Cukup menarik jika kita saksikan pergulatan antara “tradisi dan modernitas” dalam sejarah peradaban manusia. Istilah ‘tradisi’ coba kita ilustrasikan sebagai pemain lama yang pernah berjaya dalam menggawangi peradaban Islam.
Sementara pada dunia yang berbeda, yakni Barat, secara tidak langsung kita saksikan sejarahnya, betapa nahasnya mereka mengalami keterpurukan yang amat dahsyat yang melibatkan agama.
Seiring waktu berjalan, Barat bertransformasi menjadi sekuler, yakni memisahkan unsur-unsur keagamaan (Gereja: Kristen) dengan unsur-unsur kenegaraan. Jika tidak, maka Gereja akan semakin berjaya dengan inquisisinya yang kejam dan mencengkeram seluruh lini kehidupan.
Masa inilah yang dikenal sebagai abad kegelapannya bangsa Barat (the dark ages). Sebuah masa yang terjadi pada abad pertengahan, yakni antara runtuhnya imperium Roma dan Renaissance.
Sementara modernitas, oleh Barat dianggap sebagai babak baru dan sebagai awal untuk menjemput era kejayaannya kembali, seperti peradaban Helenistis pada masa silam.
Seperti pendapat Arnold J. Toynbee, seorang ahli sejarah yang mengatakan “bahwa modernitas telah mulai sejak menjelang akhir abad ke lima belas masehi, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri, karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan” (Nurchalis Madjid, 2000).
Bergeser sedikit kenalar kritis al-Jabiri, “apakah kita masih memiliki pilihan terhadap modernitas?”. Jawabnya, “Kita tidak memiliki pilihan terhadap modernitas, karena ia muncul di paksakan dari luar sebagaimana kita juga tidak memiliki pilihan atas tradisi” (al-Jabiri, 1992).
Justru modernitaslah yang membuat Barat maju dan patut sebagai contoh. Akan tetapi, di satu sisi, Barat juga di pandang sebagai musuh yang harus di perangi karena watak represif dan imperialisnya terhadap Islam.
Memasuki bagian yang lain, ambivelansi antara puritan dan moderat turut mewarnai pemikiran Islam kontemporer. Hal ini akibat dari perbedaan paradigmatik terkait orientasi kebangkitan Islam.
Ironisnya, gerakan Islam puritan yang cenderung kaku dan konservatif menumbuhkan asumsi Barat, bahwa Islam seperti yang terdapat dalam tulisan utama The New York Times yang berjudul “Seeing Green: The Red Menace Is Gone. But Here’s Islam” (Momok Hijau: Bahaya Merah Telah Berlalu. Tetapi Sekarang Islam). Pesan yang terkandung dalam tulisan ini adalah “Islam itu satu dan berbahaya” (Lawrence, 1996).
Fakta di atas, membuat Abou el-Fadl merasa memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan bahwa Islam sendiri memiliki dua paradigmatik yang bertentangan dan bersaing untuk mendefinisikan kebenaran iman Islam.
Dan sekaligus ingin memberikan pencerahan terhadap kebingungan para pemerhati kajian-kajian keislaman, terutama non-Muslim Barat (Chafid Wahyudi, 2011).
Abou el-Fadl dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963. Pendidikan jenjang B.A (Bachelor of Art), ia peroleh dari Yale University. Selepas dari Yale tahun 1986, Abou el-Fadl melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikannya pada tahun 1989.
Sedangkan jenjang master dan doktor di bidang Hukum Islam diperoleh dari Princeton University. Saat ini ia adalah profesor dan guru besar Hukum Islam di UCLA School of Law. Mengasuh mata kuliah Hukum Islam, Hukum Hak Asasi Manusi, Hukum Imigrasi, dan Hukum Keamanan Nasional.
Lantas apa yang sebenarnya Abou el-Fadl kehendaki atas label Islam Moderat dan Islam Puritan yang coba ia tawarkan? Menurutnya, Islam moderat adalah mereka yang meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan meyakini bahwa Islam sangat cocok untuk setiap saat dan mengikuti zaman.
Beda halnya dengan Islam puritan yang memperlakukan Islam secara kaku dan tidak dinamis. Pelakunya hanya membesar-besarkan peran teks dan mengerdilkan peran aktif manusia dalam interpretasi teks keagamaan (religion text).
Secara toretis, istilah moderat menemukan akarnya lewat preseden al-Qur’an yang selalu memerintah umat Islam untuk menjadi orang yang moderat.
Dan juga preseden al-Sunnah yang menggambarkan sosok nabi yang bertipikal manusia yang moderat. Salah satunya adalah ketika di hadapkan pada dua pilihan yang berat, maka Nabi selalu memilih jalan tengahnya. Sedangkan istilah puritan sendiri, Abou el-Fadl juga merasa istilah yang pas daripada Istilah radikal, ekstremis ataupun fundamentalis.
Abou el-Fadl lebih suka menggunakan istilah puritan, karena menurutnya, kelompok ini cenderung tidak toleran dan memandang realitas pluralis sebagai kebenaran yang telah terkontaminasi. Akhirnya, mereduksi kebenaran penafsiran yang ada pada teks keagamaan.
Sementara dalam menyikapi dialektika tradisi dengan modernitas, Islam puritan dengan tegas menolak modernitas. Bahkan secara terang-terangan, Islam puritan mengidolakan generasi awal atau zaman keemasan Islam, yakni era Nabi di Madinah dan era al-Khulafa’ al-Rashidun.
Untuk mewujudkan keinginan dan menjadi benar-benar modern, maka umat Islam harus merebut kembali masa silam itu dengan cara meniru dan mereplikasikan di dunia modern.
Akan tetapi, keyakinan seperti ini dalam pandangan Abou el-Fadl, hanya akan menghasilkan keterasingan dan malah memunculkan sikap anti Barat.
Kabar Islam puritan mulai tersebar ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kabarnya, Islam puritan mau mencoba merongrong dan berdikari dengan membentuk kekhilafahan di Indonesia.
Dengan tegas Islam Nusantara mengambil sikap, seperti yang di lansir pada situs New York Times yang berjudul “Heng on Indonesia’s Decree to Ban Radical Groups” (Dekrit untuk Melarang Kelompok Radikal).
Lalu tulisan di bawahnya “Presiden Joko Widodo of Indonesia signed a decree allowing authorities to disband religious and civil society groups, in an effort to challenge hard-line Islamist groups that oppose his pluralist administration” (Heng, 2017).
Artinya, “Presiden Joko Widodo dari Indonesia menandatangani dekrit yang mengizinkan pihak berwenang melarang organisasi masyarakat keagamaan dan sipil, dalam rangka menentang kelompok Islam garis keras yang menentang pemerintahan pluralisnya”. Opini tersebut disertai karikatur Jokowi lawan Islam radikal.
Model Islam Nusantara sendiri pada hakikatnya sejalan dengan model Islam Moderat tawaran Abou el-Fadl. Hanya saja, tipikal Islam Nusantara lebih unik dan asyik ketimbang model Islam yang lainnya.
Menurut para pemikir Islam, Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat-istiadat di tanah air (Sahal dan Aziz, 2015).
Definisi di atas menunjukkan, secara substantif, Islam Nusantara merupakan paham Islam yang diperoleh dari akibat sintesis wahyu dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local wisdom).
Ajarannya pun sesuai dengan prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah, karena telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi yang baik. Sementara tradisi yang buruk, telah mengalami proses amputasi, asimilasi, atau minimalisasi dengan proses dakwah yang ramah dan rahmatan lil ‘alamin.
Editor: Rahmat