September tahun lalu, aksi massa bertajuk #Reformasi Dikorupsi yang memekakkan Gedung DPR dan puluhan aksi serupa di kota-kota lain sempat memantik naluri saya. Aksi massa dak aksi mahasiswa yang didominasi oleh mahasiswa dan pelajar untuk memprotes sekian hal itu terbilang mengejutkan. Jumlah massa aksi dan kesamaan materi tuntutan yang dilayangkan di tiap-tiap daerah merupa sebuah alarm.
Pemerintahan yang di periode pertamanya tampak memberi warna agak cerah, kian lama kian tak tentu arah. Presiden yang digadang-gadang jadi presiden rakyat, presidennya wong alit sibuk menyediakan bilik-bilik kamar bagi partai pendukungnya yang kian gemuk. Di luar partai, presiden juga hidup dalam pusaran para pemilik modal.
Baca Juga: Ki Bagus Hadikusumo: Kecewa, Namun Tetap Setia
Wajar apabila kesan oligarki dan kartel yang berusaha disamarkan justru dengan gamblang mencuat ke publik. Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini terbukti melenyapkan suara nyalang KPK. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Revisi Undang-Undang Hukum Pertanahan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Konflik kepentingan yang menghambat pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Serta sejumlah konflik seperti kerusakan lingkungan dan kriminalisasi aktivis prodemokrasi.
Aksi Mahasiswa Gejayan Memanggil
Di Yogyakarta, aksi massa atas nama Aliansi Rakyat Bergerak menamai gerakan mereka sebagai Gejayan Memanggil. Aksi massa yang menyuarakan sejumlah tuntutan sebagaimana tersebut di atas diikuti oleh mahasiswa dari pelbagai kampus di Jogja dan sejumlah aktivis lintas bidang.
Sebelum bernama Jalan Affandi, jalan yang kini lekat dengan citra gerakan Gejayan Memanggil dulunya memang bernama Jalan Gejayan. Pemilihan jalan tersebut sebagai titik aksi dikarenakan dua hal. Jalan itu memiliki referensi sejarah. Mei 1998, jalan tersebut menjadi lokasi demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi segera dilakukan.
Pada saat yang sama, Moses Gatut kaca, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma meninggal akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. Di samping referensi sejarah, eks Jalan Gejayan merupakan poros yang menghubungkan sejumlah kampus besar di Jogja.
***
Senin 9 Maret 2020, kawasan Gejayan kembali dipenuhi aksi massa. Di bawah satu nama, Aliansi Rakyat Bergerak, aksi massa menyerukan tuntutan menggagalkan Omnimbus Law dan sejumlah isu lain seperti eksploitasi buruh es krim AICE, tolak ibu kota negara baru, dan kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat. Tak berbeda dengan Gejayan Memanggil yang pertama, aksi kali ini meneguhkan prinsip damai dan menolak provokasi.
Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, aktivis, buruh, dan petani itu menyatakan hanya mau diprovokasi oleh rakyat. Aksi kali ini dihadiri sejumlah warga dan petani dari Puworejo yang ekosistemnya terancam karena keberadaan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Perwakilan Aliansi Buruh se-Jateng dan DIY, serta sejumlah aktivis prodemokrasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja dan kelompok-kelompok studi gender, sosial, kemasyarakatan di wilayah Yogyakarta. Ada juga beberapa seniman seperti Fafa Agoni, Fuli, Jessica Amuba, Kepal SPI, Rara Sekar, Sisir Tanah, Rebellion Rose, Spoor, dan Tashoora yang menyulut nyala perlawanan massa aksi kian membara.
Aksi Mahasiswa Sebelum #Reformasi Dikorupsi
Gejayan Memanggil kali ini memiliki kesan mendalam bagi saya. Besarnya gelombang massa aksi (yang didominasi oleh kaum muda) menyodorkan fakta bahwa tudingan apolitis yang dilayangkan kepada kaum muda ternyata salah alamat. Kedua, ini pengalaman pertama saya turun ke jalan sebagai bagian dari massa aksi. Berada di antara yel-yel dan orasi yang membuncah mengembangkan suasana hati dan pikiran saya secara personal.
Sebagai milenial, saya sering tidak percaya pada agenda-agenda politik di negeri ini. Ketidak-percayaan itu membuat saya selalu melewatkan kesempatan memilih pemimpin atau wakil rakyat tingkat apapun. Selain juga kerap menuding sinis aksi-aksi massa yang terjadi di sekitar saya maupun yang saya ketahui melalui siaran pelbagai media.
