Jika berbicara peran Muhammadiyah dalam kebangsaan, nama yang tak bisa dilupakan adalah nama KH Ki Bagus Hadikusumo. Ia merupakan seorang Ketua Umum Muhammadiyah kelima, yang perannya begitu terlihat pada sidang BPUPKI dan PPKI. Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada Senin Pahing 24 November 1890 bertepatan dengan 11 Robiul Akhir 1038 Hijriyah.
Pada sekitar tahun 1921, ketika Dayat berusia 30an, namanya berganti menjadi Ki Bagus Hadikusumo. Ia adalah anak ketiga dari KH Hasyim, seorang abdi dalem lurah di Keraton Mataram Yogyakarta yang membidangi soal keagamaan di masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Latar Belakang Pendidikan Ki Bagus
Sebagai priyayi di lingkungan Kauman, Ia terdidik secara langsung oleh ayahnya sendiri dan oleh kiai-kiai di sekitar Kauman. Setelah tamat dari Sekolah Ongko Loro (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ia belajar di Pesantren Wonokromo, Bantul, Yogyakarta.
Di pesantren ini Ki Bagus Hadikusumo banyak mengkaji kitab-kitab Fiqh dan Tasawuf. Ki Bagus belajar kepada Ngabehi Sosrosoegondo dalam hal sastra Jawa, Melayu, dan bahasa Belanda. Selain itu, ia belajar langsung kepada Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam hal Kristologi, perbandingan agama, leadership, dan mantiq. Ia mempelajari Tafsir Al-Manar karya Rashid Ridha, kitab-kitab Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Disini tampak pengaruh Kiai Dahlan terhadap bacaan-bacaan Ki Bagus.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat Ki Bagus harus mendalami agama pada waktu itu. Pertama, ia memang anak seorang kiai, sehingga merasa memiliki beban moral untuk meneruskan perjuangan ayahnya. Kedua, pada waktu itu, di Kauman tengah marak isu Kristenisasi yang didukung langsung oleh pemerintahan Belanda. Sehingga harus ada upaya-upaya untuk membendung hal ini. Ketiga, kiai-kiai di Kauman merasa prihatin dengan tidak diajarkannya mata pelajaran agama kedalam sekolah-sekolah formal.
Peran Kebangsaan Ki Bagus
Ia bersama Soekarno dan tokoh-tokoh pendiri bangsa adalah orang-orang yang dekat dengan tokoh-tokoh Jepang. Maka, salah satu kisah yang masyhur dari Ki Bagus adalah ketika ia menolak untuk melakukan upacara sei kerei. Sei kerei adalah upacara membungkukkan badan ke arah timur laut dengan maksud menghormati dewa matahari, dewa menurut keyakinan pemerintah Jepang.
Karena keberanian, kedekatan, sekaligus prinsipnya yang kuat dalam memegang syariat, seluruh sekolah Muhammadiyah dibebaskan dari upacara sei kerei. Ia bersama Sukirman Wirjosanjoyo, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ahmad Soebardjo, dan Haji Agus Salim mewakili umat Islam di Badan Penyelidikan Usaha Persiapakan Kemerdekaan Indonesia yang bertugas merumuskan Undang-undang Dasar.
Di BPUPKI, Ia begitu tegas mempertahankan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Baginya, perubahan terhadap Piagam Jakarta merupakan pelanggaran terhadap gentlemen agreement yang sudah disepakati sebelumnya. Setelah dilakukan negosiasi oleh tokoh-tokoh Islam sendiri seperti Kasman Singodimejo dan Teuku Mohammad Hasan, akhirnya Ia mau menerima perubahan tersebut.
baca juga: Merawat Alam, Bersahabat Dengan Lingkungan
Ini dikarenakan Ki Bagus menerima usulan kolega-koleganya yang telah memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa. Maka, ketika polemik Piagam Jakarta, Ia menjadi orang terakhir yang menerima perubahan tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kegagalan menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak lantas membuat Ki Bagus kehilangan komitmen kebangsaan karena rasa sakit hati. Sikap berbesar hati inilah yang sangat langka dewasa ini. Pasca kemerdekaan, pada 21 Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda I di Jogja. Melihat hal itu, para ulama Muhammadiyah kemudian mendirikan Angkatan Perang Sabil (APS). Ki Bagus turut mendirikan sekaligus menjadi penasehatnya. Ia tetap gigih berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur jagung.
Ki Bagus menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Masyumi. Di partai ini, Ia sempat menjadi anggota Majelis Syuro bersama KH Wahab Hasbullah, dan kemudian menjadi Pengurus Besar Partai.
Peran di Muhammadiyah
Ketika menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1942 – 1953, ia menjalani masa-masa yang sulit karena situasi sosial politik yang ada. Pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah melewati masa-masa transisi politik yang cukup genting, mengingat Belanda tidak menyerahkan begitu saja kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal ini, Ki Bagus dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi Muhammadiyah, terkait relasi Islam dan politik. Dimana hal ini, bagi kelompok lain, perdebatannya dianggap belum selesai. Ia juga mempelopori lahirnya Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.