai politik basis Islam di Indonesia ini besar bila dilihat dari paradigma teropong. Seakan menguasai seluruhnya namun bila dilepas dari penglihatan teropong sangatlah kecil bahkan jauh dari realitasnya. Sering kali suara umat Islam yang mayoritas menjadi sangat kecil.
Sebab masuk dalam wadah-wadah dari berbagai partai politik Islam sehingga terkalahkan oleh suara partai politik nuansa nasionalis maupun yang bernuansa lainnya. Peta politik Islam kalah di berbagai hal dari segi strategi, manuver, taktik, metode dan arah gerakannya.
Partai Islam Apakah Selalu Tidak Berdaya?
Umat Muslimpun seolah lebih nyaman memilih dan mendukung partai yang tidak basis Islam, karena lebih dianggap mewarnai keberagaman Indonesia yang besar dan luas. Teropong politik Islam tidak mampu menembus langit hanya sebatas bumi datar. Sehingga agenda dan pencapaiannya selalu tidak pernah maksimal dan cendrung selalu kritis, lemah dan tidak berdaya.
Bila saja partai politik Islam melebur menjadi satu kekuatan besar yang solid dan tidak ada egosentrisme ormas. Dengan belajar dari masa lalu di zaman orde lama, maka tentu republik ini akan banyak diwarnai dan dihiasi dengan semangat keIslaman yang tinggi.
Baca Juga: “Romantisme Sejarah” di Tengah Isu Wabah Corona
Sudah saatnya umatpun harus diintegrasikan dan interkoneksikan pada basis partai Islam yang terpusat dan mengerucut menjadi satu. Agar menjadi kekuatan yang dapat melanggengkan tanah air seperti dulu yang diperjuangkan para syuhada dan ulama-ulama yang mempertahankan Indonesia dari penjajahan dan imperialisme yang ingin merusak bangsa ini di kemudian harinya.
Penulis merupakan Anggota Tenaga Ahli Keagamaan Kabupaten Enrekeng Sulawesi Selatan