Bersamaan dengan sinisme itu, pengetahuan politik saya tidak pernah lebih memadahi dari yang sudah-sudah. Rupanya sinisme itu berpangkal pada kenyamanan saya mengamini bentuk perjuangan lain, yang diam-diam saya sebut “cenderung lebih intelektual” daripada turun ke jalan. Sepanjang masa kuliah saya di sebuah perguruan tinggi di Solo.
Baca Juga: Titik Temu Teologi Islam dan Sains Modern
Bersama sejumlah mahasiswa, saya sibuk mengkritisi agenda-agenda politik mahasiswa di kampus. Baik melalui obrolan-obrolan ringan di angkringan atau diskusi agak serius. Obrolan atau diskusi itu kemudian merupa “kewajiban” untuk menulis lantas mengirim artikel untuk koran lokal di Solo yang menyediakan rubrik khusus mahasiswa.
Pemuatan artikel di koran kenamaan di Solo itu semacam mendapat keabsahannya sebagai ujud ekspresi intelektualitas mahasiswa. Kritik-kritik mengenai sejumlah aksi atau kegiatan yang dimotori Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus sering menjadi rempah-rempah untuk memasak artikel yang gurih. Artikel yang memancing perdebatan tak berkesudahan antar sesama mahasiswa-penulis dan juga mahasiswa-aktivis-penulis.
Menjadi Inklusif
Kritik yang muncul pada sejumlah demonstrasi mahasiswa pada umumnya berangkat dari asumsi bahwa mereka yang turun ke jalan tak betul-betul paham isu-isu yang mereka layangkan. Selain juga menyebabkan kemacetan lalu lintas dan kerusakan sejumlah fasilitas publik. Meskipun dalam praktik nyata, hal-hal buruk itu tak selalu menyertai pelaksanaan demonstrasi.
Gejayan Memanggil memberi kesan santun bagi pengertian demonstrasi hari ini. Di antara massa aksi ada yang bertugas membawa kantong sampah. Mereka mengingatkan massa aksi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mereka juga tak segan untuk memunguti sampah yang tercecer di sepanjang jalan yang dilintasi massa aksi.
Kendatipun massa aksi berjalan secara berkelompok berdasarkan almamaternya masing-masing, sikap saling peduli antarsesama tidak terbatas pada kelompoknya saja. Pembagian logistik seperti air minum dan makanan ringan dibagikan secara merata bagi siapa saja yang mau. Massa aksi juga kompak memberi jalan bagi pengendara kendaraan yang melintas di antara kerumunan massa.
Omnibus Law yang Cacat
Yang tak kalah penting, aksi Gejayan Memanggil sudah melalui kajian serius pelbagai pihak, antara lain organisasi kemahasiswaan dan organisasi sosial kemasyarakatan yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Kajian mengenai kecacatan Omnimbus Law terhimpun sejumlah 96 halaman dan bisa diunduh melalui tautan yang disertakan di bio instagram @gejayan memanggil.
Kajian Omnimbus Law yang dibuat oleh Aliansi Rakyat Bergerak itu meliputi Kajian Formil; Tinjauan dari Perspektif Ekonomi-Politik: Ketenagakerjaan; Kajian Per Pasal dalam Omnimbus Law Pertanian dan Persaingan Usaha; Kajian Omnimbus Law: Pendidikan; Pengadaan Lahan; Perdagangan; Riset dan Inovasi; Investasi, Kegiatan Berusaha, Penataan Ruang, WP3K, Kelautan; Administrasi Pemerintahan; serta Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Baca Juga: Merawat Alam, Bersahabat Dengan Lingkungan
Gejayan Memanggil memberi pemahaman baru bagi saya. Bentuk perjuangan apapun ketika memiliki landasan kuat dan dilakukan dalam gelombang massa yang besar menjadi sangat vital keberadaannya.
Di masa-masa genting ketika rakyat tergencet oleh sejumlah kebijakan tak rasional yang diciptakan pemerintah. Pengkotak-kotakan bentuk perjuangan menjadi tidak penting lagi. Bersikap kaku mempertahankan elistisme bentuk perjuangan pribadi atau kelompok tertentu saja menjadi sangat tidak relevan.