Selama masa pandemi bekerja dan beraktifitas di rumah ini, mau tidak mau, saya jadi sering merenung. Dari hal yang sifat duniawi, seperti rencana bisnis sampai hal-hal tentang konsep kehidupan.
Satu renungan yang ingin saya bagikan dan membuat saya cukup tenang adalah, sikap terhadap kelalaian manusia. Ya, kita berfikir: kenapa sih Allah menciptakan kita memiliki potensi salah, dan kadang lebih besar dari potensi baiknya. Kenapa tidak seperti Malaikat saja yang dicustom tidak memiliki potensi lalai. Saya lebih memilih memakai kata kelalaian, daripada kesalahan ataupun dosa.
baca juga: Pancasila sebagai Solusi di Tengah Pandemi
Kembali, kenapa Allah menciptakan manusia memiliki sifat lalai, tidak istiqamah selalu melakukan kebaikan. Karena melalui hal tersebut, manusia lebih managable, daripada unmanaged seperti saat ini. Sekali lagi, ini bukan menyangsikan sifat Allah, tapi hanya perenungan semata.
Tapi, beberapa waktu ini, saya cukup menemukan jawaban yang melegakan. Tentu ini pun mungkin berkah dari tafakkur tersebut. Paling tidak, hal ini terjawab dari pengalaman pribadi. Saya yakin, banyak dari pembaca sekalian (meski tidak dengan dunia yang serupa) mengalami hal yang sama.
Menjadi Imam dan Khatib Dadakan
Saat itu, masjid di dekat rumah, memang ada yang suka mengimami, termasuk Almarhum kakek. Sejak masuk SMP, sang imam, karena memiliki kesibukan, mulai jarang-jarang berjamaah. Akhirnya tidak ada imam, terutama di salat yang wajib jahr (magrib, isya, subuh).
Saat itu, spontan jamaah melirik saya, karena meski saya masih SMP tapi memiliki nilai plus, yakni mondok. Dan, dari sana lah awal ‘karir’ dipercaya menjadi imam sampai saat ini. Coba bayangkan, jika sang imam terus istiqamah tidak pernah absen dalam mengimami, saya pun mungkin gak ada kesempatan dan tidak akan kunjung dipercaya untuk menjadi imam.
Kemudian, cukup mendalam ingatan adalah menjadi imam tarawih. Sekali lagi, imamnya tidak ada. Semua pun melirik ke saya, dan dari kelalaian manusia itulah, ‘karir’ menjadi imam tarawih saya dimulai.
Menjadi imam tarawih ini bisa dikatakan, level intermediate dari dunia per-imam-an. Karena selain harus cakap menghafal surat, juga cakap dalam memanage waktu dan jumah rakaat salat agar jamaah tidak kabur, jika terlalu lama.
Selanjutnya, almarhum kakek dulu, saat saya SMA sering membawa saya ikut pengajian. Sampai pada satu pengajian, ustadznya tidak ada kabar. Dilihat-lihat dari unsur masyarakat tidak ada yang mau menggantikan, akhirnya melihat saya, lalu ‘dipaksa’ untuk mengisi pengajian tersebut.
****
Sekali lagi, darisanalah ‘karir’ dipercaya untuk memberikan ceramah dimulai. Coba jika setiap penceramah selalu hadir, mungkin tidak ada namanya percobaan untuk ‘manggung’, meski sebenarnya di pesantren dilatih muhadarah atau praktik berpidato. Tapi berceramah langsung dengan masyarakat itu hal lain.
Saat mahasiswa, ini pengalaman paling mengesankan. Kebetulan, Pondok Sobron tempat saya tinggal saat kuliah memang sering dipesan untuk menjadi penceramah. Tapi tidak secepat itu pula.
Ceritanya, saya baru seminggu di pondok itu. Tapi, kebetulan ada satu masjid di asrama kampus yang tidak ada khotib jumatnya. Mereka kelimpungan sampai akhirnya karena mengaku pernah berceramah saat di kampung, akhirnya saya yang dipilih.
Sekali lagi, berbeda dengan ceramah pengajian yang terkadang masih bisa berbekal membaca kitab. Untuk khutbah jumat, itu sudah level advance dalam dunia ceramah, karena kita terikat dengan aturan-aturan formalnya, seperti rukun khutbah dan doa-doa.
Jika penceramah bagus, tentu dia akan mengefektifkan pesan jumat tersebut, sehingga mampu tersampaikan secara efektif dan efisien. Karena pengalaman ini terlalu cepat, akhirnya saya memutuskan untuk ‘memakai konten muhadarah’ untuk dijadikan sebagai khotbah tersebut. Tentunya rukun dan doa khotbah jumat semuanya dipenuhi.
Hikmah Kelalaian
Ya, ketidak istiqamahan khotib tersebut, memberi berkah bagi saya yang baru belajar sehingga kader-kader dakwah pun semakin banyak. Pada 2017, khutbah idul adha dan idul fitri pun kurang lebih berasal dari pengalaman serupa. Tidak ada khotibnya, lalu ditunjuk menggantikan.
Saya yakin banyak dari kawan-kawan yang memiliki pengalaman serupa. Tidak harus pada bidang yang sama seperti saya, tapi pada setiap bidang lain pun kira-kira sama. Kesalahan atau kelalaian manusia diciptakan secara tidak langsung menjadi berkah bagi orang lain.
Atau dalam kasus lain, jika tidak ada manusia yang boros di dunia ini, kira-kira perekonomian akan jalan atau tidak. Jika orang tidak bertindak hedon dan ingin bermewah-mewahan, kemudian memiliki untuk hemat dan menabung semua, saya yakin perekonomian akan mandek.
Kuliner tidak akan hidup, jika tidak ada orang yang suka jajan karena memilih masak sendiri. Industri garmen dan fashion tidak akan berjalan jika tidak ada orang yang hobi mengoleksi baju, daripada memilih untuk hemat memakai baju itu-itu saja.
Atau, kita kadang merasa orang nongkrong itu tidak baik, tapi sebagai orang yang sering bepergian jauh pakai motor, kehadiran orang nongkrong itu membawa ketenangan tersendiri.
baca juga: Masih Relevankah Demokrasi?
Jujur, saya lebih takut jika di jalan tersebut tidak ada orang sama sekali. Tapi jika ada orang-orang yang ngopi, main catur, nongkrong, dan lain-lain, akan terasa tenang. Karena jika terjadi apa-apa, minimal ada yang menolong. Jika butuh petunjuk jalan, ada yang memberi tahu.
Sekali lagi, bukan berarti kita menoleransi perbuatan kelalaian seseorang, apalagi dosa. Tapi, jangan terlalu merasa kecewa dan tersiksa jika orang-orang di sekitar lingkungan kita tidak terlalu istiqamah dan masih ada kelalaian. Karena terkadang, itu menjadi berkah tersendiri. Mungkin itu.
editor: Yusuf R Y